JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dalam lanjutan sidang kasus penodaan agama Gubernur DKI Jakarta Ahok, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bidang Tarjih Tajdid dan Tabligh, Prof Yunahar Ilyas menjelaskan pemaknaaan dari kata ‘aulia’ dalam Al-Maidah 51 yang menjadi perdebatan selama ini.
“Artinya yang dimaksud dengan ‘aulia’ di dalam ayat 51 itu pemimpin yang bersifat struktural. Kalau begitu, saya akan membedakan pemimpin yang struktural dan kultural, dan bersifat profesional,” ujar Yunahar dalam persidangan di auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (21/2)
Menurut wakil ketua MUI itu, ada tiga sifat pemimpin, yaitu struktural, kultural dan professional. Pemimpin structural yang dimaksud oleh surat Al Maidah ayat 55 adalah pemimpin yang dipilih secara langsung.
“Struktural adalah pemimpin dipilih, seperti presiden dan wakil presiden, gubernur dan DPR. Kalau menteri kan enggak dipilih. Jadi tidak pernah mempersoalkan menteri non-muslim,” kata Yunahar.
Adapun pemimpin profesional adalah jabatan seperti direktur. Oleh karena itu, atasan kerja yang bersifat profesional ini tidak mempermasalahkan latar belakang muslim atau non-muslim. Termasuk di dalamnya jabatan menteri. “Menteri tidak dipilih, sehingga tidak pernah ada memperdebatkan menteri non-muslim. Begitu juga pekerjaan-pekerjaan bersifat profesional, seperti direktur, direktur utama,” ujar Yunahar.
Dalam kesempatan itu, Yunahar juga menjelaskan bahwa jika kata ‘aulia’ di Al-Maidah 51 diterjemahkan menjadi teman dekat, maka akan memiliki konsekuensi yang lebih berat dibanding dengan arti pemimpin. Konsekuensinya, seseorang akan dilarang berteman dekat dengan orang Yahudi dan Nasrani.
“Kalau menurut saya, jika Al-Maidah diterjemahkan dengan teman dekat, justru lebih berat, yang moderat diartikan ke pemimpin. Kalau diartikan ke teman setia, maka berteman pun tidak boleh dengan Yahudi dan Nasrani. Itu lebih berat,” tutur Yunahar.
Yunahar juga menjelaskan bahwa memilih merupakan hak setiap warga negara. Sehingga siapa pun berhak untuk memilih berdasarkan pertimbangan apapun. “Dalam pemahaman PP Muhammdiyah mengatakan memilih adalah hak sekaligus kewajiban. Kewajiban sebagai WNI memilih pemimpin, tentu dipilih yang terbaik,” kata Yunahar.
Sehingga jika yang menjadi salah satu pertimbangan itu kemudian agama, maka itu sah-sah saja. Terpenting si pemilih telah mempertimbangkan kebaikan dan keburukannya. “Apakah yang terbaik satu kampung, urusan dia, satu kampus urusan dia, satu etnis urusan dia, satu agama sepenuhnya urusan dia. Yang tidak dibolehkan apabila mereka umat Islam menuntut dibuatkan undang-undang tidak boleh non-muslim menjadi pemimpin itu baru melanggar ketentuan,” katanya.
Yunahar merupakan ahli agama kedua yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan yang ke-11 kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok setelah Rais Aam PBNU, Miftachul Akhyar.
Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. Jaksa menilai Ahok telah melakukaan penodaan terhadap agama serta menghina para ulama dan umat Islam dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu, yang menyinggung tentang Al-Maidah ayat 51. (Ribas)