Oleh Dr Mohammad Damami MAg
Suara Muhammadiyah– Untuk mengubah keadaan atau sesuatu, paling tidak ada dua faktor yang perlu diperhatikan, yaitu faktor apa yang disebut “prinsip” dan faktor yang disebut “usaha”. Dan faktor tersebut seperti muka dari sebuah koin. Prinsip saja tidak cukup kalau tanpa usaha. Sebaliknya, usaha saja tak cukup tanpa prinsip yang jelas.
Bagi orang beriman kepada Allah SwT dan Rasul-Nya, masalah yang disebut “prinsip” di atas sangat ditekankan. Bahwa apa yang disebut “iman” itu sendiri merupakan salah satu bentuk darai yang disebut “prinsip”. Apa pengertian kata kunci “prinsip” itu? Prinsip adalah asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, 2005: 896).
Dalam agama Islam, iman adalah prinsip, iman adalah kebenaran yang diyakini yang menjadi pokok dasar berpikir dan beramal shalih. Dalam kata kunci “prinsip” terkandung unsur keteguhan hati , dorongan untuk mewujudkannya dalam tindakan, semangat atau energy untuk bergerak, dan daya tahan terhadap segala rintangan. Jika orang berpikir dan bertindak atas dasar prinsip dapat dipastikan dalam dirinya akan muncul keinginan yang kuat dan energi untuk bertahan yang kuat pula.
Karena dalam kata kunci “prinsip” terdapat faktor “kebenaran”, maka orang yang mempertahankan prinsip pada hakikatnya adalah orang yang memperjuangkan “kebenaran”, bukan sekedar untuk memuaskan egoisme (rasa ke-aku-an), keras kepala, membabi buta, dan sebagainya. Dalam “iman”, sebagai contoh, maka “kebenaran” yang diyakini adalah bersumber dari teks, yaitu Al-Qur’an dan juga As-Sunnah al-maqbullah, bukan semata-mata bersumber pada temuan atau rekayasa pribadi. Kalau dalam Al-Qur’an antara “iman” dan “amal shalih” senantiasa dikaitkan, maka itu berarti amal shalih merupakan hasil dari implementasi iman sebagai prinsip. Dari titik pandang ini, maka bagi seseorang yang benar-benar mengaku beriman, maka sama sekali tidak dibenarkan sifat pemuasan egoisme, sifat keras kepala, sifat membabi buta, dan sebagainya dijadikan topeng atau berlindung dibalik dalih memegang prinsip atau iman. Kemunafikan seperti ini perlu benar-benar dihindari.
Selanjutnya, faktor “usaha” juga sangat ditekankan oleh Al-Qur’an (Ar-Ra’d [13]: 11; At-Taubah [9]: 105; Az-Zalzalah [99]: 7-8). Usaha adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, 2005: 1254). Ini berarti, dalam kata kunci “usaha” tersebut terkandung unsur keinginan untuk bergerak, dorongan untuk mengubah (dari tidak memiliki ke memiliki, dari kurang menjadi tercukupi, dari satu kondisi ke kondisi yang lain), dan kesadaran adanya proses (tindakan yang berkesinambungan sampai mencapai maksud). Apa yang disebut “usaha” ini dalam Al-Qur’an ditekankan adalah yang dalam ilmu bekerja modern disebut “kerja sistem”, yaitu kerja yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling mendukung, saling bersinergi, untuk mencapai suatu maksud.
Dalam Al-Qur’an kerja sistem semacam ini diidentifikasikan dalam kata kunci “qaum”, yang berarti sekelompok orang, bukan seorang pribadi (Ar-Ra’ad [13] 11). Dengan demikian, nuansa yang terdapat setiap usaha, apakah itu dilakukan sendiri-sendiri, apalagi yang dilakukan secara bersama-sama, adalah kerja “qaum”, kerja kelompok, kerja sistem. Oleh karena itu, diperlukan sikap saling menghargai satu orang dengan orang lainnya, antara satu unsur/komponen dengan unsur/komponen lainnya, dan satu faktor dengan faktor lainnya. Di dalam kerja sistem perlu diperhatikan apa yang terjadi di wilayah internal kelompok maupun di wilayah eksternalnya. Dengan demikian akan dapat diambil keputusan usaha terbaik dan kondisi terbaik dalam pelaksanaan usaha tersebut Atau dengan kata lain, usaha itu perlu luwes.
Ada Hadits yang berbunyi, “Man kaana yu’minu bi-‘l-laahi wa-‘l-yaumi-‘l aakhiri falyaqul khairan au liyashmut (= barangsiapa menghayati iman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah dia berkata yang baik atau lebih baik diam) (Hadits riwayat Imam Muslim). Dalam konteks tentang “prinsip” dan “usaha” di atas bagaimana pemahamannya? Menurut penulis, Hadits ini lebih cenderung menyangkut masalah “usaha”. Bahwa bagi umat yang beriman, masalah yang diusung sebagai prinsip adalah tentang “ajaran yang benar”, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah al-maqbullah, dan keutuhan agama Islam itu sendiri. Al- Qur’an, As-Sunnah dan Islam oleh Al-Qur’an disebut “al-haqq”, yang ketika DR M Quraish Shihab menafsirkan ayat: “al-haqqu min rabbika fa laa takun min-al-muntariin” (Ali Imran [3]: 60), ulama tafsir tersebut menerjemahkan kata “al-haqq” dengan: kebenaran mutlak. Kemutlakan tersebut dipahami dari bentuk kalimat ma’rifah/definite yakni huruf “alif” dan “laan” yang menghiasi kata “haqq” (Tafsir Al-Mishbah, volume 2, 2000: 102, 1033).
Dengan demkian, bagi orang beriman untuk mengatakan dan menyampaikan “al-haqq” adalah niscaya. Artinya, kapan pun dan dimana pun orang beriman wajib mengatakan dan menyampaikan al-haqq itu tanpa menambah-nambah, apalagi mengurang-ngurangi. Sungguhpun begitu usaha untuk mengatakan dan menyampaikan “al-haqq” tersebut perlu luwes. Artinya, kalau memang kondisi yang mendukung untuk keberhasilan penyampaian “al-haqq” ada dan memadai, makamomen atau kesempatan itu “al-haqq” harus disampaikan. Namun, kalau kondisi belum memungkinkan karena berbagai sebab yang melingkunginya, maka dapat ditahan dulu penyampaian “al-haqq” tersebut, yang dalam bahasa Hadits di atas dengan kata “li yashmut (lebih baik diam). Tindakan “diam” ini bukan karena tidak berani mengatakan atau menyampaikan “al-haqq” , atau bersikap pengecut, melainkan harus dipahami sebagai keluwesan untuk “usaha” sebagai sebuah proses. Kata peribahasa, “kena ikannya tetapi tidak keruh airnya“
Wallaahu a’lam bishshawaab.