Inilah 5 Etos KHA Dahlan yang Menjadi Spirit Persyarikatan Menurut Haedar Nashir

Inilah 5 Etos KHA Dahlan yang Menjadi Spirit Persyarikatan Menurut Haedar Nashir

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir bersama Ketua BPH UAD, Yunahar Ilyas; Bupati Sleman, Sri Purnomo, dan Rektor UAD Kasiyarno, dalam soft launching RSUAD, Ahad (12/2).

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dalam soft launching Rumah Sakit Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang mempunyai tagline ‘Menolong dengan Ramah’, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan bahwa seluruh anggota persyarikatan Muhammadiyah, baik Aisyiyah ataupun ortomnya harus senantiasa mengambil spirit perjuangan Kiai Dahlan untuk menggerakkan persyarikatan. Menurutnya, ada 5 etos milik Kiai Dahlan yang bisa direproduksi dan dibangkitkan kembali menjadi spirit pergerakan Muhammadiyah.

“Pertama, yaitu etos pergerakan. Etos Pergerakan selalu melahirkan para pendiri, perintis dan penerus Muhammadiyah yang tidak pernah berhenti untuk terus bergerak dan menyebarkan kebaikan dalam kehidupan,” tutur Haedar di halaman RSUAD, Ahad (12/2).

Haedar pun bercerita betapa dahsyatnya spirit Kiai Dahlan salah satunya untuk mendirikan PKO pada saat sebelum ia wafat. Di tengah kondisi sakitnya, Kiai Dahlan masih terus enggan beristirahat dan berhenti dari kegiatan dawahnya. Ketika Kiai Dahlan ditanya mengapa ia tidak ingin beristirahat, ia menjawab bahwa yang diinginkannya adalah menaruh pondasi yang kuat bagi persyarikatan. Karena, jika tidak, menurutnya akan sangat berat bagi penerusnya kelak.

“Itulah spirit Kiai Dahlan yang harus kita ambil, sehingga Muhammadiyah disebut sebagai gerakan Islam. Seperti apa yang dikatakan oleh AR Fahruddin, jika Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Angkatan Muda Muhammadiyah tidak mau bergerak, maka dia bukan gerakan Islam,”

Sedangkan etos yang kedua adalah etos ilmu. Ketika Kiai Dahlan berada di Makkah dan Madinah ia melahap berbagai bacaan termasuk yang sifatnya pembaharuan dari berbagai tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan sebagainya. Dari sana spirit Kiai Dahlan dalam hal keilmuan pun ditularkan kepada pengikutnya. Hingga, lahirlah pada masanya Majelis Taman Pustaka yang menggagas tradisi Iqra’, termasuk Majelis Sekolahan dan Majelis Tabligh.

“Muhammadiyah lah yang merintis pengajian-pengajian di ruang publik. Sebelumnya pengajian hanya dilakukan di pesantren dan ruang tertutup. Sehingga, masyarakat tidak mendapat sebaran ilmunya,” tukas Haedar.

Ketiga, adalah etos Amaliyah yang tidak lain adalah spirit kebajikan yang telah menjadi karakter yang khas bagi Muhammadiyah. Menurut Haedar, di negara ini sendiri ada banyak organisasi Islam yang terbentuk namun tidak banyak di antaranya yang memiliki Amal Usaha.

“Hal ini merupakan bentuk rasa syukur kita bahwa pendiri Muhammadiyah justru merintis Islam sebagai dinul ‘amal dan sebagai amaliyah. Inilah yang kita sebut dengan teologi al-Maun, yang menggerakkan amaliyah Muhammadiyah untuk menolong siapapun yang sengsara tanpa diskriminasi, ” imbuh Haedar.

Menurut Haedar, negara pun demikian. Negara pun memiliki spirit untuk melayani rakyat. “ini harus menjadi jiwa. Kalau kit abaca pembukaan UUD 45, mensejahterakan, memajukan apalagi pasal 33, harus menjadi etos kita dan lebih-lebih aparatur negara di manapun, untuk mensejahterakan rakyat,” jelasnya.

Etos keempat adalah perubahan. Banyak perubahan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan semasa hidupnya, dari arah kiblat, sistem pendidikan tradisional menjadi modern, institusi kesehatan, dan masih banyak lagi.

“Bahkan sejak tahun 1921, gerakan pengorganisasian haji, yang kini terlembagakan menjadi KBIH, sudah mulai dilakukan oleh Muhammadiyah. Selain itu juga pengorganisasian zakat. Perubahan-perubahan itu tidak lain dilakukan untuk mengubah nasib umat yang pada saat itu masih tertindas oleh penjajahan menjadi masyarakat yang maju dan merdeka,” kata Haedar.

Terakhir, adalah etos kemajuan. Haedar menerangkan bahwa kata-kata ‘berkemajuan’ telah dicantumkan oleh Kiai Dahlan dalam naskah pidato pertamanya yang masih ditulis dalam mahasa Jawa. Dalam 10 tahun terakhir etos ini kembali dibangkitkan oleh Muhammadiyah dalam menggerakkan Islam yang berkemajuan dan Islam sebagai dinul hadlarah. Karena, menurut Haedar, Islam sendiri hadir tidak lain adalah untuk memajukan umat manusia. Namun, tentu saja sesuai dengan kemajuan menurut Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘kemajuan’ yang serba maju di dalam alam pikiran yang sekuler.

“Mudah-mudahan 5 etos ini menjadi spirit yang melekat pada UAD dan seluruh amal usaha dan pergerakan Muhammadiyah,” tutup Haedar (Th).

 

Exit mobile version