Hindari Gaya Hidup Negatif Hedonisme

Hindari Gaya Hidup Negatif Hedonisme

SALATIGA, Suara Muhammadiyah-Kehidupan manusia modern tidak dapat dilepaskan dari gaya hidup masyarakatnya yang mempunyai kecenderungan hedonis. Hedonisme sesungguhnya merupakan konsep moral tentang kesenangan individual atau kenikmatan sebagai tujuan hidup manusia, seperti dikatakan oleh murid Sokrates yang bernama Aristippos. Demikian dikatakan oleh Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DI Yogyakarta Dr H Robby Habiba Abror SAg MHum dalam Seminar Nasional bertema ‘Hedonisme’ di Aula Kampus I IAIN Salatiga, Sabtu (4/3).

Robby menjelaskan ada beberapa pengertian dari hedonisme. Bagi Epikuros, justru ketenangan jiwalah atau ataraxia dengan gaya hidup sederhana sebagai tujuan hidup. Locke misalnya, berpendapat apapun dapat dikatakan baik jika bisa melahirkan kesenangan. “Beberapa cara pandang yang berbeda ini tentu saja akan menimbulkan kontroversi, sebab pada kenyataannya hedonisme harus dituntun oleh moral, bukan sebaliknya kesenangan malah dianggap sebagai sesuatu yang baik secara moral,” tutur Robby.

Hedonisme yang terjadi pada masyarakat modern, menurut Robby, cenderung kepada materialisme dan pada praktiknya tidak dapat dilepaskan dari konsumerisme. Gaya hidup manusia modern menunjukkan beragam tindakan cinta dunia yang menyilaukan mata hati dan iman. Orang lalu ingin melakukan jalan pintas untuk meraih keinginan dan kesenangannya, misalnya dengan gaya hidup serba praktis dan instan, bahkan tidak jarang lalu mengambil langkah menghalalkan segala cara demi mencapai kesenangannya.

“Selain hedonisme, dalam etika terdapat pula sistem-sistem filsafat moral lainnya seperti eudemonisme,  utilitarianisme dan deontologi,” ungkap Robby yang juga Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Menurutnya, kebahagiaan atau eudaimonia bisa menjadi makna utama hidup manusia sebagaimana pendapat Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics, caranya dengan jalan tengah yang disebut phronesis atau kebijaksanaan praktis sebagai keutamaan moral,  di samping kebijaksanaan filosofis dan teoretis.

Dalam utilitarianisme berlaku teori kebahagiaan terbesar yang pernah dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya John Stuart Mill. Paham ini menekankan kebahagiaan terbesar untuk sejumlah besar orang.

Dalam deontologi dibahas tentang kewajiban moral atau imperatif yang dibagi Immanuel Kant menjadi dua, yaitu imperatif kategoris yang berarti kewajiban moral tanpa syarat, jadi seseorang dapat diperintahkan langsung untuk menjadi baik secara moral, sedangkan imperatif hipotetis ialah kewajiban yang bersyarat, misalnya jika engkau ingin sukses maka belajarlah sungguh-sungguh. Jika ingin dihormati, maka belajarlah menghormati orang lain.

“Dalam QS an-Najm ayat  39 Allah swt berfirman wa allaisa lil insani illa maa sya’a yang artinya dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Proyeksi imperatif hipotetis setidaknya dapat diserap dan dimanifestasikan dari makna ayat tersebut,” urai anggota Tim Asistensi Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah itu.

Sedangkan konsumerisme ini, lanjut Robby, merupakan paham tentang konsumsi atas barang-barang hasil produksi secara berlebihan sehingga seseorang menjadi konsumtif. “Jika tidak dapat menahan diri, manusia modern cenderung melampaui kebutuhan yang sebenarnya,” demikian papar Robby. (Erha/Ribas)

Exit mobile version