YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kajian Malam Sabtu (KAMASTU) yang dilaksanakan pada Jum’at (24/02/17) mengangkat tema “Paradigma Ilmu Sosial Profetik: Tribute to Kuntowijoyo”. Kajian yang dilaksanakan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY tersebut menghadirkan Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra, MA, MPhil yang meneruskan pemikiran Prof Kuntowijoyo melalui bukunya Paradigma Profetik Islam.
Prof Heddy mengemukakan asumsi dasar bahwa universitas merupakan tempat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Revolusi ilmu pengetahuan adalah pengembangan paradigma. Kemudian pengembangan ilmu pengetahuan berarti pengembangan paradigma, maka perlu membangun paradigma baru.
“Profetik berasal dari Bahasa Inggris ‘prophet’ yang berarti Nabi, maka profetik berarti mempunyai sifat atau ciri seperti Nabi”, katanya pada kajian yang dilaksanakan di Aula Gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY tersebut.
“Gagasan ilmu profetik di Indonesia, seingat saya, berasal dari Prof Kuntowijoyo, seorang Guru Besar Sejarah di UGM. Meskipun gagasan mas Kunto ini bukanlah hal yang sama sekali baru dalam jagad pemikiran Islam,” ungkap Prof Heddy yang merupakan Guru Besar Antropologi Budaya UGM.
Asal-usul tentang ilmu sosial profetik dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal, seorang tokoh pemikir Islam, dan Roger Garaudy, ahli filsafat Perancis yang kemudian masuk Islam.
“Setidaknya ada dua hal yang memicu lahirnya ilmu sosial profetik. Pertama adalah perdebatan di kalangan cendekiawan Muslim mengenai teologi dalam sebuah seminar di Kaliurang Yogyakarta. Kedua adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo pada 10 Oktober 2003,” papar profesor lulusan Columbia University New York itu.
Ada dua kubu yang berbeda pendapat, lanjutnya, yaitu kubu Teologi Konvensional dan kubu Teologi Transformatif. Teologi Konvensional berarti teologi sebagai ilmu kalam, yaitu mempelajari ketuhanan, bersifat abstrak dan skolastik. Sementara Teologi Transformatif berarti teologi sebagai penafsiran terhadaap realitas dalam perspektif ketuhanan, lebih merupakan refleksi-refleksi empiris.
“Lalu Kuntowijoyo mengusulkan istilah teologi diubah menjadi ilmu sosial. Maka teologi trasformatif berarti ilmu sosial transformatif”, katanya.
Ilmu sosial transformatif adalah ilmu yang didasarkan pada hasil elaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial. Ruang lingkupnya bukan pada aspek normatif yang permanen seperti dalam teologi, tetapi pada aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal. Kemudian Prof. Edhi mengutip pemikiran-pemikiran Prof. Kuntowijoyo mengenai ilmu sosial profetik yang tertuang dalam Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (2004).
“Mas Kunto mengatakan bahwa pengembangan paradigma Islam itu merupakan langkah pertama dan strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban. Dengan demikian Islam lebih kredibel bagi pemeluknya dan bagi non-Muslim”, tukasnya.
Menurut mas Kunto, lanjutnya, kita perlu memahami al-Qur’an sebagai paradigma. Kontstruksi pengetahuan dibangun oleh al-Qur’an dengan tujuan agar kita memiliki hikmah yang atas dasar itu dapat dibentuk prilaku yang sesuai dengan nilai normatif al-Qur’an, baik level moral maupun level sosial.
“Wahyu itu sangat penting menurut mas Kunto. Unsur inilah yang menjadi pembeda anatara epistemologi Islam dengan cabang-cabang epistemologi barat seperti Rasionalisme atau Empirisme, yang mengakui sumber pengetahuan berasal dari akal atau obsevasi saja,” katanya menegaskan.
Kemudian Prof Heddy mengemukakan beberapa kelemahan dari pemikiran Prof. Kuntowijoyo, diantaranya: Tidak ada konsepsi yang jelas tentang paradigma, belum ada pandangan tentang unsur paradigma, belum ada pembahasan basis epistemologis, belum semua implikasi keilmuan dibahas, belum semua implikasi praktis dibahas, belum semua hal dijelaskan.
“Maka diperlukan sebuah konsepsi paradigma yang jelas, serta pembahasan basis filosofis”, kata Prof Heddy yang juga merupakan teman dekat Prof Kuntowijoyo.
Unsur-unsur paradigma (kerangka pemikiran) menurut Prof Heddy yaitu: Asumsi Dasar (Basic Assumptions), Nilai-nilai (Values), model (Analogy), masalah yang diteliti (Problems), konsep-konsep (Concepts, key words), metode penelitian, metode analisis, teori dan represantasi. Lalu Prof. Heddy mengungkapkan beberapa pandangan ilmuan mengenai paradigma, serta memberi kritik terhadapnya. Jama’ah begitu antusias memperhatikan pemaparan dari Prof. Heddy. Lalu kajian dilanjutkan dengan sesi diskusi yang menarik melaui pertanyaan-pertanyaan dari jama’ah yang hadir. (Rayhan)