Oleh Haedar Nashir
Kenapa orang sulit mengaku salah? Sebagian orang lantang mengajak kawan-kawannya beristighfar. Minta ampun kepada Allah. Tentu, karena telah melakukan dosa atau kesalahan. Termasuk dosa berkorupsi, yakni menyalahgunakan kekuasaan yang menyebabkan kerugian uang dan kekayaan negara. Sama dengan perbuatan salah lainnya seperti mencuri, risywah atau suap menyuap, dan memakan harta haram maupun subhat yang memang dilarang agama.
Namun aneh, ketika ditanyakan apakah kesalahan antum? Mereka tidak menjawab. Mereka dengan fasih menyatakan, taubat dan isighfar itu diajarkan dalam Islam, karenanya kita semua wajib melakukannya. Dengan kata lain, lisan mengajak istighfar dan taubat, tetapi hati tidak sepenuhnya jujur mau mengakui dosa dan salah. Malah cenderung berkelit, menyamarkan atau mengaburkan konteks minta ampun itu untuk dan atas nama kesalahan apa.
Paling sulit dipahami ketika diri salah, malah menyalahkan orang lain. Sebenarnya orang banyak tahu betul bahwa kita salah dan tidak bersih dengan melakukan sejumlah tindakan menyimpang yang nyata-nyata diketahui khalayak. Alih-alih jujur mengaku salah, malah menuding pihak lain tengah bersekongkol menjatuhkan dirinya. Seolah kesalahan dirinya hasil buatan orang luar, bukan murni perbuatan sendiri. Diri salah, tetapi telunjuk lurus menuduh orang luar. Intinya, merasa tidak salah.
Sungguh manusia itu memang sulit mengaku salah. Tidak mudah jujur pada diri sendiri, bahwa diri benar-benar salah. Kalaupun mengajak taubat da istighfar, sering hanya di bibir luar, tidak sampai ke jantung hati. Mungkin dengan mengaku salah, diri yang selama ini mengaku suci atau bersih, takut jatuh di hadapan publik. Takut runtuh citra baiknya di hadapan khalayak. Takut kehilangan dukungan umat atau rakyat. Lalu, lebih baik menyamarkan kesalahan.
Padahal istighfar dan taubat itu harus datang dari lubuk hati yang paling dalam. Istighfar menurut Hasbi Ash-Shiddieqy ialah memohon ampun atas dosa yang diperbuat dengan setulus hati kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan taubat ialah menyesal atas suatu kesalahan atau dosa yang telah terjadi dan bertekad tidak akan mengerjakannya lagi. Jika benar-benar istighfar dan taubat itu dilakukan, maka Allah akan memberikan ampunan sebagaimana firman-Nya: “Dan bahwasanya Aku sungguh memberi ampunan kepada orang yang bertaubat, mengerjakan amal shaleh, dan kemudian ia memperoleh petunjuk” (QS Thaha: 82).
Lalu, untuk apa menyalah-nyalahkan orang lain ketika berbuat dosa dan salah? Kalau merasa bukan Malaikat, maka belajarlah rendah hati menjadi manusia yang sejati, dengan berani jujur pada kesalahan diri. Ketika orang mengingatkan akan kesalahan diri, dari mana pun asalnya, tidak perlu merasa malu dan jatuh diri. Dengan kesatria bahkan orang akan menghargainya. Taubat yang jujur justru membawa kemenangan diri, sebagaimana firman Allah, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang beriman, mudah-mudahan kamu mendapatkan kemenangan” (QS An-Nur: 31).
Sipapun tak ada salahnya jika mau mengaku salah. Berintrospeksi diri. Bermushabah dengan setulus hati, bukan retorika. Tidak perlu merasa tidak dihargai ketika sering berbuat baik lalu berbuat salah kemudian orang menolok-olok. Mungkin bukan semata-mata karena kesalahan yang diperbuat. Tetapi karena sikap angkuh diri tatkala kita berbuat salah maupun ketika berbuat kebaikan. Watak atau sifat congkak diri itulah yang menjadi bahan ejekan khalayak.
Berbuat baik itu memang suatu kebaikan, tetapi jangan merasa paling baik dibandingkan orang lain. Melakukan hal-hal yang suci merupakan kemuliaan, namun jangan merasa diri paling suci atau semuci, seolah paling dekat dengan Tuhan dan ajaran-Nya. Pada titik inilah orang sering mencibir, bukan karena anti atas perbuatan baik dan suci, tetapi karena pelakunya yang angkuh ketika berbuat baik. Apalagi sikap jumawa atau angkuh diri itu menyeruak tatkala berbuat salah.