JAKARTA, Suara Muhammadiyah- Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memandang penting adanya fikih jurnalistik dan fikih komunikasi. Fikih tersebut juga dinilai dapat memperkuat kode etik jurnalistik yang ada.
Fikih jurnalistik dan fikih komunikasi merupakan bagian literasi masyarakat, agar masyarakat tahu bagaimana menyikapi informasi di media sosial yang saat ini sudah menjadi gaya hidup dan budaya setiap orang. Bahkan, kerapkali orang langsung percaya terhadap media sosial tanpa mengecek asal usul berita tersebut. Demikian disampaikan Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Edy Kuscahyanto usai dialog bertema “Memerangi Hoax dan Menangkal Penyalahgunaan Media Sosial” yang diselenggarakan oleh MPI PP Muhammadiyah pada Selasa (21/2).
Mengenai seberapa parah hoax di media sosial saat ini, Edy mencontohkan banyaknya orang yang gaduh akibat informasi hoax di media sosial. Menurutnya, meskipun sudah ada UU ITE, namun fikih komunikasi dan fikih jurnalistik tetap penting untuk pegangan individu.
“Meski tidak ada sanksinya jika melanggar, tapi fikih jurnalistik dan fikih komunikasi lebih kepada pertanggungjawaban manusia kepada Tuhannya. Jadi, lebih kepada membangun sikap manusia untuk menghadapi dan memperlakukan informasi yang sifatnya hoax,” tukasnya.
Edy juga menyoroti maraknya jasa buzzer. senada dengan apa yang telah diwacanakan oleh Pemuda Muhammadiyah, Edy mengungkapkan bahwa buzzer dianggap sebagai profesi haram karena meresahkan orang dan membunuh karakter orang. “Tidak hanya yang bekerja sebagai buzzer yang haram, pihak yang membayar buzzer juga haram,” ujarnya.
Edy menyampaikan bahwa saat ini pembuatan fikih tersebut masih dalam proses diskusi sebab pembuatannya perlu melibatkan berbagai pihak yang berkaitan. Selain itu, Ia juga berharap agar fatwa haram tersebut dapat mengatasi masalah yang ditimbulkan buzzer.
Sementara itu, Direktur Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat Usman Yatim melihat fikih tersebut dapat memerkaya dan memperkuat kode etik jurnalistik yang sudah ada. “Kalau saya bukan soal penting atau tidak penting, melainkan ini soal memperkaya,” tuturnya.
Menurutnya, ketika orang-orang mempertanyakan masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia jurnalistik, seolah-oleh kode etik jurnalistik yang sudah ada tidak bisa menjawabnya. Misalnya kode etik dari dewan pers dan lain sebagainya. Karena itu, lanjut Usman, apa salahnya jika ada lagi fikih jurnalistik dan fikih komunikasi.
Fikih ini mungkin versi Islam karena Islam kebetulan sedang banyak disorot saat ini. Artinya, fikih jurnalistik dan komunikasi lebih tepat dikatakan untuk memperkaya kode etik jurnalistik yang sudah ada. Jangan sampai menjadi pertarungan baru lagi, jangan sampai ada istilah umat Islam mau menandingi kode etik jurnalistik, nggak ada, jangan sampai itu,” tegasnya (Fuji/ Yusri).