YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Muhammadiyah memiliki posisi strategis dan peran kebangsaan yang tidak lapuk oleh zaman. Kiprahnya terus saja membesar. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan bahwa di antara sebab yang menjadikan Muhammadiyah bisa terus dibutuhkan umat adalah karena Muhammadiyah mampu untuk memposisikan diri dalam situasi yang dinamis.
“Ada kepentingan besar kita dan strategis untuk mendorong Muhammadiyah tiga tahun, empat tahun ke depan untuk lebih dinamis, tetapi juga punya posisi yang kuat dalam konteks kehidupan keumatan dan kebangsaan,” tutur Haedar Nashir dalam acara Darul Arqam Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se-PWM DIY, di gedung P4TK Seni dan Budaya, Yogyakarta.
Menurut Haedar, Muhammadiyah dituntut untuk terus berbenah dalam memberikan yang terbaik bagi umat dan bangsa. Konsistensi mengusung Islam Berkemajuan harus terus dinyalakan. “Kalau kita selangkah saja berhenti, maka akan ketinggalan oleh yang lain,” ungkapnya.
Haedar mencontohkan peristiwa aksi bela Islam 212. “Dari peristiwa 212 itu dampaknya bisa macam-macam. Sekarang muncul wacana di banyak pihak bahwa ormas mainstream seperti Muhammadiyah dan NU telah kehilangan perannnya dan telah diambil alih perannya oleh FPI. Ini sudah berkembang di mana-mana dan beberapa media asing. Ini diperkuat oleh sebagian tokoh atau orang kita sendiri yang semacam menguatkan itu,” ujarnya.
Menyikapi situasi tersebut, Haedar menyatakan bahwa Muhammadiyah memiliki dua posisi dalam dinamika kebangsaan. “Pertama, kita punya agenda menjadikan Muhammadiyah ini sebagai organisasi Islam yang bisa mengaktualisasikan pandangan-pandangan Islam Berkemajuan, yang menjadi komitmen kita sejak muktamar 2010. Yang implementasinya itu akan dihadapkan pada tarik menarik pandangan keislaman yang sekarang berdiaspora begitu rupa di lingkungan umat Islam kita. Ada yang arahnya sangat ke kanan ada yang arahnya sangat ke kiri,” urai Haedar.
Keberadaan pandangan yang menarik pemahamam Islam ke kanan atau ke kiri, merupakan hal yang wajar, sebagai implikasi dari pemahaman Islam yang begitu luas. “Islam itu dari A-Z, lalu cara paham dan tafsirannya berdasarkan kapasitas dan pengalaman masing-masing kelompok dan tokoh, lalu mempengaruhi konstruksi pemahaman itu,” ujarnya.
Di tengah dua arus tersebut, Muhammadiyah tidak boleh gamang dan apalagi terbawa arus. Muhammadiyah telah memiliki prinsip kepribadian dan manhaj yang kokoh. “Kita tidak dalam posisi konfrontatif tetapi juga tidak bisa melebur begitu saja. Karena kita punya karakter, kepribadian, dan manhaj tarjih sendiri,” katanya.
Kedua, dalam konteks dinamika kebangsaan. “Umat Islam sekarang, di satu pihak ingin melakukan usaha peneguhan diri, aktualisasi dan ekspresi menjadi umat yang terbaik di tengah kehidupan kita yang majemuk,” kata Haedar.
Uslam Islam, ujar Haedar, di satu pihak secara demokratis besar, tapi secara ekonomi-politik dan budaya, umat Islam belum memiliki kekuatan. “Secara ekonomi jelas kentara sekali. Umat Islam mungkin hanya minoritas saja yang kuat secara ekonomi. Yang lainnya menengah ke bawah. Posisi menengah ke bawah ini tidak memiliki daya tawar. Kelompok ini bisa kalah oleh kelompok yang minoritas. Ini menjadi problem utama kita,” tuturnya.
Persoalan tidak punya daya tawar dalam bidang ekonomi-politik dan budaya ini sering disadari tetapi jarang melahirkan solusi yang akurat. “MUI pernah ingin melakukan peneguhan ekonomi politik social budaya. Tapi baru sebatas wacana,” ujarnya.
Dalam konteks matan keyakinan, kata Haedar, juga ada agenda besar yang harus dihadapi Muhammadiyah. “Bagi yang kiri, ingin mengkonstruksi negara, menginginkan agama tidak masuk dalam aspek bernegara. Tapi yang di sebelah kanan, masih ada juga kelompok yang menginginkan Indonesia menganut asas kekhalifahan Islam,” kata penulis buku Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.
Di tengah dua situasi tersebut, Muhammadiyah telah memposisikan diri dalam konteks negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, sesuai dengan keputusan muktamar 2015 di Makassar. “Bagi Muhammadiyah, Pancasila itu tidak lebih dan tidak kurang adalah sebagai dasar negara. Karena dulu ketika sidang BPUPKI, yang ditanyakan oleh Soekarno adalah apa yang menjadi dasar negara kita,” katanya.
“Oleh karena itu, maka Indonesia tidak bisa menjadi negara sekular. Segala bentuk sekularisasi terhadap NKRI bertentangan dengan cita-cita kebangsaan, kenegaraan, dan kemerdekaan. Tapi kita juga tidak ingin menjadikannya sebagai negara agama. Tetapi negara yang nilai-nilai agama itu mewarnai, menjiwai, tumbuh dan hidup subur dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan,” tuturnya.
Di tengah dua arus tersebut, Muhammadiyah tidak mengambil sikap konfrontatif, tetapi mendialogkan dan mengambil sikap tengahan. Dalam pandangan keagamaan Muhammadiyah, ada yang purifikasi atau tajrid dalam bidang aqidah, ibadah dan akhlak. Ada yang dinamisasi atau tajdid dalam selain bidang aqidah, ibadah, akhlak.
Seorang muslim, dalam pandangan Muhammadiyah, harus memegang teguh nilai-nilai akidah-ibadah dan akhlak, bersikap terbuka dan toleran, serta memiliki alam pikiran yang maju. “Itu sudah menjadi manhaj tarjih. Muhammadiyah harus seimbang antara tajdid dan tajrid. Ini harus ditanamkan secara seimbang, luas, dan mendalam,” kata Haedar.
Di Muhammadiyah, kata Haedar, berlaku prinsip ilmu amaliyah dan amal ilmiyah. “Orang Muhammadiyah sejalan antara ucapan dan amalan. Orang Muhammadiyah dalam kehidupannya selalu mendorong nilai-nilai irfani tumbuh,” ungkapnya. Di sisi lain juga senantiasa memberi rasa aman bagi kelompok minoritas. (Ribas)