Suara Muhammadiyah-Perlahan namun tegas, pria itu berujar, “Sampai saat ini sudah ada 57 siswa yang mendaftar untuk tahun depan.” Namanya Firman Handoko. Saat ini menjadi kepala sekolah SMK Muhammadiyah Petanahan, yang beralamat di Jalan Tumbakeris No 9. Latar belakangnya sama sekali bukan sebagai pendidik.
Panggilan kemanusiaan membawanya menjadi kepala sekolah di pesisir Kebumen itu. Terhitung sejak Februari 2017, dia memimpin sekolah yang hanya memiliki 13 siswa. “Kelas I ada satu siswa, kelas II ada enam siswa dan sisanya kelas tiga,” kata Firman saat berkunjung ke redaksi Suara Muhammadiyah, Kamis (9/3).
Sehari-hari, Firman sebagai owner toko bangunan dan onderdil di wilayah Petanahan. Beberapa kali ia mengamati para siswa magang dari berbagai SMK. Namun Firman menemukan keganjilan berulang kali. Para siswa itu sebagian besar sama sekali tidak terampil dalam bidangnya. “Sekedar bongkar ban saja tidak bisa,” kisahnya.
Dia mulai gelisah dengan pola pendidikan di SMK, seharusnya mereka merupakan tenaga terampil. Sama dengan kegelisahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy. Di banyak kesempatan, Mendikbud menegaskan untuk memprioritaskan pendidikan vokasi. Melalui direktorat pendidikan SMK, Kemendikbud mengubah banyak hal menyikapi fenomena itu. Targetnya, siswa SMK memiliki skill mumpuni dan siap direkrut perusahaan setelah menamatkan pendidikannya.
Tak mau hanya sekedar mengumpat, apalagi menyalahkan sekolah, Firman kemudian memilih untuk mengabdi di salah satu SMK milik Muhammadiyah. Kondisi sekolah ini lumayan memprihatinkan. Padahal sebelumnya, sekolah ini sempat berjaya. Sekolah ini juga sudah beberapa kali beralih haluan, sempat menjadi SMP dan SMA sebelum akhirnya menjadi SMK seperti sekarang ini.
“Awalnya ada 50 siswa, namun karena berbeda haluan ideologis, maka banyak siswa yang keluar,” kata Firman. Cerita ini seolah hanya menguatkan saja sejarah lama. Kawasan pesisir sering identik dengan masyarakat tradisional yang tidak ramah dengan Muhammadiyah. Mayoritasnya beranggapan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi yang kaku dan anti tradisi.
Firman tak ingin sekolah yang memiliki gedung mumpuni ini mati ditelan waktu. Dibantu 15 guru, semenjak hari pertama menjabat, ia melakukan banyak gebrakan. Ia rajin bertemu dan berdiskusi dengan banyak tokoh dan praktisi pendidikan untuk menjaring ide. Beragam gagasan itu kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi Firman. Bahkan seminggu yang lalu, Bupati Kebumen berkenan mengunjungi sekolah ini.
Setelah sebulan lebih menjabat, kini Firman semakin matang dengan konsep barunya memajukan sekolah. Dengan hanya berfokus pada satu jurusan saja, Teknik Kendaraan Ringan atau Teknik Otomotif, sekolah ini ingin menjadikan para lulusannya berkemampuan mumpuni. Tak hanya di bidang yang digelutinya, namun juga dari sisi spiritualitasnya. Atas dasar inilah, model boarding school atau sistem berasrama diterapkan. Uniknya, meskipun menerapkan sistem berasrama, para siswa sama sekali tidak dibebani biaya apapun. Sekolahlah yang mencari donator untuk membiayai mereka.
Selain itu para siswa juga dibekali kemampuan wirausaha. Mereka dilatih untuk memasarkan hasil kreasi yang dilakukan di asrama. Di antaranya membuat gelas mug, sablon kaos, dan ngelas teralis. Hal ini dianggap akan menjadikan para siswa memiliki mental tangguh dan siap hidup mandiri.
“Saya fokus ke anak yatim dan yang tidak memiliki biaya pendidikan,” kata Firman tentang komitmen sekolahnya untuk mendidik para anak-anak yang tidak memiliki akses pendidikan. Berbekal ketulusan dan komitmen untuk memajukan sekolah serta menghasilkan output yang berkualitas dan memiliki skill yang baik, dari pesisir, SMK Muhammadiyah Petanahan mengembangkan layar.
Di kesempatan yang sama, turut hadir praktisi pendidikan UMS sekaligus penulis buku Menabur Benih Sekolah Unggul di Muhammadiyah, Dr Mohamad Ali, MPd. Dirinya mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan oleh SMK Muhammadiyah Petanahan untuk bangkit menjadi sekolah berkemajuan. Menurutnya, SMK itu harus bisa memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini penting, karena jika SMK tidak mampu menjawab kebutuhan, maka para lulusan justru nantinya akan keluar daerah bahkan keluar negeri demi untuk menemukan wadah aktualisasinya.
Mohamad Ali menceritakan pengalaman praktisnya mengelola Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Surakarta, yang terdiri dari TK, SD, SMP dan SMA. Ia berangkat dari nol. Perlahan namun pasti ia menjawab semua keraguan masyarakat dengan bukti nyata. Hingga kini, sekolah yang memiliki beberapa program unggulan ini menjadi salah satu sekolah favorit di Solo. Di antara program unggulan itu seperti kegiatan home stay di rumah-rumah warga di pedalaman untuk mengasah kepekaan dan menambah ketrampilan hidup. Kegiatan itu diseimbangkan dengan program edu trip ke luar negeri untuk menjadikan siswa berwawasan global dan siap berkolaborasi dengan siapa saja.
Menurutnya, ada beberapa kunci kesuksesannya mengelola sekolah. Pertama, sekolah itu memiliki konsep yang jelas dan menawarkan perspektif baru. Kedua, dengan adanya perspektif baru, mulai melangkah untuk mendidik dengan total, meskipun memiliki jumlah murid yang minim pada awalnya. Ketiga, menghasilkan lulusan yang baik. “Membuat lulusan ditunggu oleh industri, oleh perusahaan,” katanya.
Ali membeberkan kunci lainnya yang ditawarkan oleh Buya Syafii Maarif. Yaitu memegang teguh idealism, bekerja keras, dan berjamaah. Dia juga memiliki filosofi bahwa mengelola lembaga pendidikan itu harus fokus seperti halnya orang menggali sumur. Harus menggali satu sumur terlebih dahulu hingga benar-benar menghasilkan air, baru kemudian menggali sumur-sumur yang lain. Sumur yang lain itu akan mudah digali dengan adanya satu sumur yang bisa digunakan untuk menyiapkan energi menggali sumur lainnya. (Ribas)