Tajdid Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i (2)

Tajdid Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i (2)

Oleh Royan Utsany

Tajdid Ushul Fiqh

Wacana rekonstruksi Ushul Fiqh adalah tema yang menarik untuk dikaji. Selain usianya sudah 13 abad, terhitung sejak Imam Syafi’i menulis kitab ar-Risalah, Ushul Fiqh sebenarnya banyak telah mengalami perubahan mendasar, seperti metodologi penulisan maupun pembahasan materinya. Urgensi memperbarui ilmu ini memiliki implikasi terhadap konstelasi hukum Islam dan karena Ushul Fiqh adalah ilmu ciptaan manusia yang tidak sakral.

Kredo pembaruan Ushul Fiqh yang diyakini para intelektual Muslim termanifestasikan dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang artinya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap 100 tahun  untuk umat ini orang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya.” Para ulama setidaknya mengatakan bahwa mujaddid era pertama dalam Islam adalah Umar bin Khattab, kemudian datang seratus tahun kedua Imam Syafi’i yang diklaim para ulama menduduki posisi tersebut. Pada abad 20 datang mujaddid kenamaan dari Nejd bernama Muhamad bin Abdul Wahab yang terkenal dengan purifikasi dalam bidang tauhid. Perlu diketahui bahwa mujadid yang didatangkan Allah SWT pada seratus tahun sekali tidak hanya terwakili oleh personal saja, melainkan juga bisa berbentuk dalam sebuah lembaga atau organisasi.

Dr. Yusuf Qaradawi mengatakan bahwa ilmu yang muncul dari rahim umat ini sangat memungkinkan untuk direkonstruksi. Kalau ilmu seperti Fiqh, Tasawuf, dan Tafsir bisa diperbarui, kenapa ilmu Ushul Fiqh tidak?

Hal senada juga dikuatkan oleh Dr. Ali Jum’ah Muhamad dalam bukunya, Aliyât al-Ijtihâd, dia mengatakan bahwa alangkah ironisnya bagi orang yang menguasai Ushul Fiqh dan Fiqh secara bersamaan, akan tetapi dia hanya mengetahui teori dan sistem pengajaran dan tidak lebih dari itu. Dia juga mengatakan bahwa Ushul Fiqh harus menjadi problem solvernya umat ini dalam memecahkan persoalan kontemporer. Ulama yang pernah mengkritisi Ushul Fiqh supaya terjadi adanya tinjauan ulang adalah Imam Asnawi.

Geliat ide pembaruan memang marak dilakukan oleh para akademisi dalam bidang ini, salah satunya pembaru Mesir, Refa’at Tahtawi. Meskipun secara umum disematkan pada pembaruan yang bersifat untuk semua cabang ilmu,  namun bukunya yang berjudul al-Qaulu Sadid fi Tajdid wa Taqlid cukup mencengangkan banyak kalangan. Belum ditambah  tuntutan rekonstruksi di kalangan para dosen Universitas Kairo pada awal abad ke-20. Tema yang diusung dalam wacana rekonstruksi memang baru berkisar seputar penulisan ulang sistematika Ushul Fiqh, karena hal ini akan mempermudah siswa dalam pembelajaran Ushul Fiqh.

Lain halnya dengan apa yang dilontarkan Hasan Turabi. Menurutnya, Ushul Fiqh saat ini sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Menurut Hasan Turabi, Ushul Fiqh klasik merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang pada saat itu. Tokoh yang satu ini termasuk yang sangat gencar dalam menyuarakan tajdid Ushul Fiqh. Baginya, Ushul Fiqh harus lebih akomodatif terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer. Mandegnya ruh ijtihad Islam semakin mengernyitkan dahi para orientalis yang berujung pada kesimpulan asumtif bahwa ilmu ini tumbuh dan berkembang sebagai jawaban atas problematika umat terdahulu. Untuk mereonstruksi ilmu Ushul Fiqh demi tercapainya pembaruan Islam haruslah ada suplement ilmu-ilmu sosial Barat yang sejatinya akan merekonstruksi epistemologi Islam dalam Ushul Fiqh.

Wacana tersebut kemudian dibantah oleh Muhamad Said Ramadhan Buthi yang mengatakan Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu Islam tidaklah muncul sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang ada pada saat itu, seperti persoalan ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Ilmu Ushul Fiqh lahir secara aksiomatik, dan merupakan hasil pemahaman para ulama terhadap nash-nash. Munculah pertanyaan, kalau permasalahan kontemporer tersebut terus berkembang, apakah Ushul Fiqh juga harus menyesuaikan? Ilmu ini, menurut Muhamad Said Ramadhan Buth, sangat sulit untuk direkonstruksi, terutama jika ditinjau dari segi isinya karena landasanya sendiri adalah al-Qur’an dan Sunnah. Merekonstruksi ilmu ini sama saja dengan melakukan tahsilul hasil.

Di antara penyebab maraknya gagasan rekonstruksi Ushul Fiqh, menurut Syeikh Abdul Fadhil Abdu Salam, adalah bahwa ilmu ini terlihat tidak produktif jika dihadapkan dengan persoalan baru karena beberapa faktor: pertama, terputusnya rangkaian kitab mutaakhirin dengan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salaf, sehingga menyebabkan tersebarnya kitab-kitab mereka (mutaakhirin) dan harus memulai pembahasan dari awal. Kedua, menyebarnya taklid buta dan fanatisme dalam permasalahan Ushul Fiqh itu sendiri. Ketiga, tidak adanya perhatian yang nyata terhadap ilmu ini dikarenakan perkataan  ”tertutupnya pintu ijtihad ” dan hal itu menyebabkan kemandulan intelektual dan perasaan yang cepat puas para pengkaji ilmu Ushul Fiqh. Keempat, terbebasnya pembahasan Usul Fiqh dengan Fiqh, dan  masing-masing ushuliyyun berbeda pandangan terhadap para Fuqaha, sehingga tersebarlah pameo “tidak setiap ushuli itu faqih” dan “tidak setiap faqih itu ushuli”, seperti yang terjadi pada Mutakallimin. Kelima, ilmu Ushul Fiqh pada kenyataanya lebih menguasai hal-hal yang bersifat teoritis daripada tataran praktis seperti dalam Fiqh. Hal itu sesungguhnya mengakibatkan ilmu ini mandul dan tidak menghasilkan produk Fiqh, sehingga menjadi beban bagi para pelajar untuk mendalami ilmu ini. Keenam, terjadi banyak sekali pengulangan  materi  dalam Ushul Fiqh sehingga sering kita jumpai pembahasan yang sama dalam mengambil contoh. Ketujuh, kenyataanya ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu tersulit di antara ilmu-ilmu Islam lainnya, hal ini diakui sendiri oleh para pakar dan pengajar Ushul Fiqh. Kedelapan, Ushul Fiqh terlalu bertele-tele dalam membahas permasalahan kalamiyah, juga pembahasan seperti bahasa yang tidak ada keterkaitanya dengan ilmu ini, sehingga semakin menyulitkan orang yang belajar Ushul Fiqh. Kesembilan, lemahnya perhatian terhadap qaidah ushuliyah sehingga sering terjadinya kesalahan dalam menerapkan qaidah ushuliyah dengan qaidah fiqhiyah.

Beberapa contoh di atas adalah sekelumit permasalahan yang juga sering dikeluhkan oleh beberapa ulama kontemporer terhadap Ushul Fiqh klasik.  Namun, sebagian dari mereka ada yang pesimis bahwa Ushul Fiqh dapat direkonstruksi ulang, mengingat kajian Ushul Fiqh klasik justru lebih mendetail dan rinci dalam aspek matan.

Solusi Alternatif Tajdid

Ada beberapa tawaran alternatif untuk mengkaji ulang Ushul Fiqh, di antaranya apa yang ditulis oleh Abdussalam Balaji dan Dr. Ali Jum’ah Muhamad. Pertama, menyusun ulang sistem kepenulisan Ushul Fiqh dengan metode yang lebih simple dan mudah dipahami oleh khalayak umum mengingat ilmu ini salah satu ilmu terbesar yang pernah dilahirkan oleh umat Islam. Cara ini juga pernah dilakukan oleh Dr.Mustofa Syalbi kepada para mahasiswa di berbagai universitas Islam. Selain menyusun ulang sistem kepenulisannya, rekonstrusksi isi materipun perlu ditinjau ulang, seperti membuang perdebatan-perdebatan ahli kalam dan membuat definisi yang mudah dipahami. Unsur lain yang perlu ditambahkan adalah memasukkan ilmu-ilmu baru yang dianggap sangat penting, seperti maqashid syariah, qawaid, furu’ dan takhrij. Kedua, perlunya memasukkan ilmu lain dalam Ushul Fiqh semacam ilmu yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan atau lebih dikenal dengan sosiologi. Ketiga, pembukuan Ushul Fiqh sebaiknya disesuaikan dengan pembukuan kontemporer dan membuang pembahasan yang tidak ada sangkut-pautnya terhadap Ushul Fiqh. Keempat, mengembangkan tema yang ada dalam Ushul Fiqh, seperti ijtihad dan ijma’ dibentuk dalam lembaga yang bersifat formal, penggunaan metodologi Ushul Fiqh dalam ilmu-ilmu sosial, menjadikan maqshid syariah sebagai landasan dalam  berfatwa, dan mengembangkan kembali sumber-sumber hukum yang digunakan seperti( adawat,  manahij dan mashadir) dan membingkainya dalam format yang lebih baik.

Dr. Sya’ban Muhamad Ismail mempunyai beberapa gagasan mengenai rekonstruksi Ushul Fiqh yang secara subtansi hampir sama seperti apa yang diwacanakan Ali Jum’ah dan Abdussalam Balaji. Pertama, tajdid berarti pengembangan dan perluasan terhadap ilmu Ushul Fiqh, serta menyisipkan ilmu yang mendukungnya. Jika menelisik akar geneologinya, Ushul Fiqh sebenarnya telah sampai pada taraf itu. Di samping telah menulis kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i juga telah mengarang kitab Jima’ul Ilmi, Ikhtilaful Hadits, Ibtalul Istihsân, sebagai perpanjangan tangan dari kitab ar-Risalah.

Kedua, bentuk lain dari tajdid adalah purifikasi, mentarjih, dan menyeleksi pembahasan yang menjadi perdebatan di kalangan ulama. Hal ini penting mengingat jarang sekali ulama-ulama khalaf yang kritis terhadap karya para pendahulunya, sehingga  tidak meninggalkan bekas sedikitpun.  Sampai muncullah Imam Syaukani (1255) dalam karyanya, Irsyadul Fuhul fi Tahqiqi Ilmi Wusûul, yang mencoba mengkritisi beberapa kitab kemudian mengatakan, “Jangan sampai ada yang beranggapan bahwa seluruh kaidah ushuliyah itu semuanya qhat’i  yang tidak boleh tersentuh oleh ijtihad manusia. Dia juga menjelaskan mana saja masalah yang tidak boleh adanya khilaf dan yang memungkinkan khilaf.

Sejarah terbentuknya Ushul Fiqh merupakan khazanah intelektual terbesar umat Islam,  mengingat usaha ulama-ulama terdahulu dalam ber-istimbat tidak akan lepas dari pengalaman, penghayatan, dan jerih payah terhadap kitab-kitab klasik mereka. Sikap kita terhadap turas harus berada pada koridor yang benar dan adil. Kita mengapresiasikan karya-karya ulama masa lalu, namun tetap kritis terhadap apa yang mereka bangun, karena semua perkataan boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. Pengetahuan dan pembacaan sejarah yang baik tentu akan mengantarkan pada pemahaman yang baik pula. Mengutip perkataan Rajib Sarjani, “sejarah Islam adalah mutiara terpendam yang harus dikeluarkan oleh umat ini.

Exit mobile version