Suara Muhammadiyah-“Jenderal Sudirman adalah Bapak TNI. Jika beliau adalah salah satu kader terbaik Muhammadiyah, maka program bela negara sudah tepat kerjasama Kemenhan dengan Muhammadiyah,” demikian pernyataan Menteri pertahanan Republik Indonesia, Jend. TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu kepada tim Suara Muhammadiyah beberapa hari yang lalu di Ambon.
Pernyataan Menhan RI kembali memperkuat memori warga Muhammadiyah mengenang salah sosok kader yang berhasil mengharumkan nama persyarikatan dan bangsa. Dialah Jenderal Sudirman, kader Hizbul Wathan Muhammadiyah.
Lahir di Rembang, Purbalingga, pada 7 Februari tahun 1912, Sudirman muda telah mengawali karirnya sebagai guru Sekolah Menengah Muhammadiyah di Cilacap. Ia lulusan pendidikan HIK (Sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo pada tahun 1934.
Sudirman dikenal memiliki kepribadian tegas dan disiplin. Kepribadiannya merupakan buah dari tempaan sistem perkaderan Hizbul Wathan. Ia memang aktif di organisasi kepanduan Muhammadiyah ini. Hizbul Wathan adalah salah satu organisasi otonom (ortom) di Muhammadiyah yang bertujuan untuk mempersiapkan kader-kader yang berdisiplin tinggi dan tegas dalam mengambil sikap. Di samping menjadi anggota Hizbul Wathan, Sudirman juga pernah mengenyam pendidikan militer di Akademi Militer Belanda.
Sudirman muda adalah kader muda Muhammadiyah. Selain mendapat pendidikan kader lewat Hizbul Wathan, dia juga pernah menjadi Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Karesidenan Banyumas. Bakat kepemimpinannya diperoleh selama menjadi Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah sehingga dia bisa mengobarkan semangat juang para pasukannya.
Sejarah bangsa Indonesia telah mencatat peristiwa pengusiran pasukan Sekutu anak buah Jenderal Bethel dari kota Magelang dan Ambarawa oleh para pejuang Indonesia yang langsung dipimpin ole Sudirman. Pertempuran dahsyat di kota Ambarawa secara berturut-turut dari tanggal 12-15 Desember 1945 telah diabadikan dalam sebuah monumen bersejarah “Palagan Ambarawa.” Sekarang ini, setiap tanggal 15 Desember, oleh bangsa Indonesia, dikenang sebagai “Hari Infanteri.”
Pada tanggal 15 Oktober 1945, bangsa ini berhasil membentuk pasukan militer yang dikenal dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Kongres TKR tanggal 12 November 1945, Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar (Pangsar) dengan pangkat Jenderal.
Jenderal Sudirman memang terkenal memiliki watak keras dan teguh pendirian. Meskipun sedang sakit keras, ia tetap memilih berperang memimpin pasukan di medan gerilya. Sampai penyakitnya kian parah, ia tetap memimpin perang gerilya. Pasukannya dengan tulus memandu sang panglima besar memimpin perang gerilya.
Jenderal Sudirman pernah berpesan kepada para aktivis Muhammadiyah dalam sebuah pertemuan: “Percayalah, Allah menolong kita. Dalam kancah perjuangan, Muhammadiyah sanggup memelopori di segenap tempat dan penjuru. Sedikit banyak usaha Muhammadiyah telah berbuah bagi masyarakat. Pangkat dan derajat yang telah didapat oleh para anggota Muhammadiyah hendaknya tidak merubah pendirian sikap menghadapi sesuatu.”
Pada tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah, karena sakit TBC. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara di Semaki, Yogyakarta. Jenderal Sudirman dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997, dia mendapat gelar Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di republik ini sampai sekarang. (Mu’arif)