Tafsir At-Tanwir Suara Muhammadiyah: Sebuah Refleksi

Tafsir At-Tanwir Suara Muhammadiyah: Sebuah Refleksi

Oleh ; Ahmad Syafii Maarif

Salah satu rubrik yang selalu muncul dalam SM (Suara Muhammadiyah) adalah Tafsir Al-Tanwir atau dalam bahasa Indonesianya Tafsir Pencerahan, diasuh oleh Majelis Tarjih dan Tajdid P.P. Muhamadiyah. Di kalangan warga Muhamadiyah, ungkapan ”Pencerahan” seakan -akan tidak bisa dipisahkan lagi dengan pandangan hidupnya. Jika kita mendengar istilah Sidang Tanwir, maka maksudnya tidak lain dari pada pertemuan untuk pencerahan, penyegaran, yang kedudukannya berada di bawah Muktamar. Sekalipun iklim “Pencerahan” itu masih perlu disiarkan terus menurus untuk kalangan Muhammadiyah, filosofi yang tersirat di belakang ungkapan itu sangat kuat berupa sikap dasar Muhammadiyah yang anti-kemapanan dalam ranah pemikiran keagamaan sepanjang hal itu masih berada dalam koridor Al-Qur’an yang difahami secara cerdas, tulus, dan dengan ilmu pengetahuan.

Dalam pandangan saya, Tafsir Al-Tanwir SM ini sangat bermanfaat, khususnya bagi mereka yang belum sempat mengkaji tafsir Al-Qur’an secara teratur dan mendalam. Saya dan almarhum Profesor Nurcholish Madjid termasuk yang beruntung karena sempat belajar Al-Qur’an pada Fazlur Rahman selama kuliah S3 di Universitas Chicago, Amerika Serikat, tahun 1970-an/1980-an, baik di kampus mau pun kami pada hari Ahad datang ke rumahnya, sekitar 45 km dari kampus. Modelnya mirip dengan para santri di pondok dengan duduk bersela di depan Rahman, masing-masing buka Al-Qur’an untuk menyimak penjelasan yang diberikan. Mungkin berbeda dengan sistem pesantren, para santri umumnya tidak banyak bertanya kepada kiyai, kelas Al-Qur’an Rahman membuka peluang bukan saja untuk bertanya, tetapi jika perlu untuk berdebat dengan guru.

Kembali kepada Tafsir Al-Tanwir. Kali ini saya hanya akan membatasi pembicaraan untuk menyoroti topik “Keismewaan Al-Qur’an yang Tidak Diragukan” (2) dalam SM No. 24/97/2-17 Safar 1434/16-31 Desember 2012, hlm. 16-19. Ulasan yang diberikan untuk topik ini cukup memadai, meskipun sumber rujukan tafsir yang digunakan hanya berasal dari M. Quraish Shihab, Muhammad Chirzin, Kementerian Agama, Abdullah Yusuf Ali, dan sedikit dari keterangan Ibn Taimiyah sebagai rujukan klasik. Argumen yang dikembangkan untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an tak mungkin tertandingi oleh siapa pun sepanjang sejarah tidak saja diakui oleh umat Islam, pihak pakar non-Muslim pun telah sampai pula kepada kesimpulan serupa.

Dalam Al-Qur’an sendiri sedikitnya terdapat 14 ayat yang bertebaran dalam surat -surat Al-Baqarah: 23-24, Yunus: 37-38, Al-Isra’: 88, Hud: 13-14, Al-Hijr: 9, Luqman: 27, Al-Kahfi 109, dan Al-Haqqah: 40-43 sebagai testimoni tentang keontetikan sumbernya dari Allah swt, bukan karangan Muhammad. Al-Qur’an membuka dirinya untuk dibantah, ditolak, dan didustakan, dengan dalil apa pun dan oleh siapa pun, jika orang masih saja ragu tentang sumbernya dari Langit, bukan dari bumi. “Ayo, tulis satu surat saja, jika tuan dan puan masih belum juga yakin dari mana aku berasal,” kira-kira begitulah jika kita bahasa Indonesiakan tantangan Al-Qur’an itu.

Tantangan Al-Qur’an itu akan berlaku sampai hari kiamat, tidak peduli apakah manusia misalnya mampu bikin rumah di planet lain, berkat perkembangan ilmu dan teknologi, karena memang manusia itu punya potensi untuk itu. Dengan bahasa yang lancar, Tafsir Al-Tanwir telah membahas tentang betapa istimewa dan dahsyatnya Al-Qur’an itu. Kemudian dikutip keterangan Abdullah Yusuf Ali berikut ini : “Kemurnian nash Al-Qur’an selama 14 abad merupakan tanda permulaan akan kekalnya pemeliharaan, yang dengan demikian agama Allah tetap pula terjaga sepanjang zaman. Segala perusakan, pemalsuan serta penambahan-penambahan tidak berlaku, tetapi kebenaran agama Allah yang murn dan suci takkan mengalami penyusutan sekalipun dunia seluruhnya hendak mencemoohkannya dan bahkan cenderung hendak menghancurkannya.”.

Setelah membaca tafsir di atas, saya harus menulis tiga refleksi kritikal yang memang belum termuat dalam tafsir itu. Refleksi pertama, Al-Qur’an yang dahsyat dan bebas dari keraguan, mengapa belum juga terwujud dalam peradaban Islam kontemporer; secara keseluruhan umat Islam masih saja terkapar di muka bumi, dipermainkan pihak lain, mereka sibuk bertengkar satu sama lain. Di mana Al-Qur’an? Bolehjadi, akan berlaku pergantian umat yang lebih memahami dan lebih setia kepada Kitab Suci ini sehingga mereka kembali memimpin peradaban dunia di mana keadilan, persamaan, dan persaudaraan universal akan terpancar melalui sinar yang sangat kuat dari lingkungan peradaban baru Qur’ani itu.

Refleksi kedua, saya rasa tafsiran Ibn Taimiyah tentang ayat 30 surat Al-Furqan tentang keluhan rasul terhadap sikap kaumnya yang menelantarkan Al-Qur’an (SM, hlm. 18) perlu diberi komentar baru. Saya usulkan begini: “Selama umat Islam tetap saja memberhalakan sunnisme, syi’isme, khawarijisme, dan faham-faham lain yang sejenis itu sebagai pemicu utama perpecahan, maka jangan bermimpi bahwa Al-Qur’an akan mau bersahabat dengan mereka. Bukankah timbulnya puak-puak itu pada abad ke-7 miladiah karena nafsu berebut kuasa sesama Muslim periode awal pasca rasul?

Refleksi ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam non-mazhab dalam memasuki abad kedua dari keberadaannya di muka bumi perlu merintis tafsir baru yang radikal tentang ajaran Islam yang sepenuhnya berangkat dari Al-Qur’an dengan bantuan sunnah, sedangkan sejarah hanya dipakai sebagai rujukan pembanding, bukan dijadikan berhala yang menyebabkan umat Islam terseok-seok dan tersungkur di muka bumi seperti yang kita derita selama sekian abad. Motto “Islam berkemajuan” yang diusung Muhammadiyah sejak lama harus membebaskan diri pasungan konservatisme teologis dalam jubah sunnisme, syi’isme, dan faham-faham lain yang membelenggu akal merdeka dalam upaya menafsir ulang ajaran agama. Dengan tiga refleksi itu, kolom ini saya akhiri.

Exit mobile version