Muhammadiyah dari Sudut Gereja

Muhammadiyah dari Sudut Gereja

“Selamat Bertanwir. Salam kami dari Gereja Protestan Maluku (GPM)!”

Kalimat di atas dituturkan oleh Rudy Rahabeat. Seorang pendeta yang tergabung dalam Gereja Protestan Maluku (GPM). Wadahnya bernaung ini dikenal sebagai salah satu gereja beraliran Protestan Reformasi atau Calvinis, yang berdiri di Ambon, sejak 6 September 1935.

Konon, Rudy Rahabeat merupakan sosok yang awalnya sangat antipati pada keberadaan Muhammadiyah. Wajar saja, pra-informasi yang diperolehnya masih sangat minim. Namun seiring waktu dan bertambahnya intensitas interaksinya dengan Muhammadiyah, pendeta ini menjadi pribadi yang sangat simpati dengan salah satu organisasi Islam modernis ini.

Latar belakang Rudy sebagai penganut Kristen Protestan setidaknya menggambarkan karakteristik yang hampir sama dengan Muhammadiyah di sisi tertentu. Muhammadiyah sebagaimana diungkap Sukidi Mulyadi, mewarisi karakteristik Calvinis. Hal itu dikuatkan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ahmad Najib Burhani. Penganut Calvinis dan Muhammadiyah di antaranya sama-sama memiliki etos mandiri, gemar bekerja keras dan berpandangan jauh ke depan.

Persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini tumbuh berkembang memasuki abad kedua menjelma organisasi dengan jumlah amal usaha terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, sebagaimana dikatakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Makassar, pada Agustus 2015 lalu. Ungkapan Menteri Agama ini tentu memiliki landasan yang kuat. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah mengambil garapan dalam bidang pendidikan (schooling), kesehatan (healing), dan pelayanan sosial (feeding). Hingga kini di usianya yang melebihi satu abad, wilayah garapannya semakin membesar.

Dengan pola dari bawah ke atas, Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) terus tumbuh setiap saat. Etos kemandirian dan keikhlasan menjadi kunci sukses Muhammadiyah dalam mengokohkan eksistensi dan berkonstribusi nyata untuk negeri. Tidak hanya berpusat di pulau Jawa, Muhammadiyah merambah ke seluruh pelosok ibu pertiwi. Menembus batas pulau, menyusuri barat dan timur. Dibanding ormas lainnya, Muhammadiyah menjadi organisasi yang memiliki tingkat persebaran paling merata.

Di wilayah Indonesia Timur yang merepresentasikan minoritas muslim dan sebagian masyarakat yang masih tertinggal, peranan Muhammadiyah dirasakan oleh semua kalangan, dari beragam latar belakang suku, ras, agama dan golongan. Melalui sekolah dan universitas, Muhammadiyah membantu anak-anak di pelosok negeri menggapai cita-cita dan masa depan. Dengan spirit pencerahan, Muhammadiyah mengenalkan mereka pada kemajuan. Mengantarkan pada pengetahuan dan kemajuan.

Demikian halnya dengan layanan kesehatan. Kehadiran Klinik Apung Said Tuhuleley sebagai kado Tanwir Muhammadiyah di Ambon, baru-baru ini, menunjukkan komitmen keberpihakan Muhammadiyah pada kaum mustadl’afin. Di tengah minoritas muslim, Muhammadiyah hadir atas panggilan kemanusiaan universal, sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan Penolong Kesengsaraan Umum (PKU). Indonesia Timur dikelilingi oleh pulau-pulau terpencil yang tidak semuanya memiliki akses tenaga kesehatan maupun sarana dan prasarana kesehatan. Di Maluku sendiri, ketersediaan dokter hanya 6:10.000 penduduk dari yang idealnya 11:10.000 orang.

Lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi pilihan bagi yang berlatar belakang muslim dan non-muslim di Indonesia Timur. Buku Kristen Muhammadiyah Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan karangan Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq mengisahkan tentang pengumulan toleransi antara minoritas muslim dengan mayoritas Kristen Katolik dan Protestan dalam wadah pendidikan Muhammadiyah. Fenomena Kristen-Muhammadiyah (Krismuha) ini menambah varian wajah Muhammadiyah yang tidak tunggal, dari yang sebelumnya dikenal Muhammadiyah-NU (MUNU), Marhenis-Muhammadiyah (Marmud), seperti dikemukakan Abdul Munir Mulkhan.

Buku itu memotret SMA Muhammadiyah di Ende yang diterima baik oleh masyarakat setempat yang menganut Katolik. Bahkan 2/3 peserta didiknya beragama Katolik. Ada juga SMP Muhammadiyah di Serui Teluk Cenderawasih Papua dan SMA Muhammadiyah di Putussibau Kalimantan Barat. Di sekolah-sekolah tersebut, Muhammadiyah menyediakan guru agama Kristen atau Katolik serta tidak mewajibkan memakai jilbab bagi yang non-Muslim. Demikian juga di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK), yang singkatannya sering diplesetkan dengan Universitas Muhammadiyah Kristen, sebagaimana gurau ketua PP Muhammadiyah Bidang Hubungan antar Agama dan Peradaban Syafiq A Mughni, suatu ketika.

Dengan kiprah nyata itu, Muhammadiyah menjalankan toleransi yang sejati. Ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, sering menyebut bahwa toleransi tidak cukup hanya diseminarkan dan menjadi wacana. Lebih penting dari itu, konsepsi toleransi harus dibumikan dalam kehidupan bernegara, tanpa harus banyak mengumbar kata. Itulah yang menjadi spirit Muhammadiyah membangun bangsa.

Sesuai amanat muktamar, Muhammadiyah dan semua kekuatan agama lainnya menyatu dalam mewujudkan kemajuan dan merajut tenun kebangsaan. Dalam bahasa Buya Syafii Maarif, mereka diikat untuk bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan. Dengan siapapun yang memiliki identitas berbeda, Muhammadiyah bersinergi untuk membangun negeri. Perbedaan yang ada menjadi modal besar yang perlu dikelola dengan baik.

Menjelang Tanwir Muhammadiyah di Ambon, Maluku beberapa waktu lalu, pendeta Rudy Rahabeat memberi kesaksian tentang Muhammadiyah. Melalui koran Ambon Ekspres, pada 23 Februari 2017, Rudy menulis opini berjudul ‘Revolusi Mental dan Spirit Muhammadiyah’. Tulisan itu mengungkap tentang kekagumannya pada tokoh pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, kegembiraannya menyongsong helatan tanwir di ‘negeri para raja’ yang pernah koyak oleh masa kelam konflik, termasuk harapannya pada Muhammadiyah untuk terus menjadi kekuatan pelopor menuju Indonesia yang berkemajuan dan berkeadilan.

“Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini, peran dan kiprah Muhammadiyah sangat diharapkan. Sebagai salah satu kekuatan civil society, maka pergerakan dan praksis Muhammadiyah yang progresif akan memberi warna dan arah bagi perjalanan bangsa ini. Islam berkemajuan dan Indonesia yang berkemajuan merupakan spirit Muhammadiyah yang menghentak kesadaran dan memacu semangat untuk terus bergerak dinamis, tidak pasrah pada keadaan, apalagi menyerah,” demikian tulis pendeta Rudy dalam salah satu bagian.

Kesaksian serupa dituturkan oleh Pengurus Pusat Gereja Kristen di Ambon Alferd Ohman. Pendeta ini menaruh optimisme dan harapan besar pada Muhammadiyah dalam merawat kebinnekaan yang otentik, berlandaskan pada ketulusan. Dengan motto ‘sedikit bicara, banyak bekerja’, Muhammadiyah dinilai telah mengamalkan toleransi di tengah keberagaman nusantara.

“Peran Muhammadiyah dalam kemajemukan patut diapresiasi dan dicontoh di tengah kondisi kebhinekaan yang terancam.  Apa yang dilakukan Muhammadiyah seharusnya dapat dicontoh oleh organisasi-organisasi lainnya, khususnya organisasi yang berbasis keagamaan,” tutur Alferd pada Sabtu, 25 Februari 2017, sehari setelah pembukaan Tanwir. Di acara pembukaan yang dihadiri Presiden Jokowi itu, tim paduan suara dan penari lokal merupakan perpaduan siswa Muhammadiyah dan Kristen. (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version