Suara Muhammadiyah-Air, apalagi air tanah, memiliki peran penting dalam kehidupan. Hampir seluruh masyarakat pedesaan memanfaatkan air tanah atau air mata air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sementara eksploitasi (pemanfaatan) air tanah sudah demikian berlebihan dan akibatnya berdampak negatif. Dampak tersebut sangat terasa, utamanya, di daerah dekat pantai. Timbulnya rembesan air laut (sea water intrusion) ke daratan tak dapat dibendung, sehingga rembesan tersebut menggantikan posisi air tanah yang telah tereksploitasi.
Eksploitasi air tanah dekat pantai, seperti Jakarta, Semarang, Denpasar, dan Surabaya, lebih membahayakan lagi. Volume air tanah yang dieksploitasi sudah sangat besar. Di mana tidak hanya rumah tangga, tetapi industri, perkantoran, hotel, rumah makan, dan lainnya juga menggunakan air tanah. Akibatnya, ketersediaan air tanah berkurang. Muka air tanah (water table) mengalami penurunan, permukaan tanah juga menurun (land subsidence), dan air tanah menjadi tercemar sehingga tak layak konsumsi.
Jika persoalan tersebut dikonfirmasikan kepada Pasal 2 UU No. 11/1974 tentang Pengairan menyebutkan bahwa Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka eksploitasi yang dilakukan selama ini secara berlebihan berakibat sangat fatal pada makin menyusutnya ketersediaan air tanah. Dan itu jelas bertentangan dengan amanat undang-undang tersebut.
Untung saja, pada Februari 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan judicial review atas UU No.7/2004. MK mengeluarkan putusan bahwa UU No. 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945, dan UU No. 11/1974 tentang Pengairan berlaku kembali. Upaya hukum ini tentu saja menjadi angin segar bagi rakyat untuk merebut kembali haknya. Sesuai UUD, rakyat adalah pemilik sah sumber daya air. Air tidak boleh lagi dikuasai untuk dikomersialkan.
Lebih lagi jika ini dikembalikan pada nilai Islam tentang makna air bagi manusia. ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi, pola hubungan manusia dan alam (termasuk air) yang dibangun atas dasar saling membutuhkan dan menguntungkan. Bahwa hubungan manusia dan air dibangun di atas dua prinsip: pemanfaatan sumber daya alam dan pemeliharaan keseimbangan alam. Dua prinsip yang bukan saja akan membatasi komersialisasi dan privatisasi yang berlebihan, tetapi sekaligus menjaga keseimbangan agar lingkungan tidak rusak. [red]
Selengkapnya tentang Permasalahan Privatisasi Air dapat dibaca di Majalah Suara Muhammadiyah edisi cetak, No.6 tahun 2017