Amerika: Bangsa Imigran

Amerika: Bangsa Imigran

Shamsi Ali

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Sekitar tujuh tahum silam, tepatnya di tahun 2009, saya bersama 100 lainnya menerima penghargaan Ellis Island Honor Award. Penghargaan ini diberikan kepada para imigran atau anak cucu imigran yang dianggap berjasa berkontribusi kepada negara ini. Bersama saya ada beberapa nama besar, antara lain Jenderal Abi Zayd mantan panglima perang Amerika di Irak, John Podesto mantan Jubir Presiden Bill Clinton, dan penyanyi legendaris Hispanic Gloria Stephane.

Sejak dimulainya pemberian penghargaan itu setahu saya baru dua orang Islam yang menerima. Saya sendiri dan pentinju legendaris dunia Muhammad Ali.

Saat itu saya bangga, merasa terhormat, dan tentunya bersyukur sekaligus bahwa negara Amerika yang selama ini biasa dikenal kurang bersahabat dengan Muslim justeru memberikan penghargaan kepada imigran seperti saya dan Muslim pula. Kebanggan saya itu tentunya karena saya merasa Amerika adalah rumah saya sendiri.

Ellis Island adalah sebuah pulau kecil seberang kota Manhattan. Berada di antara Manhattan dan pulau di mana Lady Liberty berdiri tegak, di sanalah sejarahnya para pendatang ke negeri ini pertama kali diterima. Sehingga dengan sendirinya Ellis Island adalah simbol pintu kedatangan para imigran ke negara ini.

Dengan patung lady Liberty di seberangnya kota New York merupakan simbolisasi Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan, sekaligus membuka dada dengan lapang menerima para imigran.

Negara Imigran

Bukan rahasia, dan siapapun tahu bahwa Amerika adalah negara imigran. Mereka yang berkulit putih juga sejarahnya adalah pendatang, yang umumnya melarikan diri dari daratan Eropa karena kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.

Kedatangan para imigran atau tepatnya pengungsi Eropa ini menjadikan penduduk asli Amerika (Native American) termarjinalkan, bahkan cenderung tereliminir. Mereka dipaksa menyerahkan tanah dan kepemilikan mereka oleh pendatang Eropa, bahkan diusir untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya.

Kita tentunya diingatkan perayaan “Thanksgiving” di Amerika. Mengingatkan kita sebuah perayaan pahit. Perayaan kaum kulit putih (baca Eropa) merampas tanah dan kepemilikan penduduk asli Amerika (Native Americans).

Peperangan demi peperangan di masa kelam Eropa menjadikan bangsa itu mencari tempat pelarian. Maka Amerika adalah tempat yang memang dari dulu menjadi tujuan pelarian itu. Dari bangsa Irlandia, Yunani, Itali, dan seterusnya.

Mungkin pengungsi dari Eropa yang masih dekat di memori kita adalah pengungsi komunitas Yahudi yang melarikan diri juga dari kekejaman Eropa di bawah pimpinan Hitler. Amerikalah menjadi destinasi mereka melarikan diri dari pembantaian tentara Hitler.

Adapun warga kulit hitam (Afro Americans) mereka tidak datang di negeri ini karena melarikan diri. Tapi mereka datang ke negeri ini karena dipaksa oleh penjajah Eropa dari Afrika saat itu. Oleh karenanya sejatinya Afro Americans tidak dikategorikan sebagai imigran, tapi budak-budak kulit putih yang datang ke negeri ini.

Demikianlah seterusnya warga Amerika tumbuh besar, berkembang dan bersama membangun negeri ini, semuanya datang dari berbagai penjuru dunia.

Kini Amerika, mau atau tidak, menerima atau menolak. Sadar atau tidak, berani atau phobia, kenyataannya memang adalah negara imigran. Kota New York barangkali adalah kota paling metropolitan dan sekaligus paling ragam, tidak saja di Amerika tapi di  dunia. Tentu selain Mekah Madinah di musim haji.

Secara ras, etnis, warna kulit, bentuk dan wajah, bahkan kultur, budaya dan agama, hampir semuanya ada dan menyatu dalam kesatuan bangsa dan negara Amerika. Maka sangat wajar jika istilah “united states of America” tidak saja simbolisasi kesatuan 50 negara-negara bagian itu. Tapi sekaligus simbolisasi dari kesatuan dalam keragaman yang luar biasa.

Ancaman White Supremacy

Kebutaan sejarah atau pembutaan sejarah Amerika memang kuat. Warga Amerika kulit putih yang sejatinya adalah pendatang juga atau keturunan imigran Eropa tiba-tiba terbalik dan seolah mereka adalah warga Amerika asli (pribumi). Sebaliknya siapapun yang berkulit non putih mereka seolah adalah pendatang, non pribumi, atau imigran.

Pembalikan sejarah ini menjadikan warga kulit putih, selain didukung oleh sistem, juga semakin berada di atas angin dan melakukan apa saja untuk menjadikan non putih seolah bukan warga Amerika yang punya hak kesetaraan dengan mereka. Pergolakan sosial antara kulit hitam dan warga kulit putih di tahun 60-an menjadi catatan sejarah kelam Amerika.

Terpilihnya Barack Obama sesungguhnya sebuah sejarah besar yang terjadi dalam perjalanan bangsa Amerika. Belum berselang lama sejak pergerakan warga kulit hitam di bawah pimpinan Martin Luther Jr. Amerika berhasil memilih seorang non putih menjadi presidennya. Tentu sebuah sejarah yang membanggakan bagi bangsa ini.

Akan tetapi di balik kebanggaan itu ternyata juga meninggalkan luka kalangan mayoritas kulit putih. Setelah sekian lama merdeka, Amerika ternyata belum sepenuhnya siap dipimpin oleh seorang non putih, yang dianggap bagian dari minoritas. Dan sekali lagi, asumsi masih saja kuat bahwa non putih itu masih lekat dengan atribut imigran.

Ketidaksenangan (displeasure) yang dirasakan oleh sebagian besar warga kulit putih itu terwakili oleh sikap Donald Trump dan petinggi Republikan yang melakukan upaya apa saja untuk menghalangi bahkan menjatuhkan Barack Obama. Donald Trump misalnya ketika itu mencari sekuat mungkin akte lahir Barack Obama, yang dicurigai lahir di luar negeri. Maklum ayahnya adala seorang warga Kenya dan hanya pernah sekolah di Harvard University bersama ibunya.

Sentimen kebencian sebagian besar kulit putih terhadap Presiden Obama itulah yang berhasil dimainkan oleh Donald Trump dalam kampanye. Modal rasisme menjadi salah satu modal utama memenangkan kepresidenan.

Mungkin dalam sejarah pemilihan presiden di Amerika baru kali ini ada seorang kandidat yang secara terbuka dan terang-terangan didukung oleh kelompok kristen teroris atau lazimnya dikenal sebagai KKK. Dan dukungan ini tidak juga diingkari oleh sang calon (Donald Trump).

Kini dengan terpilihnya Donald Trump, kelompok ekstrim putih yang dikenal dengan “White Supremacist” semakin menjadi-jadi. Jika di masa lalu mereka kerap kali melakukan teror kepada imigran dan kelompok minoritas lainnya sebagai prilaku sporadis di sana sini, kini mereka seolah mendapat justifikasi sistem. Artinya tindakan rasisme kulit putih dan kekerasan yang mereka lakukan itu seolah sudah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan Amerika saat ini.

Terakhir tentunya beberapa kebijakan dalam beberapa hari pemerintahan Donald Trump telah memperlihatkan fenomena anti non-White itu. Dari kebijakan melarang orang Islam dengan Executive Order I dan II, hingga kepada kebijakan imigrasi untuk mendeportasi warga yang tidak bersurat (undocumented). Bahkan hari-hari ini juga sedang dilalakukan upaya penghapusan dan penggantian asuransi kesehatan Obama yang dikenal dengan nama Obamacare.

Saya melihat semua ini tidak lepas dari karakter para pemain di pemerintahan Donald Trump yang memang bias dan rasis.

Amerika dan Imigran

Sejujurnya tidak ada seorang manusia yang mau meninggalkan tanah leluhurnya. Terkadang sesulit apapun itu kecintaan kepada tanah kelahiran menjadi bagian dari kehidupan orang.

Tapi kenapa banyak orang yang pernah atau akan datang ke Amerika? Apakah memang Amerika begitu menarik bagi banyak orang sehingga berjuang untuk bisa tinggal di negara ini?

Selama ini kita mendengarkan bahwa hal yang menarik sehingga begitu banyak orang yang ingin datang ke Amerika adalah karena Amerika memiliki apa yang disebut “impian Amerika” atau “American Dreams”. Bahwa mereka yang datang ke negara ini membawa seribu satu impian, dan seolah Amerika memiliki kemampuan untuk mewujudkan impian itu.

Saya barangkali termasuk yang salah memahami selama ini, seolah impian yang dimaksud adalah peluang ekonomi (economic opportunities), peluang pendidikan (educational opportunities), dan berbagai pertimbangan material lainnya semata.

Ternyata perkiraan saya itu keliru. Bahwa Amerika memiliki peluang ekonomi, pendidikan yang baik, jaminan kesehatan yang cukup mapan, dan lain-lain. Ternyata jika kita lihat latar belakang para imigran yang datang ke negara ini umumnya bukan sekedar tersedianya peluang-peluang tadi. Tapi ada yang lebih dari sekedar kepentingan material (material interests).

Terkecuali mereka, imigran kulit putih dari Eropa, khususnya yang datang bersama penemu bumi Amarika, Columbus, hampir semuanya datang ke Amerika karena faktor-faktor non material. Mereka melarikan diri ke Amerika karena dipaksa oleh kekerasan dan peperangan di negara asal, atau sebaliknya karena memang melihat bahwa Amerika itu memiliki nilai-nilai tinggi dalam kebebasan, keadilan, toleransi, dan merangkul imigran.

Nilai-nilai universal inilah yang kerap disebut sebagai “American values” yang saya lihat sebagai impian Amerika yang sesungguhnya (true American values).

Dengan kata lain para imigran dari dulu hingga saat inipun datang ke Amerika karena melihat peluang untuk ikut menikmati nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi Amerika itu. Mereka melarikan diri dari daerah-daerah konflik, atau dari negara-negara yang memang dikuasai oleh penguasa diktator. Sehingga kedatangan mereka ke Amerika mencari American Dreams itu dalam bentuk kebebasan, keadilan, kesetaraan, toleransi, dan peluang dalam menemukan kebahagiaan (pursuit of happiness).

Jika kedatangan itu ternyata menemukan sebaliknya, mereka didiskriminasi, diperlakukan tidak semena-mena, dan bahkan dipersulit dan diusir, maka tentu Amerika juga seolah telah kehilangan jati dirinya. Yaitu kehilangan nilai-nilai universal yang seharusnya menjadi kebanggan bangsa ini.

Perlakuan kepada para imigran dengan cara-cara paradox terhadap “American Values” itu hanya akan semakin menjadikan negara ini berwajah buruk di dunia internasional. Tentu dengan berbagai kebijakan luar negeri Amarika yang selama ini dinilai buruk, perang Irak salah satunya, akan semakin menjadikan Amerika tidak saja buruk. Tapi akan dibenci dan sekaligus boleh jadi menjadi dasar atau justifikasi bagi kelompok-kelompok radikal untuk merekrut pengikutnya.

Intinya, kebijakan pemerintahan Donald Trump tidak menguntungkan Amerika. Sebaliknya merusak bahkan membahayakan bagi Amerika dan dunia. Karena Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump dinilai terang-terangan melakukan peperangan kepada Islam, agama bagi 1.6 milyar manusia.

—————————————————–

New York, 8 November 2017

* Presiden Nusantara Foundation

 

 

Exit mobile version