YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Sudah umum diketahui bahwa persoalan negara ini adalah kedaulatan dan keadilan. Banyak sumber daya ekonomi bukan lagi milik pribumi. Bidang industri banyak yang dikuasai asing. Kedaulatan secara ekonomi masih menjadi sisi gelap bangsa ini. Memang tidak bisa menyalahkan masuknya investor asing masuk Indonesia, tetapi bagaimana pun keseimbangan penguasaan sumber daya ekonomi harus ada. Tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat adalah amanat konstitusi, sehingga negara memiliki kewenangan besar untuk mengatur itu semua. Negara mestinya memberikan keleluasaan bangsanya sendiri untuk ikut bersaing. Negara mesti membuat aturan perundang-undangan yang menguntungkan rakyatnya, bukan malah memberikan peluang kepada pihak lain yang justru merugikan bangsanya sendiri.
Beberapa waktu lalu, dirilis beberapa media, pernyataan banyak elit bahwa ekonomi bangsa ini dikuasai oleh 10% saja dari jumlah populasi penduduk Indonesia. 10% populasi tersebut menguasai 90% aset ekonomi bangsa. Sementara 90% populasi penduduk Indonesia berebut dari 10% aset sisanya.
Ketika melihat kondisi distribusi ekonomi global, Menurut Thomas Pogge, filosof Amerika, menyatakan bahwa seandainya 2% saja dari penghasilan para penguasa ekonomi (yang berjumlah 10% dari total populasi) didistribusikan kepada masyarakat paling bawah, maka akan ada pergeseran dan perubahan yang signifikan secara global. Akan tetapi, menurutnya, hal itu mustahil terjadi. Oleh karena itu, Pogge menyebut fenomena ketidakadilan akses ekonomi tersebut sebagai kejahatan yang monumental (monumental crime). Bahkan, sambungnya, pemerintah juga akademisi ikut terlibat dalam monumental crime ini. Pemerintah terlibat dengan perundang-undangannya yang memberi peluang pada kajahatan tersebut. Sementara akademisi bermain dengan penelitian-penelitiannya.
Kondisi ini tentu saja sangat merugikan. Karena itulah angka kemiskinan tidak kunjung membaik. Jarak antara yang kaya dan yang miskin bertambah jauh: kesejahteraan sama sekali belum merata. Sehingga, tidak semua warga memperoleh akses memadai, baik akses ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Tidak ada jalan lain, pemerintah perlu kembali kepada amanat konstitusi. Prinsip konstitusi harus menjadi ruh setiap kebijakan yang dibuatnya. Sementara warga sipil perlu memperkuat diri dengan penyadaran dan pendampingan terhadap berbagai upaya membangun kapasitas ekonomi. Jalan inilah yang diharapkan akan mampu mendorong kedaulatan dan kemandirian ekonomi dengan prinsip keadilan sosial menuju kesejahteraan bangsa (BA).
Ulasan selengkapnya bisa anda baca di Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 4 Th. Ke-102/16-28 Februari 2017 dengan tema “Virus Keadilan Sosial.”
Pemesanan hubungi: SIRKULASI/PEMASARAN Jl KHA Dahlan 43 Yogyakarta 55122. Telp. 0274-376955 (ext. 1). Fax. 0274-411306. SMS/WA/Call: 0819-0418-1912