Oleh Haedar Nashir
“Bung Haedar, akan sangat mengilhami, sekiranya para elite Muhammadiyah mau menyimak Tafsir al-Tanwir Suara Muhammadiyah, kaya nuansa, memukau. Maarif“
Kalimat singkat, tajam, dan mengandung ajakan serius kepada para elite Muhammadiyah dalam kutipan di atas datang dari Buya Syafii Maarif. Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005 itu sering mengirim SMS jika ada hal-hal penting yang memerlukan perenungan, tanggapan, dan penyikapan. Beliau selalu memberi apresiasi atau penghargaan yang positif manakala ada tulisan para kader Muhammadiyah menggugah kesadaran dan pemikiran untuk maju. Lebih-lebih yang menyangkut kemajuan Muhammadiyah.
Penulis sendiri sangat setuju dengan pesan moral dan intelektual Buya Syafii tersebut. Insya Allah para elite Muhammadiyah selalu membaca Tafsir At-Tanwir yang mencerahkan itu, kecuali yang tidak membacanya. Mereka yang tidak membaca mungkin melewati rubrik Tafsir tersebut karena terfokus membaca rubrik yang lain. Kemungkinan kedua tidak memiliki majalah Suara Muhammadiyah. Mudah-mudahan dua kemungkinan tersebut tidak terjadi karena kita yakin para elite atau tokoh Muhammadiyah dari Pusat hingga Ranting sudah akrab dan berlangganan Suara Muhammadiyah.
Urgensi Tafsir
Pimpinan Pusat Muhammadiyah termasuk Majelis Tarjih dan Tajdid sesuai amanat Muktamar, sejak periode ini benar-benar bertekad dan berikhtiar untuk memulai dan kemudia menuntaskan Tafsir At-Tanwir. Tafsir tersebut sebenarnya telah dmlai dalam Majalah Suara Muhammadiyah (SM) jelang Muktamar Satu Abad tahun 2010 yang lalu, sempat terputus dan pasca Muktamar ke-46 dilanjutkan kembali. Nama Tafsir At-Tanwir sungguh tepat dan menggambarkan spirit tajdid, yakni pencerahan. Sebuah nama yang mengandung pesan pembatuan, sekaligus layak publikasi.
Kenapa Tafsir At-Tanwir penting bagi Muhammadiyah? Pertama, Muhammadiyah sejak awal berdiri menggelorakan al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, kembali pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih atau makbulah. Kembali kepada Al-Quran sebagai sumber ajaran, selain Al-Sunnah, tentu bukan hanya slogan. Muhammadiyah tentu harus menunjukkan ikhtiar tentang “Kembali pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” itu dengan memiliki antara lain Tafsir Al-Qur’an yang sejalan dengan spirit gerakan tersebut. Mana mungkin mengajak orang kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang penting dan fundamental tersebut manakala Muhammadiyah sendiri tidak memiliki referensi atau rujuka pemahaman yang lengkap dan menyeluruh tentang keduanya.
Kedua, berbagai tafsir Al-Qur’an baik klasik maupun mutakhir banyak dilahirkan dari para ulama berbagai kalangan umat Islam, tetapi belum ada dari Muhammadiyah. Kyai Dahlan membaca Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, selain tafsir klasik lainnya yang muktabarat. Beragam Tafsir dari ulama Sunni maupun Syi’i atau lainnya menjadi rujukan kaum muslimin di seluruh dunia, yang jumlahnya demikian banyak. Di Indonesia selain Tafsir Al-Quran yang disusun Tim Kementerian Agama R.I., juga lahir kitab-kitab tafsir karya perseorangan seperti Tafsir An-Nur dan Al-Bayan karya Hasbi Ash-Shiddieqy dan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Belum termasuk Al-Qur’an Terjemahan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Warga Muhammadiyah tentu membaca tafsir-tafsir tersebut sebagai pengayaan, tetapi semestinya dari rahim gerakan Islam ini pun ada kitab tafsir yang mesti dibaca dan menjadi rujukan utama dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran.
Ketiga, menjadi fondasi dan dasar orientasi pemikiran keislaman bagi warga Muhammadiyah. Melalui Tafsir At-Tanwir, tentu segenap warga Muhammadiyah memiliki dasar dan arah pemahaman yang benar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Beragam tafsir dapat dijadikan pengayaan. Dengan Tafsir At-Tanwir tidak berarti ingin berbeda dari tafsir yang sudah ada, apalagi untuk menunjukkan perpecahan dalam pemahaman. Muhammadiyah bagaimana pun penting untuk memberikan bimbingan kepada warganya tentang tafsir Al-Qur’an yang utuh, lengkap, dan menyeluruh sesuai dengan pendekatan burhani, bayani, dan irfani yang dipedomaninya. Sebab tidak sedikit orang Islam karena penafsiran yang keliru atau parsial dalam memahami satu ayat kemudian berakibat fatal dalam bertindak, yang tidak sejalan dengan pesan utama ajaran Islam sendiri.
Keempat, menjadi basis tajdid abad kedua. Muhammadiyah dalam menghadapimasa seratus tahun ke depan dalam pergerakannya menghadapi tantangan dan masalah yang kompleks, baik yang bersifat pemikiran maupun dalam praktik kehidupan nyata. Beragam pemikiran banyak dilontarkan sebagai masukan bagi Muhammadiyah melangkah ke masa depan. Tanpa fondasi dan bingkai pemikiran yang kokoh dan langsung merujuk pada Al-Qur’an, selain Al-Sunnah, tentu pemikiran Islam dalam Muhammadiyah akan rapuh dan tidak akan bertahan lama. Di sinilah pentingnya Tafsir At-Tanwir sebagai fondasi pembaruan sangat strategis bagi pengembangan pemikiran Muhammadiyah memasuki fase baru.
Misi Keislaman
Majalah Suara Muhammadiyah (SM) bekerjasama dengan Tim Majelis Tarjih dan Tajdid berkomitmen kuat agar Tafsir At-Tanwir terus tersaji pada setiap edisi. Setelah tersaji semuanya diserahkan kepada warga dan elite Muhammadiyah untuk membacanya. Keuntungan membaca tafsir melalui SM tentu bertahap sehingga lebih ringan. Memang lama, tetapi tidak ada salahnya, yang penting memahami dan mengamalkannya secara berkelanjutan. Demikian pula dengan materi Tanya Jawab Agama dan rubrik SM lainnya.
Majalah SM terus mengoptimalkan sajian-sajian isi yang menyuarakan spirit, pemikiran, dan langkah-lankah gerakan Muhammadiyah. Dengan semboyan “Meneguhkan dan Mencerahkan”‘ Majalah ini menampilkan tulisan, berita, dan informasi tentang Muhammadiyah yang dapat memperkokoh keyakinan, alam pikiran, dan kiprah warga Persyarikatan dalam perjuangan Islam. Sajian-sajian SM jika diperas mengandung semangat tajdid, baik yang bersifat purifikasi (pemurnian, peneguhan) maupun dinamisasi (pengembangan) dalam seluruh aspek pemikiran dan langkah Muhammadiyah.
Majalah SM sebenarnya majalah pedoman atau tuntunan. Tuntunannya bersifat meneguhkan selaligus mencerahkan, sehingga utuh dan tidak parsial. SM itu majalah khusus keislaman dan kemuhammadiyahan yang bersifat arus utama. Tema-tema keislaman yang bersifat khusus keagamaan menempati porsi lebih besar sebutlah rubrik Tafsir At-Tanwir, Tanya Jawab Agama, Hadis, Khutbah, Bina Aqidah, Bina Akhlaq, Hadlarah, Dirasah, dan Ibrah. Namun nama rubrik-rubrik tersebut karena banyak tidak mungkin dimuat di cover SM pada setiap nomor, sehingga pembaca perlu melihat dan membukanya di bagian isi.
Ciri lebih menonjol dari rubrik keagamaan, khususnya Tanya Jawab Agama dan Tafsir At-Tanwir disusun oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi, bukan oleh perorangan dan bukan pandangan individu. Termasuk rubrik-rubrik yang langsung berkaitan dengan kemuhammadiyahan, yang dikmas dalam beragam isu, berita, dan pemikiran. Dengan demikian dapat menjadi rujukan resmi segenap warga Muhammadiyah, temasuk para elite Muhammadiyah dari Pusat hingga Ranting. Tidak kecuali bagi para pimpinan dan pengelola di amal usaha maupun lembaga-lebaga lain dalam lingkngan Muhammadiyah.
Keliru jika masih ada pandangan yang menganggap SM sebagai majalah umum dan bukan majalah keislaman. Pandangan tersebut selain tidak berdasar fakta juga menunjukkan pikiran yang tidak tepat dalam memandang Islam sebagai ajaran yang luas dan menyeluruh. Misi SM itu misi keislaman dalam bingkai gerakan Muhammadiyah. Bahwa SM juga mengangkat tulisan lain memang merupakan keniscayaan agar warga Muhammadiyah memperoleh informasi dan wawasan tentang keislaman dan kemuhammadiyahan yang bersifat aktual dan kontekstual, karena Muhammadiyah bukan gerakan yang berada di ruang isolasi. Muhammadiyah sendiri memandang ajaran Islam itu luas meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalah dunyawiyah. Demikian pula betapa luas perwujudan Islam dalam kehidupan. Muhammadiyah tidak memandang sempit aspek agama atau ajaran Islam.
Di situlah SM memposisikan dan memerankan diri dalam menyebarluaskan pesan dan informasi keislaman sejalan dengan misi dan pandangan Muhammadiyah yang menyeluruh. Manakala SM hanya menampilkan aspek agama dan kemuhammadiyah yang bersifat parsial justru tidak sejalan dengan pandangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid di ranah dan lingkungan yang luas. Apalagi Muhammadiyah memiliki tujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang aspek dan lingkup masyarakat Islam itu pun luas dan tidak sempit.
Kini semua berpulang kepada elite dan warga Muhammadiyah. Pengelola SM tentu menyadari kekurangan yang harus terus diperbaiki, serta terus berikhtiar untuk menyajikan isi yang lebih baik pada setiap edisi. Kalau dilihat sisi negatifnya tentu SM akan kurang terus. Meski begitu tidak ada paksaan sama sekali untuk membaca dan berlangganan SM. Semuanya tergantung pada kesadaran hati dan komitmen para elite dan warga Muhammadiyah untuk mau berlangganan serta membaca lembar demi lembar atau rubrik demi rubrik majalah SM yang hadir di hadapan pembaca yang budiman. Jika SM benar-benar dibaca sebagaimana pesan Buya Syafii Maarif, siapa tahu ada butiran pesan berharga dan bermakna dari Majalah ini.