KUALALUMPUR, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak SE ME mengatakan teriakan takbir “Allahu Akbar” bukan merupakan sikap radikalis, teroris, anti kebhinekaan dan anti toleransi.
“Dua kali takbir saya lakukan setelah kasus Siyono. Ini saya lakukan setelah ada stigmatisasi bahwa takbir seolah radikalis, teroris, anti bhineka, anti toleransi,” kata Dahnil saat tabligh akbar yang diselenggarakan Muhammadiyah di Kuala Lumpur, Sabtu (28/1).
Turut hadir pada acara tersebut anggota DPRD Jatim Drs Khusnul Akib MM, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia, Dr Soni Zulhuda, Kepala Fungsi Pensosbud KBRI Kuala Lumpur dan juga Kepala Konsuler, Trigustono Suprayitno.
Dahnil mengatakan tuduhan bahwa teriakan takbir sebagai sikap anti toleransi merupakan tudingan yang menyakitkan bagi umat Islam.
“Takbir itulah yang menancapkan semangat pejuang dalam meraih kemerdekaan. Kok kemudian dituding anti kemerdekaan. Orang yang bilang begitu tidak belajar sejarah. Yang terjadi adalah ada ketidakadilan pada umat Islam,” katanya.
Dahnil menceritakan saat membuka Tanwir Pemuda Muhammadiyah Presiden Joko Widodo juga sempat meneriakkan takbir tersebut.
Dia mengingatkan bahwa para tokoh-tokoh Islam telah rela tidak memasukkan kalimat kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dalam rangka mengakomodasi masyarakat Indonesia Timur karena kalau tidak negara Indonesia tidak akan terwujud.
“Pada kasus Ahok kami minta ditindak secara hukum. Kami tidak ingin memanasi suasana tetapi kami juga mendukung keadilan. Solusinya adalah menghadirkan keadilan,” katanya.
Dia mengatakan Muhammadiyah bisa hadir dimana-mana karena “ruhul ikhlas” dan “ruhul jihad”.
“Muhammadiyah bisa hadir di mana-mana termasuk Malaysia karena dua hal. Muhammadiyah memiliki ratusan pesantren, rumah sakit dan perguruan tinggi karena dua hal tersebut,” katanya.
Dia mengatakan Muhammadiyah adalah kumpulan dari produk “ruhul ikhlas” dan Muhammadiyah akan tetap ada selama “ruhul ikhlas” ada.
“Karakter dakwah orang Muhammadiyah harus menggembirakan dan memajukan. Yang disebut memajukan bukan hanya harus memakai alat-alat moderen tetapi maksudnya adalah memiliki karakter dan akhlak yang baik,” katanya.
Dia mencontohkan Suku Badui itu menolak modernisasi tetapi kalau ada orang mencemari dan merusak lingkungan milik mereka orang Badui akan marah.
“Modernisasi adalah perubahan cara berfikir. Ada etika, ada standar, bukan perubahan alat-alat produksi an sich. Siapa yang lebih maju dan beradab kalau misalnya ada orang Jakarta yang membuang sampah sembarangan ?,” katanya.
Dia juga menegaskan keberpihakan Muhammadiyah pada kasus Siyono justru untuk mendukung deradikalisasi karena kalau tidak akan menjadi lahan balas dendam kelompok radikalis.
“Berkemajuan dalam Muhammadiyah adalah bergerak maju. Gerakan amar nahi mungkar harus bergerak menuju menghadirkan keadilan melawan kedholiman,” katanya.
Dia juga menghimbau agar Muhamadiyah tidak mudah mengkhafirkan dan menyesatkan kelompok lain.
“Dakwah Muhammadiyah harus menggembirakan. Kyai Ahmad Dahlan dalam sejarahnya tidak pernah mengatakan kalian sesat dan kalian kafir. Kyai Dahlan muncul sebagai man of action. Dakwahnya menggembirakan sekali. Jangan sekalipun orang Muhammadiyah mengatakan orang itu sesat. Jangan Kokam membubarkan orang lain,” katanya (Agus Setiawan).