Renungan Surah As-Shoff (2)

Renungan Surah As-Shoff (2)

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Kedua: Self Criticism, Correction dan Development

Dalam melakukan perbaikan, yang dikenal dalam agama ini dengan dakwah, Al-Qur’an menekankan pada kesadaran pribadi, diri sendiri, sebelum orang lain. Mungkin ungkapan yang populer adalah: “Ibda’ bi nafsika” (mulai dengan diri sendiri).

Umat terdahulu (umat nabi Musa) dikritik keras Al-Qur’an karena kegagalan melakukan perbaikan diri sebelum mngajak orang lain. “Apakah kamu menyeru orang lain berbuat kebaikan lalu lupa diri sendiri, sedangkan kamulah yang membaca Al-Kitab? Tidakkah kamu berpikir?”

Oleh karenanya hal kedua yang diingatkan oleh Surah As-Shoff adalah: “Wahai orang yang beriman! Kenapa kamu mengatakan hal yang kamu sendiri tidak lakukan? Sungguh besar amarah Allah dengan apa yang kamu katakan tanpa amalan”.

Kalimat mengatakan: “Mengatakan tanpa mengamalkan” mengisyaratkan betapa banyak manusia dari kalangan umat ini yang menjadikan Islam “hiasan lidah” (lip service). Menjadikan Islam sebagai slogan yang tidak punya pembuktian dalam kehidupan.

Sikap umat seperti ini sangat berbahaya. Karena selain sangat disayangkan, bahwa Islam seolah tidak bermanfaat buat dirinya sendiri, juga sikap ini boleh jadi menjadi “hijab” (penghalang) antara keindahan Islam dan orang lain.

Saya menilai ada tiga hal mendasar yang umat harus segera benahi dalam dunia yang penuh tantangan ini.

  1. Urgensi Membangun Wawasan yang Luas.

Dalam dunia global saat ini dunia kita mengalamai keterbukaan. Kecanggihan sains dan teknologi melahirkan kecepatan informasi dan telekomunikasi yang dahsyat, menjadikan dunia kita sebagai dunia terbuka.

Keterbukaan dunia seperti ini sekaligus menjadikannya semakin kecil. Dunia sekarang ini tidak lebih dari sebuah kota atau perkampungan kecil. Dalam kota atau kampung kecil itulah semua manusia menjalani hidup sebagai tetangga, bahkan satu keluarga.

Dunia seperti ini lebih dikenal sebagai dunia yang mengalami “interconnectedness” yang tinggi. Semua penduduk sebagai anggota keluarga itu sesungguhnya bagaikan hidup dalam satu rumah bersama (shared home).

Dalam mengantisipasi keadaan dunia kita yang seperti ini umat memerlukan wawasan yang luas. Kita tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dunia seperti ini jika masih memiliki wawasan “bagaikan katak di bawah tempurung”.

Dan dalam konteks seperti ini pula agama Islam kita dipahami. Dipahami dengan wawasan keterbukaan. Bukan dengan wawasan pemaham yang boleh jadi ketinggalan zaman (out dated).

Saya yakin, makna terutama dari perintah IQRA (membaca) adalah agar umat mempersiapkan wawasan luas dalam memahami, tidak saja sumber-sumber suci (Al-Quran dan As-Sunnah). Tapi juga bagaimana nilai-nilai suci itu diterjemahkan ke dalam nilai-nilai kehidupan nyata.

  1. Urgensi Komunikasi yang Sesuai

Islam itu adalah Al-haqq (kebenaran) mutlak. Umat tidak akan berselisih akan kebenarannya. Karena Islam adalah kebenaran dan jalan hidup yang benar maka umat ini berkewajiban untuk menyampaikannya kepada seluruh alam (kaafatan lin-naas).

Kewajiban tabligh juga harusnya tidak diperselisihkan oleh umat ini. Ada kesepakatan umat (ijma’ al-ummah) dalam hal ini. Justeru pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana cara atau metode tepat dalam menyampaikan kebenaran Islam?

Pada sisi inilah kemudian komunikasi menjadi krusial. Betapa tidak, bentuk komunikasi dalam penyampaian (tabligh) ini seringkali menentukan warna Islam di mata orang lain. Dengan kata lain, kebenaran Islam seringkali berubah warna ketika disampaikan dengan komunikasi yang tidak tepat.

Akibat kesalahan dalam mengkomunikasikan Islam ini seringkali dakwah salah sasaran. Dakwah yang esesnsinya mengajak berubah menjadi pengusiran. Jangan terhadap non Muslim. Dakwah kepada sesama saja seringkali menampakkan wajah yang buruk dan menakutkan.

Dalam dunia pertarungan persepsi saat ini seringkali komunikasi buruk ini menjadi penyebab kesalahpahaman terhadap kebenaran. Betapa Islam dipersepsikan bahkan dituduh sebagai agama kekerasan karena pendekatan komunikasi para da’i yang keras.

Oleh karenanya umat ini harus belajar komunikasi yang pas. Sebab, ingat, dengan komunikasi yang benar Islam akan menjadi sebuah kekuatan dahsyat menembus relung jiwa manusia.

  1. Urgensi Membangun Karakter Mulia

Salah satu kekuatan utama umat ini ada pada karakternya. Dan itulah yang menjaidkan kenapa tujuan risalah ini adalah untuk menyenpurnakan “akhlak mulia”.

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, krisis karakter sedang menimpa umat ini. Bahkan saya melihat kritikan Al-Quran: “Kenapa kamu mengatakan apa-apa yang kamu sendiri tidak lakukan” dominannya ada pada karakter ini.

Islam adalah agama tauhid. Yakni agama yang mengajarkan “keesaan Tuhan”. Mengajarkan bahwa yang superior dan penguasa hidup itu tunggal tanpa sekutu. Kenyataannya umat, sadar atau tidak, menuhankan berbagai hal dalam hidup ini selain Allah. Perhatikan karakter umat dalam menyikapi “kekuatan dunia”. Umat ini sedang diperbudak oleh kekuatan-kekuatan luar.

Tapi yang tidak kalah pentingnya pula Islam yang mengajarkan semua nilai positif itu tinggal menjadi konsep yang indah. Islam itu adil tapi kezaliman dalam dunia Islam semakin menjadi-jadi.

Islam itu pembangunan dan kemakmuran. Tapi dalam dunia Islam pembangunan dan kemakmuran itu milik segelintir manusia. Islam itu damai dan gotong royong. Tapi di dunia Islam konflik dan kekerasan semakin menjadi-jadi.

Semua hal di atas menjadi objek kritikan Al-Qur’an jika memang berislam kita ada pada lip service dan slogan.

Oleh karenanya, menghadapai berbagai tantangan terhadap umat sekarang ini memerlukan kesadaran akan kekurangan kolektif. Ingat, Islam itu sempurna dan hebat. Tapi pemeluk umat perlu belajar “rendah hati” menyadari berbagai kekurangannya.

Menyadari kekurangan ini tentu perlu dimulai dengan “introspeksi diri” yang sungguh-sungguh.

Dengan menyadari berbagai kekurangan itu akan tumbuh keinginan “berbenah”, memperbaiki kembali (islah). Perbaikan demi perbaikan yang dilakukan akan terus membangun kekuatan umat.

Sehingga, memang cara jitu menghadapi tantangan saat ini adalah dengan keinginan melakukan “self criticism” (kritis pada diri sendiri), “self correction” (perbaikan diri atau islah), lalu “self development” (membangun diri sendiri).

Dalam bahasa agama hal di atas dikenal dengan “taubat”. Artinya ajakan sebagian kepada umat untuk bertaubat kolektif memang bukan sesuatu yang baru.

Kenyataan ini tersimpulkan dalam peringatan Allah: “sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka merubah diri mereka sendiri”.

———————————————————

Catatan saat (masih) dalam perjalan menuju NYC

*Penulis adalah Presiden Nusatara Foundation

Exit mobile version