Oleh: Imam Shamsi Ali*
Donald Trump on his fantastic show: “You are fired”!
Menakjubkan, Akting Jaksa Agung Amerika, Sally Q Yate, dengan terang-terangan menentang keputusan Presiden Donald Trump (Executive Order) melarang warga dari tujuh negara Muslim Mayoritas masuk Amerika. Alasan Jaksa Yate adalah bahwa mempertahankan kebijakan ini tidak lagi kondusif, bahkan tidak lagi memiliki basis legalitas.
Menyikapi itu, Presiden Trump mengambil sikap keras dengan memecatnya, bahkan menuduhnya telah mengkhianati negara. Sebagai penggantinya diangkat Dana J. Boente, seorang Jaksa Tinggi dari negara bagian Virginia sebagai Akting Jaksa Agung (Acting Attorney General).
Calon Jaksa Agung Donald Trump yang diajukan ke Senate untuk disetujui hingga saat ini belum mendapatkan konfirmasinya. Calon tersebut adalah Senator Jeff Session dari Alabama juga penuh dengan kontroversi dan mendapat resistensi keras dari kalangan Afro Amerikan dan minoritas lainnya. Senator Session dikenal di Alabama dengan berbagai posisi politik yang rasis.
Mundurnya Akting Jaksa Agung ini telah menimbulkan perpecahan yang sengit, drama, bahkan kekisruhan bahkan ketidak menentuan di Kantor Kejaksaan Amerika. Bahkan juga perpecahan, kekisruhan dan ketidak menentuan di departmen lainnya, khususnya di Kementrian Luar Negeri.
Sekali lagi Presiden memperlihatkan karakter aslinya yang memiliki tendensi “undemocratic”. Saya memakai kata “diktatorship” karena mungkin terlalu vulgar dan sensitif. Tapi arahnya karakter dan kepribadian Donald Trump telah nampak dengan jelas. Yaitu cenderung untuk mengambil keputusan bardasarkan pertimbangan sendiri, atau minimal hanya mendengarkan orang-orang dekatnya semata.
Itu semua diketahui karena ternyata keputusan untuk melarang warga Muslim dari tujuh negara itu tidak dikonsultasikan dengan pihak-pihak terkait, termasuk Kantor Kejaksaan, Departemen Luar Negeri Amerika, dan Kementrian Dalam Negeri (Department of Homeland Security). Mereka semua mengetaui keputusan itu setelah ditanda tangani oleh presiden.
Barack Obama sejak meninggalkan Gedung Putih juga untuk pertama kalinya berbicara kepada publik. Obama mengingatkan bahwa keputusan politik yang semena-mena dan merusak tatanan nilai-nilai Amerika (American values) akan membawa Amerika ke jurang kehancurannya. Pada sisi lain memuji resistensi warga Amerika terhadap keputusan Donald Trump itu.
Demonstrasi berlanjut
Sementara itu menyikapi pelarangan Donald Trump bagi warga dari tujuh negara Muslim itu warga Amerika melanjutkan resistensi mereka dengam demo besar-besaran di berbagai kota dan bandara Amerika.
Dikhawatirkan bahwa demo-demo tersebut akan semakin membesar dan menjadi gerakan nasional, yang bertujuan tidak saja menentang pelarangan Trump kepada warga Muslim dari tujuh negara. Tapi juga bertujuan untuk membangun kekuatan untuk menuntut agar Donald Trump diturunkan (impeach) dari kepresidenan Amerika.
Di berbagai negara bagian dan kota Amerika juga muncul resistensi keras terhadap Presiden Trump. Salah satu di antara gubernur yang paling keras dalam hal ini adalah gubernur Washington di bagian barat Amerika. Bahkan sang gubernur memposisikan Trump sebagai musuh Amerika dan tindakannya dianggap pelanggaran nyata terhadap konstitusi.
Washington sendiri adalah negara bagian pertama yang secara resmi melakukan tuntutan ke pengadilan untuk membatalkan kebijakan Trump itu.
Intinya saat ini Amerika sedang mengalami drama besar. Seorang presiden yang nampaknya memerintah dengan gaya pemilik bisnis. Seolah negara ini adalah miliknya sendiri dan berhak untuk dikelolah sesuai dengan kehendak dan kecenderungannya.
Kehebohan demi kehebohan telah menggoncang tidak saja Amerika. Tapi nampaknya telah mendunia, bahkan menembus kampung-kampung, pesisir laut, dan gunung-gunung sana.
Oh Trump!
* Presiden Nusantara Foundation