Oleh: Ahmad Fuad Fanani
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyelenggarakan Internatioal Research Conference on Muhammadiyah (IRCM), pada 29 November-2 Desember 2012. IRCM yang diselenggarakan sebagai rangkaian peringatan Milad 1 abad Muhammadiyah ini, mengambil tema “Discourse on the Search for a Renewed Identity of Muhammadiyah for its Post-Centennial Era”. Konferensi international yang pertama dalam sejarah Muhamamadiyah ini, dihadiri kurang lebih 59 pakar baik dari dalam luar negeri dan dalam negeri. Ratusan peserta juga aktif mengikuti konferensi ini semenjak dari pembukaan hingga penutupan.
IRCM ini sangat penting karena membahas dan mencakup hampir semua tema yang selama ini menjadi perhatian dan lahan garap Muhammadiyah. Tema itu adalah: sejarah, filantropi, pendidikan, politik, reform (tajdid atau pembaharuan), isu-isu gender, kaum muda dan radikalisme, dan studi-studi kontemporer tentang Muhammadiyah. Konferensi ini juga sangat signifikan bagi perjalanan Muhammadiyah di abad keduanya, karena makalah-makalah yang dipresentasikan di forum ini berbasis pada riset akademis dan empiris. Makalah dan hasil dari IRCM ini sangat bermanfaat sebagai bahan evaluasi, refleksi, dan proyeksi perjalanan Muhammadiyah pasca 100 tahun pertama.
Masa depan Muhammadiyah pasca 1 abad, pasti menghadapi tantangan-tantangan yang lebih canggih dan rumit yang tentu membutuhkan inovasi dan strategi baru. Sebagai organisasi Islam yang mempunyai amal usaha terbesar di seluruh dunia, Muhammadiyah harus menyiapkan sumber daya manusia, konsep-konsep, dan strategi gerakan serta kebudayaan yang baru.
Jangan Terjebak Romantisme
Muhammadiyah yang awalnya organisasi lokal keagamaan yang didirikan di Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan beserta murid-muridnya, saat ini sudah menjadi organisasi nasional bahkan pengaruhnya mulai mengglobal. Selama 100 tahun perjalanannya, tentu banyak dinamika dan prestasi yang dicapai Muhammadiyah. Namun, berbagai prestasi ini hendaknya –meminjam istilah M. Amin Abdullah yang disampaikan di forum IRCM—jangan membuat kita menjadi romantis dengan masa lalu. Memang sejarah keemasan bisa menjadikan kita belajar banyak untuk mempertahankan prestasi yang sudah dicapai di masa lalu, tapi juga harus menjadi sarana refleksi apa saja kekurangan yang perlu dibenahi di masa depan. Terkait dengan sejarah perjalanan Muhamamadiyah, presentasi dari Endy Saputro, M.C. Ricklefs, Gwenael Feillard, dan Robin Bush, menggambarkan tentang sejarah dan dinamika Muhammadiyah selama ini. Mereka menggambarkan bahwa Muhammadiyah sudah memberikan suatu sumbangan yang sangat berharga bagi sejarah perkembangan Islam dan bangsa Indonesia.
Namun, Muhammadiyah hendaknya terus menggelorakan semangat pembaharuan keagamaan dan ide kemajuan yang menjadi cita-cita gerakannya dari awal. Muhammadiyah juga harus memperbaharui lagi identitasnya di abad kedua ini. Misalnya, seperti yang disampaikan oleh Darwish Khudori, Muhammadiyah seyogyanya memposisikan dirinya secara tepat di era globalisasi sekarang ini. Apakah ia menjadi bagian dari “Community of Egoism” yang mengklaim komunitasnya sebagai pemilik tunggal kebenaran dan menutup pintu terhadap kebenaran yang lain. Atau ia menjadi bagian dari “Community of Pluralism” yang mempercayai keberagaman sebagai hukum alam yang harus dipelihara dan disuburkan keberadaanya melalui dialog dan tukar pikiran. Himbauan Buya Syafii Maarif dalam banyak ceramah dan artikel-artikelnya selama ini yang mengkritik tentang lemahnya Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu tentu bisa dipertimbangkan sebagai landasan untuk memilih model gerakan dan komunitas bagi Muhammadiyah ke depan.
Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai garda depan dalam gerakan filantropi, memang menorehkan sejarah panjang yang gemilang dalam bidang ini. Riset Amelia Fauzia yang dipresentasikan dalam IRCM membuktikan bahwa spirit teologi al-Ma’un telah menjadi basis yang kuat dalm menggerakkan Muhammadiyah. Dengan spirit itu, Muhammadiyah membaktikan dirinya sebagai bagian dari ‘Muslim civil society’ yang inkulusif dan melintasi batas-batas agama dan nasionalisme. Sejalan dengan ini, riset Hilman Latief menunjukkan bahwa sampai hari ini Muhammadiyah banyak berkonsentrasi pada filantropi Islam and aktivitas kesejahteraan sosial.
Sayangnya, Muhammadiyah selama ini banyak memfokuskan gerakannya pada kalangan kelas menengah dan atas. Konsekuensinya, kalangan buruh, tani, nelayan, dan kaum mustadz’afin banyak terpinggirkan dari dakwah dan kurang mendapat sentuhan Muhammadiyah. Selain itu, gerakan filantropi lain seperti Dompet Dhuafa’, Pos Keadilan Umat, dan lembaga-lembaga amil zakat yang saat ini terlihat lebih progresif dan inovatif dalam melakukan gerakan filantropi dibandingkan dengan Muhammadiyah. Oleh karenanya, Muhammadiyah dituntut lebih kreatif merumuskan bagaimana dakwah sosialnya lebih mengena ke semua lapisan sosial dan gerakan filantropinya terus berkembang dengan rumusan ide-ide baru dan inovatif.
Bidang lain yang selama ini menjadi keunggulan Muhammadiyah adalah pendidikan. Bahkan, di acara IRCM kemarin, beberapa orang menyatakan bahwa pembicaraan tentang Muhammadiyah pasti terkait dengan lembaga pendidikannya, entah sekolah atau universitas. Ini tidak mengherankan, karena pendidikan menjadi lahan utama dakwah Muhammadiyah semenjak awal. Selain itu, lembaga pendidikan Muhammadiyah didirikan tidak hanya untuk warganya saja, namun telah memberi manfaat bagi umat Islam dan bahkan kalangan non Muslim seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Yang juga penting dicatat dari konferensi kemarin, lembaga pendidikan di Muhammadiyah yang sangat banyak itu perlu terus ditingkatkan kualitasnya.
Selain itu, penting juga mengevaluasi peran lembaga pendidikan Muhammadiyah dalam mengurangi gelombang radikalisme dan fundamentalisme yang saat ini banyak merasuk ke berbagai lembaga pendidikan, termasuk Muhammadiyah di dalamnya. Gelombang pengaruh radikalisme dan fundamentalisme di kalangan Muhammadiyah ini, khususnya kaum muda, dibahas secara mendalam oleh Jamhari, Din Wahid, Munajat, dan Pradana Boy ZTF. Dalam posisi seperti ini, lembaga pendidikan hendaknya mampu mencetak manusia Indonesia yang berkharakter yang bisa dan mau hidup bersama bersama umat agama lain dalam suasana damai dan penuh kerjasama. Teladan dari KH Ahmad Dahlan yang bisa bekerjasama dengan membuka diri dengan golongan dan umat agama yang lain hendaknya terus dijadikan pegangan bagi gerakan Muhammadiyah ke depan.
Tema lain yang tak menarik adalah soal politik, pembaharuan, gender, dan Muhammadiyah studies. Dalam bidang politik, misalnya, Muhammadiyah masih terus terlihat ambigu merumuskan gerakannya. Hubungan Muhammadiyah dengan partai-partai politik, khususnya dengan Partai Amanat Nasional, masih mengalami dilema. Begitu juga hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah. Dalam soal ini, Rizal Sukma menyampaikan bahwa Muhammadiyah hendaknya berpolitik dalam artian kritis terhadap kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah. Politik kebangsaan dan politik amar ma’ruf nahi munkar adalah model politik yang bisa dijadikan pegangan oleh Muhammadiyah.
Tantangan Abad Kedua
Agar Muhammadiyah tidak menjadi romantis dengan masa lalunya, maka gerakan ini harus melihat persoalan-persoalan dan tantangan yang dihadapi di masa depan. Ke depan, sebagaimana ditegaskan oleh M. Amin Abdullah dalam IRCM, Muhammadiyah harus melakukan tajdid yang sesungguhnya dan tidak melakukan recycling ijtihad (daur ulang ijtihad). Ijtihad yang harus mesti segera dirumuskan oleh Muhammadiyah adalah bagaimana gerakan ini mampu menjawab persoalan human rights, human dignitiny, human security, kemacetan, banjir, kemiskinan, kelaparan, dan persoalan ketimpangan global lainnya. Selain itu, rumusan ijtihad baru yang menjawab tantang soal good governance, pluralisme, toleransi, radikalisme, dan terorisme, sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif, harus harus segera dilakukan. Dengan begitu, gerakan Muhammadiyah akan memberi manfaat bagi kemanusiaan dan peradaban.
Untuk itu, gagasan tentang Islam yang Berkemajuan dan teologi al-Maun yang merupakan produk genuin dari Muhammadiyah hendaknya perlu dibaca ulang dan disosialisasikan ke seganap pimpinan dan warga persyarikatan. Dengan Islam yang berkemajuan dan spirit al-Maun ini, Muhammadiyah diharapkan mampu menjawab tantangan global yang berwujud pada tantangan budaya global dan model keagamaan global. Gerakan transnasional Islam yang merupakan wujud dari global salafism itu memang saat ini sangat agresif menyebarkanluaskan Islam model Arab yang belum tentu cocok dengan konteks Indonesia. Dalam kaitan ini, Islam model Indonesia direpresentasikan oleh Muhammadiyah, NU, dan organisasi Islam lokal lainnya sebetulnya sangat penting menjadi jati diri bangsa Indonesia. Bahkan, Islam Indonesia ini sudah saatnya untuk disosialisasikan ke dunia international sebagai alternatif untuk mewujudkan dunia yang damai dan berkeadilan. Robert W Hefner dalam pertemuan IRCM kemarin menyampaikan pemikiran menarik bahwa sudah waktunya Muhammadiyah naik ke pentas international dengan membawa gagasan-gagasan keagamaan yang progresif dan inovatif. Untuk agenda ini, Muhammadiyah seyogyanya terus menjaga prestasinya di bidang pendidikan dan kesehatan serta terus melakukan perbaikan-perbaikan di bidang lainnya.
Acara IRCM kemarin menunjukkan bahwa, seperti yang disampaikan oleh Azyumardi Azra, banyak agenda dan pikiran-pikiran strategis yang perlu segera dilakukan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah harus segera melakukan revitalisasi dan rekonstruksi gerakannya agar memberi kemanfaatan bagi Indonesia dan umat Islam secara global. Acara IRCM seperti kemarin, mestinya dihadiri oleh para pimpinan dan pengambil kebijakan di Muhamamdiyah, baik di tingkat nasional dan lokal. Sayangnya, sangat sedikit pimpinan dan pengurus yang hadir dalam acara yang sangat penting dan bernilai tinggi itu. Mudah-mudahan IRCM akan terus dilakukan di masa yang akan datang agara Muhammadiyah terus jaya dan bermakna bagi Indonesia dan dunia. Wallahu A’lam Bisshawab.