Rumahku dekat dengan rel kereta api. Lalu lintas kereta api tepat di depan rumah. Jaraknya plus minus hanya 10 meteran, yaitu berupa lahan kosong yang oleh penduduk difungsikan multi guna. Sebagian dipakai untuk jalan alternatif dan lainnya ada yang ditanami palawija, didirikan warung-warung kecil, bengkel dan juga untuk mangkal dan transitnya para Gepeng.
Hari-hari pertama menempati rumah, bising sekali situasinya. Lebih-lebih jika ada kereta api lewat. Kuping gemrebeg, deru mesin menelan seluruh suara yang ada di rumah. Bunyi radio, tv, tidak ada yang kedengaran. Ngomong pun dihentikan menunggu kereta berlalu. Anak-anakku yang sedang bermain di halaman berlarian masuk sambil teriak-teriak ketakutan.
Di malam hari saat tidur nyenyak, bunyi gemuruh seperti di atas kepala. Kesadaran hilang, berubah menjadi sebuah mimpi tentang hari kiamat. Getarannya menggerakkan benda-benda di sekitarku. Lampu bergoyang, kaca jendela berbunyi, daun pintu bergerak-gerak. Menakutkan, mengerikan. Aku berteriak-teriak dengan suara tak jelas. Untunglah suamiku segera membangunkan. O, ternyata hanya mimpi. Mimpi yang terbentuk oleh suatu kenyataan, bahwa kereta api memang benar-benar sedang lewat.
Alkhamdulillah, suasana seperti itu hanya berlangsung kurang lebih sebulan. Selanjutnya kami sudah terbiasa. Anak-anak tidak takut lagi, tidur nyenyak, meski berulang kali kereta melintas, sama sekali tak terusik. Bahkan di saat suasana ramai, seputar Idul Fitri, libur sekolah, natal, tahun baru, ada kereta tambahan. Tiap 5 menit kereta lewat, kami merasa nyaman saja. Alkhamdulillah.
Tinggal di dekat areal kereta api, tiap hari mendapat suguhan pemandangan tentang kehidupan saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Ada yang mangkal, ada yang wira-wiri, ada yang hanya bersilaturahmi saja pada mereka yang mangkal.
Pekerjaan mereka macam-macam. Pedagang asongan,yang menjual aneka minuman, makanan, kerajinan tangan, buku majalah, hingga sandangan. Komplit. Ada juga yang jadi tukang semir sepatu, pengamen, kuli, peminta-minta. Dan yang sering kuperhatikan adalah yang bekerja sebagai pemulung. Sekeluarga yang terdiri dari bapak dan ibu serta anak-anak yang berjumlah lebih dari lima orang menetap di bawah pohon asem sebelah barat daya rumahku.
Tidur, masak, makan, dan segala aktifitas berada di situ. Kecuali mandi dan cuci, mereka menggunakan fasilitas milik umum. Di musim kemarau mereka tidur di hotel berjuta bintang, jejer-jejer. Ini bukan cerita karangan, melainkan kenyataan yang kulihat ketika aku mengantar sarapan pagi sehabis sholat subuh. Mereka masih tidur nyenyak dalam keremangan pagi. Alas tidurnya batu kerikil , selimutnya adalah udara dan titik-titik embun di pagi hari. Jika hujan tiba, mereka langsung mendirikan tenda darurat.
Kuhitung ada 9 orang. Bapak, Ibu, ABG dan yang kecil-kecil. Semua bekerja sebagai pemulung, yang bontot kira-kira umur enam tahunan sudah dilatih memulung. Tiap pagi mereka memakai pakaian dinas berupa baju, celana, topi yang semuanya kusam dan kotor. Karung tersampir di pundak, dan tangan kanan memegang cutik yang berfungsi untuk mengais-ais di tempat sampah.
Kurang lebih pukul 10.00.mereka kembali dengan karung yang sudah penuh. Si Bapak dan yang sudah ABG, membongkar masing-masing karung. Ada botol aqua, gelas aqua, botol-botol plastik lainnya, kertas Koran dan juga barang-barang rusak lainnya. Barang-barang tersebut langsung dipisah-pisah dan dikemas dalam karung. Sore hari menjadi tugas anak-anak yang sudah ABG mengantar ke tempat penjualan rongsok.
Aku benar-benar menaruh empati pada mereka. Siapakah mereka, suami istrikah, dengan anak-anak yang otomatis sah? Atau kumpul kebo sesama Gepeng hingga melahirkan anak-anak yang tanpa status sebanyak 7 orang. Apakah agama mereka? Gimana juga kehidupan mereka ke depan? Sudahkah anak-anak ABG itu menjalani khitan? Apakah bapak Gepeng juga akan mewariskan anak-anak menjadi Gepeng pula?
Aku harus berbuat. Apa gunanya ngaji tiap hari tanpa diamalkan. Kata pak ustad, sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Aku ingin bermanfaat. Aku ingin mendidik mereka. Menjadi guru agama plus umum. Mereka harus melek setidaknya empat buta.Buta agama, buta aksara, buta angka dan buta bahasa baik bahasa Indonesia atau bahasa Jawa halus.
Untuk mewujudkan niat tersebut yang kulakukan pertama adalah mengunjungi mereka. Siang hari saat mereka sedang santai, kumpul lengkap, aku datangi mereka. Kami sudah sering bertegur sapa, tapi secara detail belum tahu siapa mereka.
“Mau ke mana, Bu?” tanya si Ibu sesampainya aku di tempat mangkalnya.
“Mau ke sini, Mbak! Boleh, kan?”Aku memanggil Mbak pada si Ibu. Meski anaknya lebih dari setengah dosin, tapi aku yakin umurnya lebih muda dariku.
“Monggo! Jawabnya tengak-tengok kebingungan. Aku dapat menebak, bahwa si Ibu kerepotan untuk mencarikan tempat duduk untukku. Tapi pandangan mataku langsung menemukan potongan besi bekas rel kereta api. Potongan besi yang berlapis debu tebal itu kubersihkan dengan sabut kelapa yang terserak di sekitarnya. Jadilah aku duduk. Si Ibu tak kerepotan lagi.
“Mbak, anak-anak ini kok tidak sekolah?”
“Mboten, wong repot!” Jawabnya. Aku langsung tanggap,bahwa jawaban repot adalah banyak tafsir. Aku tak perlu lanjut.
“Anak, Mbak berapa semua?”
“Sogeh, Bu! Delapan orang semua. Lima orang laki-laki, tiga orang perempuan.” Yang tampak kok cumak tujuh, satunya di mana?”
“Ikut, embahnya, Bu, di Prembun!”
“Oh, begitu! Ngomong-ngomong nikah sah, ya mbak?”
“Sah!” jawabnya pendek. Aku lega. Tak perlu diperpanjang.
“Agamanya apa?”
“Eslam!”
“Begini, Mbak,saya kan sudah pensiun! Mau,nggak anak-anak ini saya ajari baca tulis?”
Diam. Mungkin sedang berfikir tentang biaya.
“Nggak usah bayar,nanti peralatan aku sediakan! Yang penting kemauan?”
Srumingah. Senyum mengembang dari gigi-gigi yang jarang kesentuh odol, si Bapak dan anak-anak yang mengelilingiku juga ikut tersenyum.
“Mau, Bu,mau!” jawab si Ibu, diikuti oleh mereka yang berminat, terutama yang kecil-kecil. Yang ABG belum/ tidak merespon.
Keesokan harinya, aku datang ke lokasi. Materi yang kuberikan hanya huruf hidup saja 5 buah. A, I, U, E, O. Aku menyiapkan teks sebanyak 10 lembar.
“Mau di mana, Bu?” tanya si Ibu setiba aku di lokasi.
“Di sana saja!” jawabku sambil menunjuk arah di areal yang berbatu kerikil. Tempatnya bersih, udaranya sejuk, meski jarak dengan kereta api hanya beberapa langkah saja.
Serta merta si Ibu menggelar kardus terbaiknya. Bersih dan hangat. Aku pun segera duduk.
“Yuk, semua duduk dekat bu guru!” ajakku.
Ternyata yang mau hanya dua cewek. Yang ABG dan cowok-cowok lainnya masih enggan. Wajah mereka seperti masa bodoh dengan niatku. Cowok yang kira-kira berumur enam dan tujuh tahun sama sekali tak tertarik oleh kehadiranku. Mereka asyik bermain mobil-mobilan usang yang ditemukan di tempat sampah.
“Ayo, mas-mas, adik-adik, ibunya juga, bapaknya juga biar anak-anak semangat!”
“Ayo, Geng, To, Rin, mau diajari bu guru kok tidak mau! Ayo sama Mamak!” ajak si Ibu kemudian.
Alkhamdulillah, setelah si Ibu ikut, empat orang anak mau duduk di depanku, yang lain belum minat, mudah-mudahan besuk mau.
“Bapaknya nggak ikut, biar anak-anak lebih semangat lagi?”
“Mamaknya saja, Bu! Saya sedang ngepak rongsokan, nanti sore mau diantar ke joragan.”
“Baiklah! Mari kita mulai!”
Lembar kertas yang berisi materi bahan ajar kubagikan. Masing-masing memegang.
“Agar pelajaran berjalan lancar, mudah difahami, kita mulai dengan berdoa. Bu guru mengucapkan, kalian menirukan! Baca Syahadat, kemudian rodlitubillahi robba!” Ternyata lidah mereka kaku banget. Bunyi yang keluar dari mulut mereka membuat tawa tak tertahankan, sampai kepeye-peye. Sabar…sabar…sabar! Teriak hatiku.
“Okey, bagus! Besuk setiap memulai belajar kita berdoa seperti tadi! Sebelum hafal, bu guru memberi contoh, tapi kalau sudah hafal salah satu memimpin. Selanjutnya mari kita berkenalan terlebih dahulu.Tolong sebutkan,ya! Mulai dari nama bapaknya.
Si Ibu kemudian menyebutkan nama-nama seluruh anggota keluarganya. Si bapak bernama Surip,si ibu bernama Manisem. Berturut-turut mulai anak yang tertua Parman, Sugeng, Suryo, Rinto Harahap, Sumanto, si kembar cewek Nur halimah dan Nur Hasanah dan cewek terakhir Reno Puji Astuti. Sumantonya yang mengerikan. Ingat peristiwa kanibal.
Jumlah anak seluruhnya delapan orang. Yang seorang ikut embahnya, yaitu yang lahir kembar bernama Nur Hasanah. Dan giliran terakhir, aku memperkenalkan diriku yaitu Ibu Addiniyah. Biasa dipanggil Ibu Addin.
Selesai berkenalan yang sekaligus mengabsen aku memulai pelajaran. Untuk pelajaran agama, aku ajarkan bacaan sholat. Karena sholat itu penting dan pokok bagi orang Islam.Waktunya jam pertama, maksudku supaya hasilnya optimal. Agama dulu dan umum sampai selelah-lelahnya.
Alkhamdulillah, plus minus sebulan bacaan sholat sudah bisa. Kulanjutkan dengan praktek wudlu dan praktek sholat. Agar tidak terlalu berat beban fikiran mereka, tiap hari hanya praktek sholat subuh. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk berdoa, wudlu dan praktek sholat subuh kira-kira 10 menit. Dilanjutkan pelajaran calistung.
Kendala mulai muncul. Yaitu ketika hendak belajar menulis. Jelas tak ada alas yang rata untuk meletakkan buku. Begitu juga papan tulis untuk memberi contoh. Aku langsung ambil tindakan.”Gimana kalau mulai besuk belajar di rumah Ibu, supaya ada alas untuk menulis dan bisa lebih tenang suasananya?”
Alkhamdulillah mereka siap. Maka keesokan harinya Rabu, tanggal 27 Juni tahun 2012, anak-anak belajar di rumahku, di teras rumah, memakai fasilitas seadanya. Sampai sekarang mereka masih bersemangat. Tiap pukul 07.30 mereka sudah datang. Lama belajar selelahnya, tapi rata-rata 2 jam sudah capek.
Banyak kemajuannya. Antara lain,mereka sudah bisa wudlu, 75 % bacaan sholat sudah hafal, kebersihan badan, pakaian, gigi ada peningkatan, meskipun masih perlu bersih lagi.
Ada pun pelajaran baca tulis, angka dan bahasa, butuh tlaten. Hampir 4 bulan, tapi huruf abjad sebanya 26 buah baru hafal di bibir. Itu pun karena dihafal dalam sebuah lagu. Jika dibaca tanpa lagu, gelagepan semua. Lebih-lebih kalau diacak. Yang depan ditaruh tengah, yang tengah ditaruh depan atau belakang, mikirnya lama.
Nyanyi lagi, solusinya.