PEKALONGAN, Suara Muhammadiyah- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak SE ME, menyentil diskursus soal toleransi yang ramai diperbincangkan di kancah nasional, saat kegiatan dialog kebangsaan dengan warga Muhammadiyah Kabupaten/Kota Pekalongan dan Batang, Sabtu (11/3) malam, di Masjid Darul Iman, Pekalongan.
Dahnil mengaku prihatin prihatin karena perkara toleransi lebih sering dipertontonkan sebagai komoditas isu ketimbang diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa. Diskusi bertajuk ‘Peran Strategis Pemuda dalam Menghadapi Persoalan Bangsa’ itu sukses menyedot perhatian warga persyarikatan tiga daerah itu, terutama kalangan mudanya.
“Ada fenomena di mana toleransi cenderung menjadi jualan di media. Toleransi menjadi komoditas isu,” ungkapnya.
Semestinya, lanjut Dahnil, toleransi adalah untuk dikerjakan, bukan sekadar dipidatokan apalagi diisukan. Dia mengaku prihatin melihat kecenderungan perdebatan dan stigmatisasi soal toleransi dan anti toleransi. Sebagai bagian dari keindonesiaan yang majemuk, umat Islam menurutnya sudah membuktikan kualitas toleransinya dalam merawat perbedaan.
“Toleransi itu sudah menjadi DNA kita, jadi tidak perlu diperdebatkan. Toleransi jangan hanya menjadi jargon, tetapi harus diaktualisasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa,” ucapnya.
Isu toleransi belakangan meningkat intensitasnya di media, terutama paska dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Menurut Dahnil, tidak ada alasan untuk menuding warga Muslim yang tidak memilih Ahok sebagai anti toleransi. Dia juga menilai statemen Ahok yang menganggap masyarakat yang memilih atas dasar agama sebagai tidak konstitusional adalah menyesatkan.
“Saya justru mengapresiasi warga Kristiani DKI yang sesuai hasil survey 95% memilih Pak Ahok. Juga warga etnis Tionghoa yang 90% solid memilih Ahok. Itu hak yang dijamin oleh konstitusi,” tandas Dahnil.
Karena itu, Dahnil juga mengaku tak khawatir ketika Pemuda Muhammadiyah dan Muhammadiyah dicap teroris karena mendampingi kasus Siyono. Justru, Muhammadiyah berhasil membuktikan bahwa Siyono memang tidak tewas karena melakukan perlawanan terhadap petugas melalui hasil visum para dokter professional.
“Langkah kami mengungkap kasus kematian Siyono serta uang Rp 100 juta yang diberikan ke istrinya, Suratmi justru dicatat sejarah. Karena di dunia, tidak ada organisasipun yang berani melakukan protes terkait penanganan terduga teroris, karena takut dilabeli teroris. Kita tidak takut karena yang kita perjuangkan adalah integritas, kejujuran Suratmi yang berani menuntut itu patut dihargai,” bebernya.
Masih terkait toleransi, Dahnil juga mengingatkan para kader pemuda Muhammadiyah untuk tidak menjadi hakim terhadap pemikiran kelompok lain. Ketika tidak bersepakat, lebih baik berdiskusi dan berdebat.
“Dalam pemikiran keagamaan, Muhammadiyah bisa dipastikan tidak bersepakat dengan HTI, tetapi kita tidak berhak membubarkan. Saya sampaikan ke Pemuda Muhammadiyah, ke Kokam, kalau tidak sepaham justru datangi dan berdiskusilah, berdebatlah. Karena kita tidak boleh menghakimi pemikiran. Termasuk soal pemikiran komunisme dan lainnya, kalau tak setuju ya datangi dan berdiskusi. Inilah cara yang yang berkemajuan,” jelasnya (Saman Saefudin).