YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Meski belum banyak tamu undangan yang berdatangan, Kamis (9/2) pagi itu, di antara barisan paling belakang kursi tamu yang sejak semalam tersusun rapi, sesosok pria terlihat duduk seorang diri. Ia biasa dipanggil Mbah Diman. Warna celana panjang dan kemejanya hampir pudar. Ia pun membenarkan letak peci yang bertanggar di atas rambutnya yang tak lagi hitam legam. Jenggot dan kumisnya juga telah beruban. Sesaat kemudian, seorang wanita muda menghampiri Mbah Diman, dengan sehelai kemeja batik berlengan panjang dan berwarna terang di genggamannya. Meski terlihat sedikit bingung, sesungging senyum dalam sekejap muncul di wajah rentanya.
Di menit-menit selanjutnya, kursi kanan dan kirinya mulai terisi, menemaninya yang menanti acara peletakan batu pertama pembangunan Grha Suara Muhammadiyah. Seperti biasa, mbah Diman begitu sigap datang lebih dulu di setiap helatan. Umurnya sudah tidak muda lagi, kisaran kepala delapan. Namun sinaran semangat kerja keras masih terus dipancarkan oleh sosok itu.
Kini, sehari-hari Mbah Diman bekerja mengepaki tumpukan majalah Suara Muhammadiyah yang akan dikirimkan ke pelanggan di berbagai daerah. Setiap pagi, ia tak pernah mangkir menaiki bus tua dari rumahnya menuju ke kantor yang beralamat di jalan KH Ahmad Dahlan, 43, Yogyakarta. Kediamannya berada jauh di pinggiran kabupaten Sleman, tepatnya di Minggiran. Menjelang malam, ia baru kembali ke keluarganya.
Rutinitas ini sudah dijalaninya semenjak empat puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, Suara Muhammadiyah masih tertatih-tatih. Sambil merangkak, kantor Suara Muhammadiyah beberapa kali berpindah tempat. Waktu berlari, satu-persatu rekan karyawan Suara Muhammadiyah seangkatannya pun telah beranjak pergi dan beberapa wajah-wajah tak pernah lagi terlihat menyapa Mbah Diman saat memulai hari atau menemaninya menyeruput kopi di kala senggang. Tidak sedikit di antaranya kini telah tiada.
Namun, siapa sangka, Buya Ahmad Syafii Maarif adalah satu di antara wajah-wajah yang entah sudah berapa lama tidak pernah lagi disapanya.
“Saya mulai ikut mengelola Suara Muhammadiyah sejak tahun 1965, saat itu Suara Muhammadiyah dinamai Suara Muhammadiyah wajah baru,” tutur Buya Syafii dalam wawancara dengan Suara Muhammadiyah Nomor 01 /99, 1 – 15 Januari 2013.
Ketika itu, Mbah Diman dan Buya Syafii masih sama-sama mengabdi menjadi karyawan dengan honor seadanya. Jika Mbah Diman sebagai OB, maka Buya Syafii muda sebagai reporter dan juru ketik. Di tengah keterbatasan fasilitas, Buya Syafii dan para reporter ketika itu harus mencari berita dan mewawancara narasumber majalah dengan akses yang tidak mudah.
“Saya mulai masuk sebagai korektor, saya bersama seniman-seniman muda lainnya seperti Muhammad Diponegoro, Adjib Hamzah, Abdullah Sabda dan yang lainnya yang kesemuanya sekarang sudah meninggal dunia. Saat itu Suara Muhammadiyah dipimpin H Basyuni,” kisah tokoh yang lahir pada 31 Mei 1935.
Kepiawan Buya Syafii dalam menulis memang sudah mulai ditunjukkan saat menggawangi redaksi majalah Sinar, sebuah Lembaga Pers Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Selain menulis, Buya juga merasakan menjadi guru honorer. Kerasnya kehidupan Buya Syafii muda sebagai yatim piatu yang merantau jauh dari Sumpur Kudus, Sinjunjung, membuatnya terbiasa membanting tulang demi bertahan hidup, termasuk menjadi pelayan toko dan berdagang.
Usaha tak kenal lelah mengantarkannya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke Amerika, atas bantuan dan rekomendasi sahabatnya, Prof Amien Rais. Setelah menyelesaikan Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio dan memperoleh gelar doktor dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, Buya Syafii kembali ke Yogyakarta dan ke Suara Muhammadiyah.
“Sepulang dari Amerika, selang beberapa tahun kemudian, saya menjadi Wakil Pemimpin Umum, kala itu Pimpinan Umumnya Amien Rais. Kemudian sejak Amien Rais terjun ke dunia politik, saya menjadi Pimpinan Umum Suara Muhammadiyah hingga saat ini. Sebetulnya saya ingin yang lebih muda yang memimpin Suara Muhammadiyah, tetapi ternyata tetap saja saya dipertahankan meski yang bekerja menjalankan roda Suara Muhammadiyah tetap orang-orang yang lebih muda dari saya,” tuturnya.
Buya Syafii terus berkiprah di ranah yang lebih luas untuk peran-peran kemanusiaan universal, keummatan, dan kebangsaan. Sementara Mbah Diman masih tetap bertahan di Suara Muhammadiyah untuk peran menumbuhkan ghirah literasi, menggiatkan media pencerahan. ‘Bekerja dalam senyap, membangun budaya iqro’ kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Semenjak Buya Syafii kembali dari Amerika, intensitasnya di Suara Muhammadiyah mulai berkurang. Buya lebih banyak mengabdikan diri dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di ranah kampus. Buya menjadi dosen sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Karirnya terus menanjak. Menulis di berbagai media. Menjadi pembicara di beragam forum. Menjadi ketua umum PP Muhammadiyah. Hingga dikenal luas sebagai tokoh bangsa.
Sedangkan Mbah Diman masih dengan semua rutinitasnya. Mengabdi di perusahaan pers Islam yang kini telah berusia 102 tahun itu. Media resmi Muhammadiyah ini telah memperoleh pengakuan Rekor MURI sebagai Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama. Kesuksesan Suara Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari dedikasi Mbah Diman dan para karyawan lainnya.
Seiring waktu, Suara Muhammadiyah terus berkembang. Unit bisnisnya pun mulai bertambah. Tidak hanya mengelola majalah, namun juga merambah penerbitan buku, toko dan lainnya. Sebagai konsekuensi, kantor Suara Muhammadiyah harus menambah ruang untuk operasional. Maka Suara Muhammadiyah pun menambah satu bangunan yang kemudian dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan.
Mbah Diman kemudian pindah ke bangunan yang berjarak sekitar 500 meter dari kantor pusat Suara Muhammadiyah, di Jalan KH Ahmad Dahlan 43, Yogyakarta. Buya Syafii di tengah beragam kesibukannya, sebenarnya sesekali masih menyempatkan diri untuk singgah di kantor Suara Muhammadiyah. Sayangnya, bukan ke tempat di mana Mbah Diman bertugas.
Berkat jasa Mbah Diman, Buya Syafii, dan yang lainnya dengan peranannya masing-masing, kini Suara Muhammadiyah akan membangun gedung megah berlantai lima, Grha Suara Muhammadiyah.
Tepat hari itu, 9 Februari 2017, bertepatan dengan Hari Pers Nasional, peletakan batu pertama gedung Grha Suara Muhammadiyah dilakukan. Momentum ini diambil sebagai simbol kebangkitan media pers Islam. Para tamu undangan berdatangan memberi doa dan dukungan.
Di saat lokasi tempat peletakan batu pertama Grha hampir penuh dipadati tamu undangan. Buya Syafii tampak dari kejauhan berjalan dengan langkah lambat, melewati meja registrasi, menjabati para tamu undangan yang hadir. Sebagai Pemimpin Umum, Buya Syafii pun diantar ke barisan paling depan bersanding dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Kapolda DIY Ahmad Dofiri, para ketua PP Muhammadiyah, Ketua PP Aisyiyah, para bupati/walikota di DIY, dan banyak tamu penting lainnya.
Namun, tak lama, ia melewati deretan paling belakang kursi-kursi yang mulai sesak. Tanpa sengaja, Buya Syafii bertemu pandang dengan laki-laki yang sama senjanya dengan dirinya.
Mbah Diman dengan tubuh sedikit terbungkuk berdiri dari kursinya dan sontak menjabat tangan serta memeluk Buya Syafii yang sorot matanya terlihat redup. Bagi Mbah Diman, pertemuan itu adalah hal yang tidak pernah terbayang olehnya. Keduanya sempat bercakap singkat. Mbah Diman dengan mulut terbata dan tubuh yang sedikit gemetar, menitikkan air mata melihat sosok di hadapannya yang juga telah menua, menjadi pribadi yang sukses dalam perjalanan hidupnya. Ada haru bercampur gembira terpancar dari wajah Mbah Diman Kala itu.
Dengan ingatannya yang tidak sebaik dahulu, kenangan mengantarkannya kembali ke 65 tahun silam. Di mana Buya Syafii dan mbah Diman berstatus sama, dua orang yang sama-sama telah mengabdi mengawal Suara Muhammadiyah menjadi seperti saat ini. Walaupun, perbedaan nasib yang pada akhirnya memisahkan jalan di antara dua sosok tersebut.
Dalai Lama pernah bertutur, sahabat lama pergi, sahabat baru berdatangan. Sama seperti hari-hari biasanya. Hari yang lama pergi, hari yang baru datang. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana membuatnya berarti: seorang sahabat yang berarti atau sebuah hari yang berarti. Mungkin demikianlah yang berlaku bagi Mbah Diman dan Buya Syafii.
Keadaan ini sebagaimana ditulis oleh Alice Walker, tidak ada seorang sahabat pun yang menginginkan sahabatnya diam dan menghambatnya untuk berkembang. Persahabatan Buya Syafii dan Mbah Diman membuktikan persahabtan yang memberdayakan, bukan yang memperdayakan. Saling mendukung untuk kemajuan, meskipun kadang harus mengambil peran dan jalan berbeda. Dan bahkan harus berpisah lama.
Mungkin orang-orang yang berlalu-lalang disekitar mereka tak banyak yang menyadari pertemuan antara dua teman seperjuangan tersebut. Namun bagi Buya dan Mbah Diman, bisa jadi pertemuan tersebut adalah kesempatan yang tak ternilai harganya.
Sebelum beranjak, Buya sempat mengeluarkan selembar rupiah untuk Mbah Diman. Didampingi oleh Pemimpin Perusahaan Suara Muhammadiyah Deni Asy’ari, Buya sempat berpesan, ”Tolong jaga dan perhatikan nasib Mbah Diman.” Kalimat itu dibisikkan Buya Syafii kepada Deni yang dijawabnya dengan anggukan.
Momen penuh haru itu pun sempat diabadikan oleh Fotografer Suara Muhammadiyah, Amin Mubarok. Tak lama setelah prosesi peletakan batu pertama, penulis menyempatkan diri untuk bertanya kepada Deni Asy’ari tentang cerita di balik pertemuan singkat antara Buya Syafii dan Mbah Diman pagi itu.
“Pak Diman lebih merasakan bangga terhadap Buya, karena walau dulu satu nasib di SM, Buya jauh lebih maju dan sukses. Sehingga Pak Diman sangat terharu. Dulu keduanya sama-sama pekerja di SM, Buya sebagai juru ketik, dan Pak Diman sebagai penjaga kantor. Setiap hari dua orang ini selalu bertemu,” jawab Deni (Ribas/Th).