YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Akhir Februari 2017 ditutup dengan sebuah ledakan bom panci di Bandung. Pelaku tunggal dalam kasus itu berhasil dibekuk densus 88. Setelah meledakkan bom, pelaku sempat berusaha melarikan diri, namun para siswa SMA 6 Kota Bandung yang sedang berolahraga di sekitar Taman Pandawa berhasil mengejar dan mengisolasi pelaku di kantor kelurahan setempat, hingga polisi tiba di lokasi.
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PWM DIY, Robby Habiba Abror menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi menjelang kedatangan Raja Salman ke Indonesia itu bisa dilihat dari beragam perspektif. Konstruksi publik tentang terorisme pun bisa dibentuk melalui berbagai narasi media dan pendekatan.
“Di situlah media berperan dalam mengkonstruk makna teror, teroris dan terorisme, dalam kaitan ini yakni ‘bom panci’ yang dibentuk dalam multiragam bahasa. Bahkan dengan konstruksi logika makna yang sebaliknya,” kata Robby dalam Dialog Publik bertema ‘Perang Melawan Terorisme: Upaya Mewujudkan Keamanan Negara dan Ketentraman Masyarakat’, di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu (1/3).
Menurut Robby, peristiwa di Bandung bisa dibandingkan dengan kasus Siti Aisyiyah, seorang WNI yang terancam hukuman mati atas dakwaan pasal pembunuhan Kim Jong Nam, yang merupakan kakak dari petinggi Korea Utara, Kim Jong-Un.
“Dua berita berbeda, melibatkan anak bangsa yang sama, dimuat di Koran yang sama dalam waktu yang hampir bersamaan. Ada banyak kepentingan dalam misteri teror atau teror misterius,” tutur Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga itu.
Terorisme, kata Robby, dilakukan dalam banyak cara untuk menimbulkan ketakutan yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan atau ancaman. Motif dari beragam tindakan terorisme itu bisa bermacam-macam.
Dalam kesempatan itu, Robby juga meluruskan pandangan umum tentang terorisme. Menurutnya, terorisme sama sekali tidak identik dengan Islam. “Agama mana pun di muka bumi ini tidak pernah mensahkan tindakan teror atas nama Tuhan atau agama,” ulasnya.
Robby menyatakan bahwa potensi ancaman munculnya terorisme sebenarnya ada pada dan dapat dilakukan oleh penganut agama apa pun, maka di situlah fundamentalisme agama sering disalahartikan atau dialihartikan sebagai ekstrimisme dan representasi dari benih terorisme.
Sebagai solusi, Robby mengingatkan bahwa tindakan deradikalisasi jangan hanya menjadi forum rutinan yang berhenti pada diskusi atau wacana, namun kehilangan makna. “Dibutuhkan kesungguhan, baik melalui jalur akademik, pendekatan sosial, budaya, agama dan keamanan, melawan terror, ketakutan dan ancaman terorisme yang mungkin tak akan pernah berhenti selama ketidakadilan, ketimpangan sosial, pemiskinan, dan intimidasi terhadap agama tertentu di berbagai belahan dunia terus berlangsung,” pungkasnya. (Ribas)