Oleh Abdul Munir Mulkhan
Perdebatan apakah sistem pemerintahan negeri sebagai sistem sekuler atau religius, berkaitan dengan tarik-menarik ideologi sejak dalam proses kemerdekaan pada tahun 1945. Sementara kegagalan Piagam Jakarta menjadi UUD-1945 menyisakan problem ideologis yang terus mewarnai pergulatan kebangsaan negeri ini. Problem teo-ideologis demikian itu menyita energi politik Islam sehingga partai politik dan gerakan masyarakat sipil Islam kurang menaruh perhatian pada kegiatan dan program pro-rakyat. Akibatnya, rakyat yang sebagian besar memeluk Islam itu hidup dalam penderitaan, bahkan tidak menikmati kesejahteraan yang semestinya bisa diraih sesudah negeri ini bebas dari kolonialisme. Negeri ini kemudian menjadi negeri para juragan yang kadang tidak segan “menjual” sumber daya alam yang melimpah, bahkan juga kaya sumber daya budaya.
Dalam pergulatan dan perdebatan ideologis tersebut, partai politik dan gerakan sipil Islam terus menempatkan gagasan Daarus Salaam atau Daarul Islam dalam berbagai pemahaman sebagai basis inspirasi ideologis. Sementara ide kebangsaan dan nasionalisme dengan sistem demokrasi sebagai turunannya diletakkan dalam orientasi gagasan Daarus salaam dan Daarul Islam tersebut. Bukan hanya partisipasi pada praktik demokrasi setengah hati, partai politik Islam itu pun gagal memainkan demokrasi bagi pencapaian cita-cita ideologisnya.
Dalam perkembangannya muncul penafsiran baru meletakkan demokrasi dan gagasan kebangsaan serta nasionalisme sebagai matra sistem dan manajemen jamaah dalam penerapan ajaran Islam. Ide baru terutama muncul dari kelompok yang sering disebut sebagai kaum substansialis. Gagasan ini segera membangkitkan reaksi dari kelompok yang lebih dikenal dengan sebutan kaum konservatif yang secara harfiah mencoba memahami teks ajaran dan menerpkannya hampir tanpa melihat konteks lokal. Bagi kaum konservatif, juga dikenal sebagai kaum skriptural, tidak ada ruang bagi gagasan demokrasi dan nasionalisme dalam kehidupan berdasar ajaran Islam. Nasionalisme adalah gagasan dari kekuatan anti Islam untuk memecah belah bangsa-bangsa Muslim sekaligus sebagai bagi dari upaya menghancurkan dan meruntuhkan sistem kekuasaan Islam. Sementara demokrasi dipandang sebagai cara jahat merampas hak kedaulatan Tuhan dalam membuat undang-undang bagi makhluk ciptaan-Nya.
Pandangan demikian bisa dibaca dari cara pandang kaum radikal yang belakangan ini banyak dihubungan dengan tindak kekerasan atas nama Tuhan. Pemerintahan sekuler bagi kaum radikal adalah taghut dan bekerja dalam sistem tahgut yang tidak ada tempat dalam Islam untuk eksis. Bagi kaum radikal sistem demokrasi jelas-jelas merupakan tindakan merampas hak kedaulatan Tuhan dalam menentukan undang-undang kehidupan manusia di dunia. Mereka inilah yang banyak terlibat dalam kegiatan yang sering dituduh sebagai tindakan teroris.
Selain problem ideologis tersebut di atas, partai politik dan gerakan masyarakat sipil Islam gagal mengembangkan sistem sosial, dakwah dan pendidikan yang mampu menumbuhkan pola hubungan sosial yang lebih santun dan humanis. Selama beberapa dekade terakhir ini kita menyaksikan berbagai tawuran antar pelajar dan kelompok-kelompok remaja yang mayoritas dari keluarga muslim santri. Bisa dipastikan pelajar dan kelompok remaja ini pernah menerima pendidikan agama Islam dan sering menghadiri majlis taklim dan majlis jumatan dan masjid-masjid. Bisa saja kita ngeles bahwa sikap brutal anak-anak remaja dan pelajar itu bukanlah sebagai indikator kegagalan pendidikan agama Islam, dakwah, pengajian, dan khutbah jumat. Namun berbagai peristiwa itu mestinya menjadi bahan kajian bagaimana mengembangkan pendidikan agama Islam, dakwah, pengajian, dan khutbah jumat yang berfungsi bagi pemecahan problem sosial dalam kehidupan komunitas pemeluk Islam yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini.
Di sisi lain, berbagai kerusuhan antar gang motor, antar kampung dan kelompok dengan member kaum remaja dan pelajar di hampir seluruh kawasan negeri ini menjadi salah satu penanda rendahnya tingkat kesadaran kebangsaan. Fakta sosial tersebut juga sekaligus menjadi indikasi kesenjangan antara doktrin kesantunan dan kerahmatan Islam bagi semua kehidupan dengan fakta kehidupan sosial-budaya pemeluknya sendiri. Dalam hubungan itulah gerakan sipil seperti Muhammadiyah cenderung terasing dari problem kebangsaan di sektor remaja dan generasi muda walaupun gerakan ini memiliki unit pelajar dan pemuda.
Kekacauan sosial tersebut seolah berlomba dengan fakta kesenjangan sosial-ekonomi yang dipertontonkan dengan kehadiran lembaga pendidikan dan kesehatan bertaraf internasional karena mahalnya dan gedung sekolah serta rumah reyot yang roboh diterpa angin ribut atau guyuran hujan. Kesatuan bangsa yang terpateri dalam nasionalisme bukan hanya terkoyak oleh fakta sosial-ekonomi tersebut, namun juga oleh fakta masih berkenbangnya sekelompok orang yang bermimpi merajut sebuah negeri darussalam melalui jalan kekerasan yyang dikenal dengan sebutan teroris. Dalam pergulatan demikian itu, kiranya patut kita bertanya dimana peran dan posisi Muhammadiyah sebagai gerakan masyarakat sipil tertua dan terbesar di negeri ini, juga di dunia?
Menjelang pesta demokrasi tahun 2014, orang mulai melihat bahwa tahun ini merupakan tahun politik saat dimana semua kekuatan masyarakat terarah merebut posisi politik kekuasaan dengan membujuk dan memprovokasi sebanyak mungkin anggota masyarakat untuk memilih dirinya atau partainya. Di saat yang sama negeri berbasis kekayaan alam melimpah ini masih juga dipenuhi deraan kenyataan kemiskinan yang masih diderita puluhan juta warganya. Di masa lalu Muhammadiyah begitu peduli pada operasi pengentasan kemiskinan dengan lembaga PKU-nya (Penolong Kesesengsaraan Umum). Kini, ketika banyak problem kemiskinan akibat salah urus negeri ini, justru semakin banyak amal-usaha gerakan ini yang dikenal publik sebagai lembaga yang mahal dan mewah. Gejala ini memang boleh disebut aneh ketika banyak aktivis yang semakin terlibat pada kerja kebangsaan, justru banyak amal-usaha gerakan yang seolah cenderung menegasi ide kesatuan bangsa seperti kurang peduli penderitaan rakyat miskin.
Muncul pertanyaan, bagaimana kini akitivis gerakan ini memahami kritik Tuhan terhadap mereka yang rajin ibadah namun tidak peduli penderitaan orang miskin dalam Surat Al-Ma’un sebagai bukti pendustaan agama, pelecehan ketuhanan? Mungkin penting dicermati dan disadari akitivis gerakan ini yang masih memandang jargon “hidupi Muhammadiyah jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah” sebagai sumber inspirasi. Mungkin jargon itu perlu diubah “hidupi orang miskin dengan menghidupi Muhammadiyah menjadikan bangsa sebagai wahana pencarian keridlaan Allah”.