YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Pekan Budaya Tionghoa 2017 yang digelar pada 5–11 Februari 2017 di Kampung Ketandan meriahkan perayaan imlek tahun ini. Acara yang digalang oleh warga Tionghoa Yogyakarta itu banyak menampilkan sejarah budaya etnik Tionghoa dan sejarah Kampung Ketandan.
“Acara ini diharapkan dapat menjadi sebuah melting pot, ketika semua elemen masyarakat Yogyakarta tumpah ruah tanpa memandang perbedaan,” ucap Budi Setyagraha (Huang Ren Chong) mantan Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DIY.
Acara semacam ini sesungguhnya sudah dijalankan secara rutin sejak 2005, sehingga Pekan Budaya Tionghoa kali ini, yang bertepatan dengan akhir perayaan Cap Go Meh, sudah menginjak usia ke-12. Menurut kabar, acara itu sendiri akan dibuka dengan karnaval liong tepanjang se-Asia Tenggara dan didukung oleh setidaknya 14 paguyuban Tionghoa. Acara itu pun diharapkan dapat banyak menarik minat massa.
Menurut salah satu Tokoh PITI DIY itu, acara berbalut budaya ini pun menjadi ladang syiar Islam bagi PITI. “Ibarat menyelam sambil minum air,” ungkapnya.
Dakwah semacam ini, Budi melanjutkan, PITI ingin menunjukkan bahwa Islam adalah benar-benar agama rahmatan lil ‘alamin, khususnya syiar bago warga Tionghoa Yogyakarta. Menurutnta, yang harus menggalang syiar Islam ke komunitas Tionghoa tentu adalah Muslim Tionghoa sendiri, bukan etnik lain. Karena Muslim Tionghoa lah yang lebih mengerti keadaan yang dihadapi oleh sesama warga Tionghoa (yang belum memeluk Islam), termasuk budaya dan filosofi kehidupan masyarakat Tionghoa.
Berdasarkan pengamatanya, hingga kini dakwah di tengah-tengah etnik Tionghoa masih menghadapi beberapa kendala. Di antaranya kendala psikologis, sosiologis, fisik, hingga ekonomis. Ia mengharapkan agar warga Muslim Tonghoa lebih peduli dengan warga Tionghoa lainnya (yang belum memeluk Islam) dalam hal syiar Islam, dan mendukung syiar Islam dengan bersemangat dan sungguh-sungguh. “Peran-peran Muslim Tionghoa dalam dakwah pun perlu senantiasa diangkat guna mendobrak berbagai pembatas dan merubah paradigma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pada umumnya, dan masyarakat Muslim pada khususnya,” terang Budi
Tentu saja, Budi menambahkan, selain mendukung acara kebudayaan yang positif seperti ini, gagasan dakwah yang sedemikian rupa juga perlu didukung karena segaris dengan model dakwah yang dahulu pernah dilakukan mubaligh lainnya. Hal ini juga selaras dengan gagasan dakwah kultural ala Muhammadiyah yang merupakan suatu pendekatan dan strategi dakwah dalam konteks aktualisasi ajaran Islam di tengah dinamika kebudayaan dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat (Adt/g).