Oleh : Haedar Nashir
Alib bin Ali Thalib dikenal sebagai sahabat dan khalifah yang cendekia. Nabi sempat berkata, Ana madinat al-‘ilmi wa Ali babuha, aku adalah kota ilmu dan Ali pintunya. Ali-lah orang yang pertama masuk Islam dalam usia sepuluh tahun. Dia, karena kedekatannya dengan Nabi dan kecerdasannya, dikenal sebagai penafsir Al-Quran yang paling fasih.
Ali Audah melukiskan sosok Ali bin Abi Thalib. Bahwa sebagai orang yang paling dekat dengan Rasulullah di rumah dan di luar rumah, dan sebagai salah satu penulis wahyu, Ali banyak tahu tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi; dalam hubungan apa ayat-ayat itu diturunkan, ditujukan kepada siapa. Berkat kedekatannya dan kesetiaannya kepada gurunya itu, ia dapat menyerap segala yang diajarkan kepadanya, ditambah lagi karena ia sendiri memang cerdas, berbakat dan seleranya tinggi. Di kalangan para sahabat Ali dikenal sebagai cendekiawan zamannya. Tidak jarang para sahabat pun banyak yang bertanya kepada Ali jika menghadapi masalah-masalah huku yang tak mudah dipecahkan. Penyusunan Al-Qur’an pertama kali secara kronologi dinisbahkan kepadanya, juga pengetahuannya yang luas mengenai Al-Qur’an dan hadis memang sangat membantu para khalifah dalam memecahkan berbagai masalah hukum atau fikih.
Namun Ali bukan hanya ilmuwan atau begawan berpengetahuan luas. Ia pun sosok yang rendah hati dan mau mengajarkan ilmunya kepada siapa saja. Tak bosan-bosannya, tulis Audah, ia memberi pejaran agama dan akhlaq kepada siapa saja yang ingin belajar, tanpa bilih bulu. Itulah salah satu kesenangannya. Mengajar kata dan perbuatan. Mengajarkan Al-Qur’an, tafsir, dan hadis. Tafsir yang diajarkannya selalu segar, mendalam, dan jelas. Kemudian, mengajak mereka yang diajar untuk shalat berjamaah. Besar sekali hasratnya hendak menciptakan persamaan di antara semua orang. Ia menghayati benar ayat Al-Qur’an, inna akramakum ‘inda Allah atqakum (QS Al-Hujarat: 13), sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah mereka yang bertaqwa. Ia pun berpegang teguh pada sabda Rasulullah, bahwa “Tidak ada kelebihan orang Arab dari yang bukan Arab selain dari taqwanya”.
Putra Abu Thalib itu selain ilmuwan dan mengamalkan ilmunya, dikenal sebagai sosok pemberani dalam menyiarkan Islam. Di kala Nabi hemdak hijrah dalam kepungan kaum Quraisy yang hendak membunuhnya, Ali tidur menggantikannya dengan mempertaruhkan jiwaraga. Ia masuk Islam penuh kesadaran, tanpa minta persetujuan ayahnya, Abu Thalib. Ketika Nabi diperintahkan Allah untuk berdakwah secara terang-terangan (QS Asy-Syu’ara: 214), yang ditentang keluarga besarnya dari Bani Hasyim. Tatkala itulah Ali dengan lantang berkata: “Ana yaa Rasulullah auwnaka, ana hurabu ‘ala man harabta”, “Ya Rasulullah, akulah yang akan membelamu dan aku lawan siapa saja yang melawan Anda”. Para kerabat Bani Hasyim dan borjuis Quraisy itu terbelalak dengan keberanian Ali yang masih sangat belia itu.
Ali bin Abi Thalib adalah sosok intelektual yang tidak hanya berilmu tinggi. Ia mengamalkan ilmunya sekaligus menjadi mujahid Islam yang gigih, santun, pejuang persamaan, dan pemberani dalam menegakkan risalah Islam. Ali bukan sosok berilmu minus beramal. Bukan hanya bicara dan berdiri di menara gading, apalagi angkuh. Ia menghayati betul apa yang diperingatkan Allah dalam Al-Qur’an: “Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu apa yang tidak kamu kerjakan” (QS Ash-Shaff: 3).
Menjadi Muslim berilmu wajib terlibat dalam peran-peran perjuangan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Itulah sosok ulil albab yang memadukan iman, ilmu, dan amal. Menyelaraskan kekuatan intelektual, spiritual, moral, dan peran sosial sehingga kehadirannya membawa pencerahan serta menjadi rahmat bagi semesta alam. Para cendekia itu benar-benar menjadi sang pencerah bagi diri dan lingkungannya. Bukan menjadi ilmuwan menara gading yang hanya bicara minus tindakan, sehingga menjadi orang yang merugi sebagaimana hadis Nabi: “Celakalah orang-orang yang tidak berilmu, dan celaka pulalah orang-orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya” (HR Abu Na’im).