YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bidang Hukum HAM dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas menegaskan bahwa pemerintah dan DPR tidak perlu melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Permberantasan Korupsi (KPK). Tindakan revisi dianggap sebagai salah satu bentuk pelemahan terhadap lembaga independen tersebut.
Upaya untuk melakukan revisi UU KPK sudah pernah diajukan berulang kali, namun berkali-kali pula ditolak keras oleh publik dan LSM, termasuk Muhammadiyah. Baru-baru ini, Muhammadiyah telah melakukan kajian hukum Revisi Undang-Undang KPK dan Kerjasama Pembentukan Pusat Anti Korupsi pada Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
“Muhammadiyah menganggap perlu melakukan kajian hukum secara mendalam dan mengkritisi rencana perubahan UU KPK, agar dapat memberikan pandangan yang tepat kepada para pembuat kebijakan dan pemegang keputusan,” ujar Busyro Muqaddas, Selasa (7/3).
Menurutnya, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah melalui Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ditugaskan untuk melakukan kajian mendalam yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Kajian itu salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya potensi pelemahan KPK melalui revisi UU.
Langkah kajian oleh Muhammadiyah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral terhadap bangsa. “Kajian hukum lebih baik dan melengkapi gerakan demonstrasi jika kita harus berunjuk rasa juga pada waktunya,” ungkap Busyro.
Mantan Ketua KY dan KPK itu mengatakan, pemerintah dan lembaga negara harus punya integritas, jujur dan transparan. ”Korupsi ini mengakibatkan kerugian ekonomi negara, yang bahkan sulit kita hitung nominalnya karena saking besarnya,” kata Busyro.
Oleh karena itu, rencana revisi UU KPK harus dipikirkan ulang. “Kalau revisi hanya untuk memperlemah, itu sama saja menabuh gendering perang terhadap rakyat yang ingin korupsi hilang,” tuturnya.
Senada, Ketua Forum Dekan Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia Trisno Rahardjo, menyatakan bahwa PP Muhammadiyah cenderung bersikap untuk menolak rencana revisi UU KPK. Sikap itu diambil setelah melalui diskusi panjang dan kajian mendalam.
Dari tahun ke tahun, menurut Trisno, substansi draf revisi UU KPK tidak banyak berubah. Sebagian besar usulan revisi berupaya membatasi dan memangkas wewenang KPK. Sebagai contoh, usulan terkait kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kemudian, usulan pembentukan dewan pengawas KPK.
Padahal seharusnya, kata Trisno, KPK mendapatkan jaminan dan kewenangan yang seluas-luasnya dalam melakukan penyelidikan. “Konsepnya KPK adalah biarkan semua diuji oleh pengadilan. Konsekuensinya tidak boleh ada kesalahan dalam proses penegakan hukum. Penyidik berintegritas adalah kunci,” kata Trisno. (Ribas)