Oleh Imam Shamsi Ali*
Tidak teringkari lagi jika saat ini umat sedang menghadapi tantangan, rintangan, dan ujian besar. Umat tertantang dan teruji hampir dalam segala aspek kehidupannya.
Di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim ujian itu datang bertubi-tubi. Ujian yang timbul dari dalam, dari keterbelakangan di berbagai bidang termasuk bidang ekonomi, hingga berbagai konflik senjata yang melibatkan berbagai elemen anggota itu sendiri.
Di negara-negara dengan penduduk minoritas Muslim juga ujian itu semakin memberat, hampir saja tidak lagi terpikulkan oleh umat ini. Ketakutan terhadapa agama ini atau lebih dikenal dengan istilah “Islamophobia” semakin meninggi dan meluas. Bahkan di beberapa negara diskriminasi dan intimidasi, bahkan kekerasan fisik telah terjadi.
Pertanyaannya kemudian bagaimana seharuanya umat bersikap? Apakah dengan kemarahan dan keputus asaan, bahkan tindakan yang destruktif?
Ataukah dengan diam dan bersikap masa bodoh atau berpura-pura tidak tahu? Atau mengambil posisi “who cares?” dan “biarin aja?”.
Tentu jawabannya tidak demikian. Tapi umat ini harus melakukan respon atau reaksi yang berorientasi kepada solusi (solution oriented). Merespon bukan sekedar merespon sebagai pelampiasan. Tapi merespon untuk sebuah penyelesaian yang menguntungkan.
Kita diingatkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an betapa hidup itu memang memang identik dengan tantangan dan ujian. Maknanya selama manusia hidup selama itu pula manusia itu akan ditantanh dan diuji. Justeru hidup manusia hanya akan menjadi dinamis dan berkembang di saat tertantang.
Oleh karena hidup adalah tantangan maka selama masih ingin melanjutkab hidup selama itu pula manusia harus siap teruji. Jika manusia tidak ingin lagi teruji maka manusia seperti itu adalah manusia yang tidak keinginan untuk melanjutkan hidupnya.
Allah sendiri menggariskan: “Dualah Allah yang mencipta mati dan hidup untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang terbaik dalam karya” (Al-Mulk).
Selain ujian adalah tabiat hidup, ujian juga adalah tabiat iman. Komitmen iman adalah komitmen untuk teruji. Dan oleh karenanya mereka yang paling berat ujian hidupnya adalah mereka yang terhebat dalam imannya. Tentu para nabi dan rasul berada di tingkatan tertinggi dari semua manusia.
Allah menegaskan: “Apakah manusia mengira akan dibiarkan mengaku berman tanpa diuji. Sungguh Kami (Allah) telah menguji orang-orang sebelum mereka untuk diketahui siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa yang sesungguhnya berdusta atas nama iman”.
Bahkan Al-Qur’an menggariskan jika kunci dari syurga itu adalah ujian: “Apakah kamu menyangka akan masuk ke dalam syurga? Padahal Allah belum melihat siapa di antara kamu yang benar-benar berjuang dan bersabar (menghadapi tantangan)”.
Oleh karenanya baik pada tataran kemanusiaan, apalagi pada tataran keimanan kita, ujian dan tantangan menjadi sebuah keniscayaan. Maka adalah sebuah kemustahilan untuk melarikan diri dari ujian selama nafas masih keluar masuk dari paru-paru manusia.
Oleh karena tidak mungkin manusia itu terhindar dari ujian, tinggal satu yang bisa dilakukan. Yang menghadapi ujian tersebut dengan persiapan yang matang dan terbaik. Persiapan matang dan terbaik inilah yang saya ambil dari kutipan Allah pada Surah Al-Mulk: “ayyukum ahsanu amala” (siapa di antara kamu yang terbaik dalam amal”.
Saya cenderung menterjemahkan “amalan terbaik” di ayat ini dengan “respon yang terbaik”.
Dengan demikian bunyi ayat pada Surah Al-Mulk itu: “Dialah Allah yang telah mencipta mati dan hidup untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang terbaik dalam merespon (ujian tersebut)”.
Jawaban Surah As-Shoff
Dalam suasana umat teruji dan tertantang seperti saat inilah saya tertarik untuk merenungi satu surah dalam Al-Quran. Surah itu adalah As-Shoff, surah nomor 61 yang berarti barisan.
Surah As-Shoff sesungguhnya adalah surah yang menggambarkan “pertarungan antara kebenaran dan kebatilan” (As-shiraa’ baenal haqqi wal bathil).
Itulah yang secara gamblang digambarkan di pertengahan surah itu: “mereka ingin memadamkan cahaya Alla dengan mulut-mulut mereka. Tapi Allah tetap menyempurnakan cahayaNya walau orang-orang yang ingkar itu tidak menyukainya”.
Sungguh menakjubkan bahwa secara lugas dan gamblang Al-Qur’an menyampaikan “yuriduuna liyuthfi’u nuurallah” (mereka ingin memadamkan cahaya Allah) dengan “fi’il mudhori’ (kata kerja berkesinambungan).
Artinya bahwa pertarungan antara kebenaran dan kebatilan itu adalah proses hidup. Selama kita menjalani hidup selama itu pula kita harus mengantisipasi pertarungan itu.
Lalu langkah-langkah apa saja yang ditawarkan oleh As-Shoff kepada kita dalam rangka menghadapi pertarungan itu?
Inilah perenungan singkat dari Surah nomor 61 dari Al-Qur’an itu.
Pertama: hadirkan “tasbih” sejati dalam dada dan kehidupan.
“Bertasbih kepada Allah semua yang ada di langit dan di bumi, dan Dia Allah yang Maha Kuat lagi Maha Bijaksana” (61: 1).
Dalam menghadapi ujian dan tantangan hidup seorang Mukmin tidak akan bersikap superman (atau super woman). Sebaliknya justeru akan menengok ke atas langit dan berlari menuju kepadaNya. Menghadap kepadaNya seraya menyadari akan kelemahan, kekurangan dan ketidakmampuannya.
Ibrahim AS mengajarkan bagaimana merespon di saat-saat tertantang dan teruji: “inni muhajirun ilaa Rabbi” (saya berjalan menuju Tuhanku).
Maka tasbih yang Surah As-Shoff maksudkan adalah membangun atau menghadirkan “kibriyaa Allah” (kemaha besaran Allah) dalam hati dan hidup kita. Dan jika kebesaran itu telah tertanam dan tumbuh kuat, segala rintangan itupun menjadi hina (kecil dan ringan).
Inilah yang dibuktikan oleh Ibrahim menghadapi ujian maut, di saat dilempar ke dalam kobaran api yang menggunung.
Ini pula yang menguatkan Musa menghadapi cobaan laut merah di hadapannya dan tentara Fir’aun di belakangnya. Jiwanya solid dengan kebesaran itu dengan ekspresi: “sungguh Tuhanku bersamaku dan Dia akan memberikan arahanNya”.
Ini pula yang membara di dada baginda Rasulullah ketika menghadapi para algojo di malam hijrah, dan di dalam gua Tsur: “jangan sedih dan takut karena Allah bersama kita”.
Dan ini pula yang menguatkan Bilal ibnu Rabah ketika menghadapi siksaan tuannya. Dalam perjuangan antara hidup dan mati terungkap ratapan jiwanya: “Ahad, Ahaf, Ahad” (Allah Maha Tunggal).
Maka menghadapi ujian dan tantangan hidup itu memerlukan pegangan kuat (al-urwatul wutsqa). Agar Al-urwatul wutsqa tumbuh kuat, di sinilah urgensi “tasbih” dalam hati dan hidup.
Dilemmanya kemudian umat ini pada galibnya memahami tasbih (sabbaha) secara sempit dan parsial. Seolah tasbih itu adalah ucapan lisan di masjid-masjid semata. Padahal sejatinya tasbih (kebesaran Allah) itu harus dihadirkan di setiap pori kehidupan manusia.
Sebagaimana tasbih hadir di masjid-masjid, tasbih juga harus berkumandang di jalan-jalan, di pasar-pasar, parlemen, hingga ke istana. Di mana kita melangkahkan kaki kehidupan di situ pula tasbih mutlak dihadirkan…
(Bersambung)
————————————
Catatan di atas udara dari Dubai ke NYC
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation