YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–“Banyak membaca, mendengar, dan merenung. Banyak merenung supaya tulisan ada kontemplasinya,” demikian kisah Buya Ahmad Syafii Maarif saat berkunjung ke kantor redaksi Suara Muhammadiyah (14/2). Kepada awak redaksi Suara Muhammadiyah, tokoh nasional ini mengisahkan rahasia dan kiat-kiatnya dalam melahirkan tulisan-tulisan bermutu.
Banyak membaca, mendengar, dan merenung (kontemplasi). Itulah rahasia Ahmad Syafii Maarif dalam menapaki jalan sunyi seorang penulis. Membaca apa saja, buku-buku atau realitas yang pusparagam. Mendengar siapa saja, suara-suara pinggiran atau gemuruh khalayak ramai. Hingga akhirnya ia dihadapkan pada pilihan sulit untuk memutuskan satu di antara puluhan atau mungkin ratusan ide yang bersemayam di benaknya. Ketika satu ide telah terikat, saatnya Buya memasuki dunia sunyi: kontemplasi. Dalam kontemplasi, lahirlah pikiran-pikiran jernih dan mendalam.
Lahir di Sumpurkudus (Sijunjung, Sumatera Barat) pada 31 Mei 1935, kini usia Buya sudah kepala delapan (semoga panjang umur Buya!). Sungguh, Buya menjadi fenomena unik karena teori psikologi maupun ekonomi seakan-akan tak mempan untuk menilai sosok yang satu ini. Di usia yang makin uzur, dalam teori psikologi, ingatan seseorang akan semakin menurun (pikun). Usia kepala delapan, dalam teori ekonomi, bukan lagi kategori usia produktif. Justru, semakin uzur, Buya semakin jernih dan mendalam pemikirannya. Di usia kepala delapan, alumni Madrasah Muallimin Muhamamadiyah Yogyakarta ini makin produktif melahirkan karya tulis berbobot. Bahkan, Selasa lalu (14 Februari 2017), tulisan Buya dimuat di salah satu media massa nasional, mengangkat topik tentang kepemimpinan demagogi umat.
Ketika ditanya, sejak kapan Buya mulai menulis? Sambil berkelakar, ia menjawab “Saya mulai menulis sejak kelas 3 Muallimin. Umur saya sekitar 18 tahun, baru belajar menulis. Wong saya anak kampung!” Artinya, selama ini Buya yang selalu melabeli dirinya sebagai “anak kampung” telah menapaki jalan sunyi sebagai penulis selama 64 tahun. Artinya, Buya yang tahun ini berumur 82 tahun telah menghabiskan sekitar 2/3 dari umurnya untuk menulis. Luar biasa!
Kapankah waktu yang tepat untuk menulis, Buya? Banyak yang ingin tahu kapan sosok penulis prolifik ini menuangkan ide-ide besarnya. “Tiap orang lain-lain. Saya bisa kapan saja,” katanya.
Jika bisa menulis kapan saja atau di mana saja, berarti sosok Buya memang telah mencapai maqam-nya—meminjam istilah sufistik—untuk menyebut sosok penulis sejati. Konon, seorang sufi mampu merasakan “sunyi dalam keramaian.” Atau sebaliknya, “ramai dalam kesunyian.” Artinya, di tengah hiruk-pikuk dan aktivitas padat, Buya masih mampu merenung, menapaki jalan sunyi, untuk menemukan ide besar di antara sliweran ide-ide kecil yang remeh-temeh. Atau, dalam kesunyian Buya mampu menghadirkan “perdebatan bisu” di antara ide-ide besar yang bersemayam di benaknya.
“Harus ada filter! Harus ada keputusan! Jangan sampai karena banyaknya ide jadi bingung, akhirnya tidak menulis,” tegas Buya.
Sebagai penulis prolifik, Buya Syafii memang piawai memilah dan memilih tema-tema penting yang sangat dibutuhkan pembaca. Keberanian dan ketegasan untuk memilih satu tema dalam tulisannya jelas lahir dari jiwa yang tulus dan merdeka. Tanpa pamrih dan tidak tersandra oleh kepentingan tertentu. Ketika mengritik pola pikir mayoritas umat Islam, Buya tulus melakukannya demi kebaikan umat Islam. Atau ketika memuji sosok kepemimpinan nasional, Buya tulus melakukannya bukan karena berharap jabatan. Toh, ia sudah uzur. Tidak ada ambisi bagi Buya untuk berharap jabatan, karena usianya sudah kepala delapan! Jiwa yang merdeka membuat Buya tak punya beban ketika menyampaikan kritik. Bahkan, sosok Buya yang begitu dihormati di kalangan Muhammadiyah dan akademisi/intelektual sampai-sampai dibully di media sosial hanya karena ia menyampaikan pendapat berseberangan dengan mayoritas umat.
Adakah kesulitan ketika mengawali menulis suatu artikel, Buya? Ini mungkin gejala umum bagi para penulis pemula. Ketika memilih kalimat pembuka atau menyusun paragraph pertama, di situlah letak kesulitannya. Dan ternyata, Buya pun mengalaminya. “Itu betul! Kalimat pertama itu sulit sekali. Tapi setelah kalimat pertama itu jadi, selanjutnya tulisan lancar,” kisahnya.
Kata Buya Syafii, sesungguhnya kepiawaian dalam menulis itu bukan karena bakat bawaan. Kemampuan menulis juga bukan karena gelar akademik. Menjadi penulis itu karena kebiasaan. Dengan begitu, proses pembentukan pribadi seorang penulis sesungguhnya relatif. Tentunya, akan lebih bagus lagi jika sudah ada bakat dan membiasakan diri menulis. Sosok penulis yang kisahnya menarik untuk dijadikan pelajaran bagi generasi muda, menurut Buya, adalah sosok Ali Audah. Penulis produktif yang tidak lulus Sekolah Dasar (SD) ini, kata Buya, berhasil melahirkan karya-karya bermutu yang tidak terhitung jumlahnya. “Sampai sekarang saya masih sering kontak dengan dia,” akunya. (abu aksa)