YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Ketua Komisi Yusdisial Aidul Fitriciada Azhari menyatakan bahwa sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan keadilan social. Tidak hanya dalam wacana, namun juga dalam praksis nyata. Terutama melalui kerja-kerja di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan social. Hingga kini, jihad konstitusi yang digaungkan Muhammadiyah merupakan salah satu dari kelanjutan usaha itu.
“Kalau kita melihat perjuangan Muhammadiyah dari awal, Muhammadiyah kan lewat pendidikan, lewat PKU (Penolong Kesengsaraan Umum), dari awal bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial. Sehingga (jihad konstitusi) ini sejalan dengan tradisi Muhammadiyah yang panjang sekali. Sehingga saya kira bukan sesuatu yang tiba-tiba di Muhammadiyah (adanya jihad konstitusi), tetapi sesuatu yang menjadi tugas sejarahnya Muhammadiyah juga,” katanya.
Jihad konstitusi yang mulai digaungkan semenjak muktamar 1 abad Muhammadiyah, dianggap sebagai langkah cerdas. Beberapa UU yang diajukan akhirnya dibatalkan MK. “Kan salah satu amanat dari Muktamar soal jihad konstitusi. Jihad legislasi juga,” kata Aidul kepada Suara Muhammadiyah.
Menurut Aidul, jihad konstitusi Muhammadiyah yang melakukan Judicial Review (JR) atau uji materi terhadap segala bentuk UU yang melanggar UUD 1945 dan segala bentuk liberalisasi ekonomi yang berunjung pada ketidakadilan social-ekonomi. Merebaknya ekonomi serba liberal itu telah berunjung pada akumulasi capital di tangan segelintir orang. Lebih parah lagi, terjadinya privatisasi dalam hal-hal yang seharusnya untuk kepentingan public.
Sebagaimana disebut dalam pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Ayat (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
“Secara konstitusi, di dalam pasal 33 kan jelas bahwa sistem perekonomian kita atas dasar kekeluargaan. Modal itu bukan penentu. Perusahaan atau usaha-usaha milik negara itu menjadi salah satu leader, pendorong bagi kehidupan masyarakat. Hak dari sebagian perusahaan itu dimiliki oleh negara dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara itu tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial,” katanya.
Melalui jihad konstitusi, Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan arah kebijakan ekonomi yang sesuai dengan pasal 33 itu. Bahwa pemerintah harus menjamin keadilan social melalui system ekonomi yang diterapkan.
“Tidak berarti kita menolak sistem dengan pasar bebas. Nabi itu kan juga duduk di tengah pasar. Tapi Islam kan mengajarkan ada tanggung jawab etis, tanggung jawab sosial ya itu bahwa kekayaan yang diperoleh dari proses kerja sama atau pekerjaan ini tidak lantas dinikmati sendiri, tetapi harus didistribusikan menjadi kepada seluruh masyarakat sehingga bisa menjadi keadilan sosial,” kata Aidul (Ribas/Yusri).