Buya Syafii Maarif: Jogja Harus Istimewa dalam Toleransi dan Keadilan Sosial

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hendaknya tidak hanya istimewa dari segi pemerintahannya, namun juga istimewa dalam bidang lainnya, terutama kerukunan umat beragama dan keadilan social-ekonomi.

Buya Syafii menggarisbawahi beberapa hal yang harus menjadi perhatian semua pihak di Yogyakarta. Terutama terkait dengan urusan pemenuhan keadilan. “Jadi istimewa itu juga menjadi pelopor untuk mendekatkan jarak antara yang punya dan yang tidak,” kata Buya Syafii saat menjadi keynote speaker di Seminar Nasioal Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) DIY, di aula RS Mulut dan Gigi UMY, Yogyakarta, Sabtu (18/2).

Pemenuhan keadilan dianggap Buya Syafii sangat penting dalam mewujudkan keamanan dan menopang kebinnekaan. “Sehingga Jogja ini tidak hanya istimewa dari segi UU, tetapi juga istimewa dari sisi toleransi, keadilan juga istimewa,” tutur Buya Syafii.

Keistimewaan harus disubstansikan dalam semua bidang kehidupan warga Yogyakarta. “Harus diingat juga bahwasanya, keistimewaan itu jangan hanya menjadi simbolik. Tapi harus istimewa dalam semua lini semestinya,” kata Buya.

“Pada waktu UU keistimewaan Yogya, saya begitu mendukung pada waktu itu,” katanya. “Saya punya alasan yang kokoh. Bukan karena keistimewaan itu sesuatu yang unik. Sebab tanpa Yogya, belum tentu kita bisa merasakan kemerdekaan hari ini. Itu peran HB IX begitu besar. Sangat penting sekali. Waktu ibu kota Indonesia pindah kesini, HB IX menyerahkan harta keraton untuk Indonesia,” ungkapnya.

Dengan mendukung UU keistimewaan Jogja tidak berarti Buya tidak pro demokrasi. Tetapi justru, keistimewaan Jogja hendaknya dimanfaatkan untuk mempercepat menghilangkan kesenjangan. “Sekarang ada dana keistimewaan. Sebab tingkat kesenjangan dan kemiskinan di Jogja ini masih cukup tinggi sekali,” kata Buya. “Ini memang harus ditangani secara serius,” tegasnya.

“Dalam bacaaan saya, selama kesenjangan itu belum dijembatani dengan baik, maka sila kelima Pancasila akan dianggap menggantung di awang-awang. Disebut dalam perkataan, dinilai, diberi apresiasi tinggi, tapi tanpa diimplementasi akan sia-sia,” katanya.

Pada dasarnya, kata Buya Syafii, tujuan kemerdekaan adalah untuk mengimplementasikan sila kelima Pancasila, yaitu ‘Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia’. Jika sila kelima Pancasila diabaikan, maka sama saja dengan pengabaian cita-cita kemerdekaan.

Kesenjangan yang ada juga menjadi penyebab kasus intoleransi. Agama hanyalah sebagai penyulut saja dari persoalan kesenjangan. “Jadi buang-buang waktu saja kalau kesenjangan itu dibiarkan berlarut-larut dan itu akan mengganggu kebhinnekaan kita,” ujar Buya. (Ribas)

Exit mobile version