Renungan Surah As-Shoff (3)

Renungan Surah As-Shoff (3)

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Ketiga: Urgensi membangun shof yang solid

“Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dengan barisan yang rapih, bagaikan gedung yang kokoh”.

Realita terpahit yang dialami oleh umat ini adalah perpecahan dan konflik serius. Seolah tiada pertikaian dan perpecahan, bahkan permusuhan dan peperangan tiada nampak ujungnya. Tidak jarang pula tidak diketahui pangkalnya (akar pertikaian itu).

Sesungguhnya keragaman umat dan perbedaan pendapat, baik dalam masalah-masalah agama, isu politik, sosial, dan seterusnya bukan masalah. Bahkan hal itu diterima sebagai bagian dari “tabiat keumatan” bahkan menjadi “tabiat kemanusiaan” kita. Dari zaman Rasul perbedaan-perbedaan itu ada. Baik antara Abu Bakar dan Umar. Bahkan perbedaan pendapat antara Rasulullah SAW dan umatnya dalam hal-hal strategi keumatan, seperti strategi perang, dan bukan dalam hal urusan agama.

Perpecahan dan konflik internal umat ini menjadi kekuatan besar pihak luar untuk semakin menekan, bahkan menginjak-nginjak kehormatannya. Perhatikan perjuangan saudara-saudara kita di Palestina. Puluhan tahun mereka berjuang, baik secara fisik maupun politik dan diplomasi, tapi dari waktu ke waktu tanah mereka semakin tergerogoti. Bukan karena mereka lemah. Mereka kuat, bukan dalam persenjataan. Tapi dalam tekad dan ruh perjuangan.

Kelemahannya ada pada saudara-saudara se-Islam mereka yang tidak memberikan dukungan sepenuhnya. Atau dukungan tidak lebih pada batas-batas slogan politik demi memenangkan sebuah pemilu pada negara masing-masing. Sungguh isu Palestina sering menjadi isu kampanye kandidat Muslim. Tapi setelah terpilih, slogan itu tersimpan rapi di arsip-arsip kampanye mereka.

Kembali ke ayat tiga Surah As-Shof tadi. Intinya umat ini diperintahkan untuk membangun shof yang kuat. Shof itu bagaikan gedung yang solid dan indah. Gedung di mana penghuninya mencari naungan dan kenyamanan. Gedung yang rangka-rangkanya saling terkait dan memainkan fungsinya masing-masing.

Umat juga demikian. Boleh jadi membangun berbagai ragam langkah perjuangannya. Ada yang meneruskan langkah perjuangan melalui strategi politik. Ada pula melalui penguatan ekonomi umat. Dan mungkin ada pula melalui berbagai kegiatan sosial budaya. Bahkan jika masanya dan diperlukan melalui perjuangan senjata.

Semua jalan yang dilalui itu bagaikan rangka-rangka gedung yang saling terikat walaupun memiliki fungsi yang berbeda. Tangga tidak perlu iri kepada pintu karena diinjak-injak setiap hari demi penghuni gedung itu memasuki pintunya. Atau tiang rumah tidak perlu mengeluh karena harus menopang atap yang selalu menampakkan diri.

Keragaman umat dan peranan berbeda-beda yang mereka lakukan masing-masing punya makna dan nilai pada tempatnya. Selama jalan-jalan yang ditempuh itu bermuara dari SATU, menuju kepada yang SATU pula. Bermuara dari “Lillahi” menuju kepada “li i’laai Kalimatillah”.

Satu hal yang perlu kita sadari. Bersatu tidak pernah dipahami sebagai “penyeragaman”. Bahwa persatuan itu bukan berarti menyamakan segala hal yang berbeda. Sebab kalau perbedaan sudah ditiadakan maka kata “persatuan” sesungguhnya tidak lagi diperlukan.

Oleh karenanya persatuan dituntut esksistensinya karena menyadari eksistensi perbedaan dan keragaman. Justeru umat dituntut bersatu karena kesadaran tentang perbedaan-berbedaan yang ada. Dan berbeda tidak selalu diartikan “berpecah, konflik, dan bermusuhan dan perang”.

Memahami Shof

Dalam ayat itu Allah mengilustrasikan persatuan umat (wihdatul ummah) dengan “barisan” (shoff) yang solid.

Shof biasanya identik dengan sholat berjamaah. Bahwa shof perlu diluruskan, diatur secara baik, di saat melakukan sholat berjamaah. Bahkan Umar begitu tegas sehingga beliau meluruskan shof ketika itu dengan pedangnya.

Kenapa shof sholat berjamaah? Karena ketika sholat berjamaah maka saat itu sejatinya jati menjadi satu, selaras dalam satu emosi, merendah (khusyu) kepada Pencipta langit dan bumi. Saat itu jiwa-jiwa tidak lagi terpilah-pilah kepada keadaan fisik dan perbedaan status duniawi. Emosi manusia hanyut bersama dalam kesatuan penghambaan kepada Raja alam semesta.

Tantangannya kemudian adalah bahwa sholat yang dilakukan oleh umat ini merupakan ibadah yang implikasinya “wajib” menembus dinding-dinding masjid. Moral teachings (nilai-nilai moral) dari ibadah ritual sholat mutlak terbawa ke dalam realita kehidupan umat. Maka jika shof terbangun rapih di masjid-masjid, maka shof-shof di masjid itu menjadi cahaya dan landasan bagi terbangunnya shof-shof solid di luar masjid.

Dilemmanya memang adalah umat ini hebat bershof dalam masjid. Tapi ketika sudah bersentuhan dengan dunia luar, seolah shof itu tidak ada wuhudnya. Ajaran bershof di masjid seolah mainan, atau hiasan yang tertempel di masjid-masjid.

Padahal lebih krusial lagi umat ini membangun shof-shof di pasar, parlemen, istana negara, bahkan di jalan-jalan di seluruh lorong dan jalan-jalan.

Saya ingin akhiri bahwa salah satu kekuatan umat Yahudi dunia adalah karena kemampuan mereka membangun shof di luar rumah-rumah ibadah mereka. Boleh jadi mereka tidak akan pernah bersatu dalam kegiatan ritual di sinagog-sinagog mereka. Tapi ketika sudah bersentuhan dengan dunia realita di lapangan, mereka mampu membangun “networking” yang dahsyat.

Kenyataannya kemudian 14 juta Yahudi dunia mampu mewarnai berbagai kebijakan dunia, baik secara politik, ekonomi, bahkan dalam urusan keamanan dunia itu.

Sebaliknya umat ini dengan jumlah fantastis, 1.6 milyar manusia, bagaikan buih di tengah laut, terhempas kiri kanan mengikut arus pergerakan dan hempasan ombak. Sekali-sekali nampak ke permukaan. Tapi tidak jarang tenggelam ke dasar hampir tidak punya bekas.

—————————————————-

*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation

Exit mobile version