Oleh Haedar Nashir
Di Bogor, seorang pria berusia 42 tahun telah memperkosa anak kandungnya sendiri. Dia juga memperkosa anak tiri dan keponakannya. Perbuatan nista itu dillakukan selama 7 tahun. Para korban masih berusia sangat belia. Anaknya 15 tahun, anak tiri 19 tahun, dan keponakannya 20 tahun. Mereka dipaksa melayani nafsu keji pelaku dengan ancaman. Sungguh, kejadian buruk yang nista.
Pelaku mengakui perbuatan kejinya di hadapan polisi. “Perbuatan itu terungkap setelah keponakan pelaku mengadu ke orangtuanya. Setelah ditelusuri, ternyata pelaku juga menyetubuhi anak kandung dan anak tirinya,” ungkap Kasat Reskrim Polres Bogor, AKP Imron Ermawan, sebagaimana diberitakan detikNews (Selasa, 22/01/2013 19:49 WIB). Menurut keterangan polisi, pelaku berhasil menyembunyikan perbuatannya, karena mengancam korban jika berani melapor kepada orangtuanya.
Sedangkan para korban menuturkan nasib buruknya itu telah dialami cukup lama. Anak kandungnya diperkosa selama 4 tahun, dari Januari 2008 hingga pertengahan Juli 2012. Anak tirinya menjadi korban sejak awal Juni 2003 hingga Mei 2010. Sedangkan keponakannya jadi sasaran keji pamannya itu sejak awal tahun 2003 hingga akhir Mei 2010. Selama ini sudah banyak kejadian tragis serupa. Termasuk kasus perkosaan anak gadis berusia 11 tahun di Jakarta Timur, yang diduga dilakukan ayah kandungnya atau orang terdekat, yang menyebabkan korban meninggal.
Namun ironi, ancaman hukuman pemerkosaan selalu terbilang ringan. Atas perbuatannya, pelaku dijerat pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara. Sebagaiman umumnya pelaku pemerkosa, hukuman ringan tidak akan membawa efek jera. Seharusnya dihukum mati atau seumur hidup. Padahal korban telah direnggut masa depannya dengan segala derita yang menyertainya seumur hidup.
Dunia sudah rusak dan jungkir balik. Ayah seharusnya merawat, menjaga, dan melindungi anak dengan kasih sayang dan tanggungjawab. Termasuk anak tiri dan keponakan, yang semestinya dia lindungi denga jiwa kebapakkan. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Ibarat pagar makan tanaman. Pelaku sungguh melampaui batas. Diberita bahkan disebut bejat moral, sebuah kata yang sangat keras untuk menggambarkan perilaku keji yang luar biasa.
Kita jadi ingat tabiat manusia yang digambarkan dalam Al-Qur’an. Manusia itu makhluk mulia dan dimuliakan Allah dalam sebaik-baik penciptaan (QS At-Tin: 4). Kemuliaan manusia karena diberi anugerah hati (QS Qaf: 37, Al-Isra: 25) dan akal pikiran (QS Ali Imran: 190), yang tidak diberikan kepada makluk Tuhan yang lainnya. Manusia diberi fitrah atau jiwa yang suci, yakni jiwa bertuhan atau beragama (QS Ar-Rum: 31). Manusia bahkan diangkat Tuhan sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi (QS Al-Baqarah: 30, Hud: 61).
Dengan modal ruhaniah yang berharga itu manusia diberi kekuatan untuk memilah dan memilih mana yang benar dari yang salah. Mana yang baik dan membedakannya dari yang buruk. Mana yang patut dan menjauhi yang tidak patut. Itulah yang membedakan manusia dari hewan atau makhluk ciptaan Allah lainnya. Sehingga manusialah yang diberi mandat Tuhan dan satu-satnya ciptaan yang mampu membangun peradaban, yakni segala wujud kebudayaan yang halus, utama, dan tinggi.
Namun, jika sudah ganas dan jahat, manusia justru melebihi binatang. Manusia berubah menjadi berperilaku hewaniah. Hati, akal, dan jiwa fitrahnya tidak berfungsi karena dikalahkan oleh hawa nafsunya yang liar dan dikendalikan syaitan. Allah berirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al-‘Araf: 179)