YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah terus berupaya melakukan berbagai upaya pemberdayaan terhadap masyarakat yang mustadl’afin atau termarjinalkan. Mereka dibina dan didampingi secara berkelanjutan agar bisa mandiri, mendapatkan peningkatan penghasilan, perluasan akses permodalan, perluasan jaringan pemasaran, dan penguatan kelompok atau komunitas.
“Apa yang dilakukan oleh MPM merupakan wujud dari usaha-usaha praksis untuk memberdayakan masyarakat,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, usai acara Pengajian Inspirasi Ahad Pagi MPM dengan tema “Pemberdayaan Wong Cilik dalam Keistimewaan Yogyakarta” di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Titik 0 km, Yogyakarta, Minggu (19/2).
Menurut Haedar, pemberdayaan yang dilakukan oleh MPM memiliki tiga nilai utama. Pertama, punya nilai pembebasan. “Pembebasan itu artinya, mereka yang apa adanya kita angkat menjadi mereka yang bisa melakukan usaha-usaha produktif,” kata Haedar.
Kedua, nilai pemberdayaan itu sendiri. Setelah dibina dan didampingi, mereka bisa lebih berkembang. Pada dasarnya mereka memang mempunyai kemampuan mengembangkan diri.
Ketiga, nilai memajukan. Mereka didampingi agar hasil produksi mereka memiliki nilai tambah. “Kalau singkong harganya Rp 600, lalu diolah dan dijadikan tepung, harganya menjadi Rp 25.000-35.000 per kilo,” ujar Haedar.
Lebih penting dari itu, pemberdayaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah secara terus menerus merupakan salah satu upaya untuk menyadarkan pemerintah dan pemangku kebijakan agar berpihak pada kaum lemah.
“Kita akan perluas gerakan ini ke seluruh propinsi untuk bilang kepada negara bahwa masyarakat itu sesungguhnya punya potensi untuk maju, untuk mandiri, untuk berkembang. Sehingga perlu ada mediasi. Perlu ada dorongan, perlu ada fasilitas dan perlu ada kebijakan yang bisa mengangkat mereka,” katanya.
Haedar mencontohkan pemberdayaan yang dilakukan Muhammadiyah terhadap suku Kokoda di Papua. “Kami punya binaan d Sorong, Papua. Suku besar d Papua barat. Penduduk asli. Papua kan luas sekali. Tetapi sebagian Penduduk asli setempat sudah tidak punya lahan, padahal itu tanah pulaunya sendiri. Penduduk Kokoda tidak punya tanah. MPM membelikan lahan dan diberikan sapi. Awal-awal sapi itu mati. Lalu kita beli lagi,” tutur Haedar.
Muhammadiyah, kata Haedar, selama ini memang paling gencar menggelorakan program keadilan sosial untuk memotong problem kesenjangan sosial.
“Konsep keadilan sosial yang ada di sila kelima dan dulu diperdebatkan oleh pendiri bangsa itu adalah negara hadir dalam pemihakan dan kebijakan terhadap mayoritas rakyat yang tidak beruntung,” ujar Haedar.
Sebagai solusi, Haedar menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah. “Kuncinya hanya satu, negara harus mempunyai kebijakan-kebijakan yang interaktif, yang bisa melakukan terobosan,” katanya. “Negeri ini betul-betul memerlukan pemimpin yang pro rakyat lewat kebijakan,” tambah Haedar.
Haedar membeberkan hasil pertemuannya dengan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu adalah dalam rangka membicarakan tentang pentingya redistribusi ekonomi dan utamanya lahan.
“Pak Jokowi ingin melakukan redistribusi lahan Problem besar kita banyak yang menguasai lahan besar untuk kepentingan pribadi dan korporasi. Mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan tidak peduli dengan orang lain Saya yakin keprihatinan pak Presiden terhadap adanya 1 orang yang menguasai 55 persen lahan akan tergerus jika kita melakukan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat,” kata Haedar. (Ribas)