JAKARTA, Suara Muhammadiyah– Merayakan ulang tahun ke-9, tvOne menyuguhkan Dialog Kebangsaan bertema “Merekatkan Bangsa” yang ditayangkan secara live pada Selasa, 14 Februari 2017, pukul 19.00-23.00 WIB. Acara yang berlangsung di Ballroom Hotel Four Seasons Gatot Subroto, Jakarta itu sebagai respons terhadap kondisi dinamika bangsa.
Salah satu tokoh yang diundang dalam acara itu adalah ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Dalam acara itu, Haedar mengingatkan tentang peranan para tokoh bangsa yang rela berkorban demi keutuhan bangsa. Mereka berkorban dengan penuh ketulusan demi menghindarkan keretakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berikut isi lengkap paparan Haedar Nashir:
“Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki modal sejarah, modal ruhaniah dan modal intelektual yang cukup serta dianugerahi oleh Tuhan kemerdekaan yang luar biasa di samping juga kekayaan alam.
Bangsa ini diberi khazanah oleh para pendiri bangsa tentang makna pengorbanan. Ketika 8 tokoh Islam pada akhirnya harus mencoret 7 kata dalam Pancasila dan kunci terakhir ada di Ki Bagus Hadikusumo –yang menjadi ketua Muhammadiyah ketika itu-, mereka bukan tanpa berkorban. Bahkan Soekarno sebagai penggagas jalan tengah ketika itu sampai menangis sesungguhnya. Tetapi demi kemerdekaan yang baru satu hari kita nikmati, semua harus berkorban.
Dalam proses perjalanan yang panjang, ada sesuatu yang hilang di tubuh bangsa ini dan jika dikatakan adakah keretakan pada bangsa ini, pihaknya mengatakan bahwa terdapat gejala retak pada bangsa ini, dan mungkin saja ada musibah besar yang menimpa bangsa ini, karena tidak mungkin ada bangsa besar yang tanpa masalah.
Saya merujuk pada Al-Quran di surat Al-Isra ayat 16, ini bisa jadi filosofi kita dalam berbangsa, jika Allah menghendaki sebuah bangsa itu hancur maka Dia biarkan para elit bangsa itu untuk berbuat sekehendaknya, lalu diingatkan oleh Rasul dan siapapun mereka yang membawa kebenaran, dia tetap tebal muka, ugal-ugalan dan dia tetap gegabah bahkan terus berjalan dengan kesalahan dan keserakahannya lalu bangsa itu menjadi hancur.
Ada tiga hal yang bisa membuat bangsa ini retak. Pertama, adalah sifat sembrono dari warga bangsa atau elite bangsa, yang kemudian menjadi culture dan dibenarkan oleh publik. Kedua, sistem yang lemah yang tidak lagi menggunakan sistem hukum, sistem politik dan tidak bisa lagi menegaskan diri diantara posisi yang benar atau salah. Lalu semua menjadi serba abu-abu, menjadi uncertainly.
Ketiga, adalah value, nilai-nilai kebangsaan yang tidak dipahami, tidak dihayati, hanya dihafal. Pembukaan UUD 1945, Pancasila, kemudian semangat para pendiri bangsa itu lewat hanya sekedar hafalan, tidak menjadi value.
Tapi kami masih optimis, karena arus besar kita ini sebenarnya masih ada dalam sebuah semangat untuk bersama, sebagaimana dikatakan Bung Karno, Indonesia ini akan tetap tegak ketika ada gotong royong. Bung Hatta mengatakan bangsa ini tegak ketika kolektivitas itu menjadi nafas gerakan hidup kita.
Hampir semua tokoh bangsa yang punya jiwa negarawan mewariskan nilai-nilai itu, tinggal maukah kita semua termasuk yang hadir disini, di ruangan ini untuk menyerap nilai itu dan mempraktikannya dalam kata bukan retorika. Maka itu berpulang pada hati nurani masing-masing. Sebab siapapun tidak bisa membohongi dan mendustai hatinya.
Kami Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan semua kekuatan-kekuatan agama di sudut negeri ini memiliki semangat yang sama, bahwa keretakan itu sesuatu yang wajar sebagaimana rumpun bambu yang bergerak kesana-kemari, kadang saling bergesek, namun semua harus terus berkomunikasi, berdialog, terus mencari jalan dan kuncinya adalah ketulusan.” (Ribas)