YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Persoalan keadilan social masih menjadi momok bagi bangsa Indonesia .Presiden Jokowi dalam pertemuannya dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir beberapa waktu lalu, menegaskan komitmennya untuk mewujudkan kedaulatan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Langkah untuk menghilangkan kesenjangan social memang tidak mudah, sebagaimana dikatakan Ketua Komisi Yusdisial Aidul Fitriciada Azhari.
Aidul menyatakan bahwa ada beberapa penyebab sulitnya mewujudkan keadilan social dalam ranah praksis. “Pertama, peraturannya. Peraturan yang dari awal orde baru itu sudah ada kebijakan. Kekuatan modal menjadi lebih utama dibanding kerja sama,” kata Aidul kepada Suara Muhammadiyah.
Padahal, Indonesia memiliki konsep kerjasama dalam hal ekonomi yang dinamakan koperasi. Namun kini system koperasi semakin memudar. “Apalagi koperasi sekarang juga sudah tidak ada dalam UUD. Itu kan berarti secara substansi hukum keadilan sosial ini memang sudah dikurangi,” ujar dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu.
Kedua, hilangnya komitmen pemerintah. Menurut Aidul, menghilangkan segala bentuk ketidakadilan social merupakan tanggung jawab pemerintah. “Tentu saja perilaku pemerintahan sebagai pejabat bertugas untuk memberikan keadilan sosial. Namun pemerintah tidak punya komitmen yang kuat dalam mewujudkan keadilan sosial. Selama ini ada kecenderungan justru pemerintah itu ada di bawah kendali pemilik modal,” katanya
Ketiga, kultur liberal yang terbangun di masyarakat sekarang. “Para pelaku ekonomi lebih banyak berorientasi pada keuntungan. Kapital,” ungkapnya.
Menurut Aidul, UU yang ada di Indonesia, terutama UUD 1945 Pasal 33, sebenarnya telah mengatur tentang prinsip ekonomi. “Tapi ada inkonsistensi antara aturan ekonomi dengan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahannya liberal dengan pemilihan langsung mengakibatkan bahwa politik itu berorientasi pada pasar bukan pada kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu siapa yang memiliki modal banyak dialah yang berkuasa,” ujarnya.
Antara UU dan penguasa saling bertautan dalam menentukan keadilan social. “Karena yang modal yang memiliki kapital itu berkuasa maka dia akan menciptakan program-program yang menguntungkan dia. Karena itu maka harus ada sinkronisasi antara sistem ekonomi yang dalam UUD itu bertujuan untuk keadilan sosial dengan sistem politik,” ujarnya.
Sebagai solusi, Aidul menekankan pentingnya peran negara. “Semuanya kembali pada peran negara,” katanya. Mengacu pada sejarah awal Islam, nabi yang menjadi kepala pemerintah di Madinah ikut serta dalam menjaga kestabilan pasar. “Maka ekonomi harus diintervensi oleh negara. Jika tidak diintervensi ya tidak berjalan,” katanya.
“Sejarah nabi itu jelas, negara menjadi penting untuk mengintervensi mencampuri mekanisme pasar tapi tidak berarti menghilangkan mekanisme pasar,” ungkap Wakil Ketua Majelis Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik PWM Jawa Tengah itu (Ribas/Yusri).