Suara Muhammadiyah-Sebuah cuplikan dialog dalam Film Sang Pencerah sangat menggugah bagi siapapun yang mengaku beragama. Pemahaman Kyai Dahlan tentang makna agama sungguh sangat mendalam. Film yang diluncurkan pada 2010 itu disutradarai Hanung Bramantyo, berdasarkan kisah nyata dari pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan, yang dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam di Indonesia.
Dalam satu bagian, diceritakan lima remaja mengendap-endap mendekati rumah Kyai. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup alunan nada biola yang menawan. Keinginan mereka untuk mengaji dan belajar ke rumah sedikit terkisis. Diserang ragu. Dua diantarnya memilih pulang. Sisanya, di tengah kecamuk penasaran dan keraguan, akhirnya mendekati sumber suara.
“Kulo nuwun. Assalamu’alaikum, Kyai,” ucap seorang remaja.
“Wa’alaikumussalam, silahkan masuk,” jawab sang Kyai seraya menghentikan permainan biola. “Kebetulan ada Muhammad Sangidu di sini.” Di ruangan, Kyai sedang bersama salah seorang santrinya yang lain. “Saya menunggu kalian,” sambil menaruh sebuah biola kecil di pangkuannya.
“Kira-kira kita mau ngaji apa kyai,” kata salah seorang.
“Kalian maunya ngaji apa?” Tanya Kyai. Pertanyaan ini tentu sangat tabu di masa itu. Di saat kyai berada di posisi elit.
“Biasanya kalau pengajian itu, pembahasannya dari guru ngajinya, Kyai?” jawab salah seorang remaja. Dalam kebiasaannya ketika itu, para santri hanya menerima saja apapun yang diputuskan kyai.
“Nanti yang pintar hanya guru ngajinya. Muridnya hanya mengikuti gurunya. Pengajian di sini kalian yang menentukan. Dimulai dari bertanya. Ayo, siapa yang mau bertanya?” Kyai menawarkan.
Dalam suasana yang agak canggung, sejenak taka da yang membuka suara. Sampai kemudian, salah seorang remaja memberanikan diri bertanya.
“Agama itu apa, Kyai?” pertanyaan singkat, padat, namun penuh esensi.
Kini giliran Kyai yang terdiam, tak ada kalimat yang meluncur dari mulutnya. Ia tak menjawab pertanyaan itu. Sejenak kemudian, ia malah memainkan biola yang ada di sampingnya.
Keluarlah nada-nada indah dari biola tersebut. Para remaja itu tampak sangat menikmati permainan biola sang Kyai. Penuh syahdu dan menentramkan jiwa. Semua menikmati keindahan alunan biola.
“Apa yang kalian rasakan setelah mendengarkan suara biola tadi?” Tanya sang Kyai sejenak setelah menghentikan permainan biola.
“Keindahan,” jawab remaja pertama sumbrigah.
“Kayak mimpi,” timpal remaja kedua.
“Rasanya semua permasalahan itu hilang, Kyai,” ungkap remaja ketiga.
Salah seorang yang lain masih menganggung-ngangguk dengan mata tertutup, tertidur dengan keindahan nada yang tadi diperdengarkan kyai.
“Itulah agama,” kata kyai.
“Orang beragama adalah orang yang merasakan keindahan, tentram, damai, cerah. Karena hakikat agama itu seperti musik, mengayomi, menyelimuti,” sambung sang Kyai.
“Sekarang, coba kamu mainkan,” kata Kyai sambil menyodorkan biola ke salah seorang santrinya. “Ayo sebisanya!”
Si santri mulai memainkan biola. Namun karena baru pertama kalinya, ia memainkan dengan seadanya. “Teruskan. Ayo yang mantap.” Suara yang keluar sama sekali mengusik sesiapa di sekitarnya. Sampai akhirnya dia pun menyerah.
“Apa yang kalian rasakan,” kyai kembali bertanya.
“Kacau, Kyai.” Satu diantaranya menjawab.
Sambil tersenyum, kyai merasa saatnya ia mengambil kesimpulan. Para santrinya dianggap telah bisa memahami pesan di balik peristiwa yang barusan terjadi.
“Itulah agama. Kalau kita tidak mempelajarinya dengan benar, itu akan membuat resah lingkungan kita dan jadi bahan tertawaan,” jelas sang Kyai. (Ribas)