Oleh Mohammad Damami
Dalam dunia pendidikan sudah sangat dikenal istilah ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), psikomotor (tampilan tindakan), dan “to live together” (kesadaran hidup bersama. Istilah-istilah tersebut selalu membayangi siapa saja yang berbicara tentang dunia pendidikan, entah selaku penyelenggara pendidikan, guru/pendidik, pakar pendidikan, apalagi pemikir pendidikan.
Kalau kita berbicara tentang iman yang berbasis “tauhid”, juga tidak lepas dari keempat ranah di atas. Jika keempat-empatnya berhasil dicapai secara seimbang, maka bolehlah dikatakan sebagai sebuah keberhasilan “membumikan tauhid”. Dikatakan demikian karena tidak jarang dalam proses penghayatan tauhid tersebut proporsi keempat ranah tersebut terasa pincang. Misalnya pengetahuan tentang keimanan dalam Islam (yakni untuk ranah kognitifnya) tampak begitu luas lantaran begitu intensifnya membaca dan menelaah kitab-kitab tentang akidah Islamiyah atau karena begitu getolnya mengikuti ceramah-ceramah agama yang berisi uraian tentang akidah, entah lewat pengajian atau media televise, namun afeksi, psikomotor, dan “to live together” yang ditampakkannya masih jauh dari harapan dan kenyataan. Kenyataan seperti ini dapat ditelusuri bukti-bukti konkretnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau begitu, di mana letak kesalahannya? Di sinilah perlunya “membumikan tauhid”.
Menurut Al-Qur’an, ketika manusia menghadapi Dzat yang disebut “Tuhan”, ditakdirkan dalam perasaan manusia apa yang disebut rasa “takut”, khiifah (Al-A’raf [7]: 205). Namun di balik rasa takut tersebut justru menggebu-gebu rasa “harap”, “rindu”, thama’ ( As-Sajadah [33]: 16). Rasa klhiifah dan thama’ ini akan senantiasa ada,, bersemayam dalam jiwa yang paling dalam, dan senantiasa muncul ke permukaan. Karena itu wajar jika manusia senantiasa cenderung “mencari” Tuhan dan rindu kepada-Nya.
Rudolf Otto (1869-1937), seorang filosof dan teolog Jerman yang dikenal sebagai salah seorang pemikir keagamaan yang peliung berpengaruh di Barat pada permulaan abad ke 20 ini, mengatakan bahwa Dzat yang disebut “Tuhan” bagi manusia senantiasa berposisi sebagai Dzat yang ‘mysterium tremendum et faseinesum’ (bersifat misteri tak terpecahkan tetapi sekaligus membuat orang menjadi tergetar/takut dan terpesona/rindu). Barangkali pendapatnya ini mirip dengan konsep Islam, khiifah dan thama’ di atas. Bahwa konsep khiifah dan thama’ serta mysterium tremendum et faseinesum inilah yang senantiasa dipertahankan seluruh agama, tanpa terkecuali dalam agama Islam. Tuhan tidak pernah mampu dipahami manusia secara utuh (lengkap); mesti tetap “misteri” walaupun sedikit-sedikit ada bagian-bagian yang dikuakkan sendiri oleh Tuhan yang sebatas kemampuan daya kepahaman manusia. Dalam agama Islam misalnya dikuakkan sedikit tentang “nama Tuhan” (yaitu Allah SwT), sifat-sifat-Nya (antara laindalam asmaa’u-‘l-husnaa) dan perbuatan-perbuatan-Nya (misalnya dengan adanya bukti keterciptaan alam semesta ini). Sungguh pun begitu, Allah SwT tetap misteri juga.
Mengapa Tuhan selalu dibuat misteri? Jawabannya adalah agar manusia tetap takut dan sekaligus tetap rindu kepada-Nya. Takut tidak berani untuk tidak taat kepada-Nya, rindu karena senantiasa ingin karunia pahala dari-Nya. Sikap seperti ini penting bagi pengemban iman selaku manusia. Pertama, penting untukl menjaga kekokohan hubungan vertical antara manusia dengan Tuhan, Allah SwT. Di sinilah lalu timbul istilah “tauhid uluhiyah”, tauhid rububiyah”, dan tauhid “ruhumiyah”. Tauhid uluhiyah menyangkut peng-Esa-an terhadap a-b-c Dzat-Nya yang dalam Al-Qur’an ditegaskan tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4). Inilah puncaknya tauhid. Sedangkan tauhid rububiyah menyangkut peng-Esa-an terhadap segala kuasa perbuatan-Nya atas ciptaan dan alam semesta ini seluruhnya (Al-Fatihah [1]: 2).
Kemudian, tauhid ruhumiyah menyangkut sifatnya yang sifatnya melilndungi terhadap seluruh ciptaan dan makhluk-Nya. Sering-sering tauhid yang berkaitan dengan hubungan vertikal ini begitu dominannya dalam bagian terbesar umat Islam. Sebenarnya masih ada satu lagi implementasi tauhid itu, yaitu tauhid yang kedua. Tauhid kedua adalah “tauhid khalifah fi-‘l-ardl”, yaitu tauhid yang bersangkutan dengan amanah yang diberikan Allah SwT kepada manusia selaku “wakil Allah SwT di planet bumi”.
Apa saja yang dilakukan dan diperbuat manusia seharusnya atas dasar tauhid kedua ini. Dengan dasar ini, tidak akan terjadi ketamakan/kelobaan, kesewenang-wenangan, pemuasan egoism, ketidakadilan, ketidakseimbangan, penindasan dansebagainya. Dari tauhid model kedua inilah seharusnya dimunculkan misalnya “tauhid sosial” sebagaimana pernah dilontarkan oleh Prof DR Amien Rais, “tauhid ilmu” sebagaimana digagas oleh Prof DR Kuntowijoyo, “tauhid peradaban” sebagaimana digagas oleh Prof DR Nurcholis Madjid. “tauhid kemanusiaan” yang mulai dirintis oleh Prof DR Ahmad Syafii Maarif, dan “tauhid kealamsemestaan” (dari konsep “rahmatan li-‘l ‘alamin”) yang masih dalam proses formulasi.
Jika keseluruhan jenis tauhid di atas, baik tauhid model pertama maupun model kedua, dapat diwujudkan dalam arti yang sebenar-benarnya, sekonkret-konkretnya, maka apa yang disebut “membumikan tauhid” benar-benar mencapai bentuknya, bukan sekedar pada tingkat wacana atau cita-cita belaka. Barangkali usaha ke arah situ sudah tidak pada tempatnya ditunda-tunda lagi. Bukankah demikian?
Wallaahu a’lam bishshawaab.