Tentang IMM dan Kadernya (Sebuah Refleksi Milad)

Tentang IMM dan Kadernya (Sebuah Refleksi Milad)

Oleh: Muhammad Ridha Basri

Senja itu, delapan mahasiswa duduk melingkar di sebuah warung kopi lesehan, pinggiran kota Jogja. Forum ini namanya rapat rutin komisariat. Biasanya seminggu sekali. Dalam struktur IMM, ada tingkatan pimpinan komisariat (PK), pimpinan cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Dewan Pimpinan Pusat (DPP), serta belakangan dikenal Pimpinan Cabang Istimewa (PCI). Pengklasifikasian semacam itu ‘menyalahi’ rumus di Muhammadiyah pada umumnya, yang runtut dan konsisten mulai pimpinan ranting, cabang, daerah, wilayah dan pusat.

Tentang ‘ketidakkonsistenan’ ini alasannya berpulang kepada para pendahulu. Namun, dalam pandangan semiotika, berbagai ‘penyelewengan’ yang ada di IMM bisa memiliki beragam makna dan interpretasi. Sifat ‘penyelewengan’ IMM misalnya juga melekat dalam pemilihan jas resmi organisasi. Berwarna merah. Padahal warna merah diposisikan layaknya hantu ketika itu. Hantu PKI yang dinyatakan bergentayangan melakukan pembantaian di mana-mana. Kesaksian tentang situasi sulit ini bisa ditelaah di buku Ajib Purnawan, Bersaksi di Tengah Badai.

Keanehan lain adalah tentang alasan kelahiran IMM itu sendiri. Bukahkah organisasi otonom di Muhammadiyah sudah diwakili oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Pemuda Muhammadiyah (PM) dan Nasyiatul Aisyiyah (NA). Ditambah lagi dengan Hizbul Wathan (HW) dan Tapak Suci (TS)? “Bukankah ketika itu sudah ada HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang menjadi wadah kader-kader Muhammadiyah?” tanya salah seorang teman suatu ketika. Pertanyaan ini dijawab oleh Farid Fathoni dengan bukunya Kelahiran yang Dipersoalkan. Jawaban intermezzonya, IMM memang dilahirkan untuk menebar benih-benih ‘pemberontakan yang cerdas’. Ketika itu, pada 29 Syawal 1384 H yang bertepatan dengan 14 Maret 1964 M di Yogyakarta atas inisiasi Djazman Alkindi, Rosyad Soleh, Sudibyo Markus, dan lainnya.

Tak terasa, dengan segala keunikannya, kini IMM sudah berusia 53 tahun. Sebuah usia dewasa dan bahkan tergolong tua. Dengan beragam dinamika yang dilaluinya, IMM mungkin belum mencapai puncak kejayaan sebagaimana diharapkan. Masih ada banyak catatan yang mesti dibenahi. Masih butuh banyak energi untuk membumikan visi dan nilai-nilai luhur organisasi ke dalam praksis nyata anggota dan sekitarnya.

Di banyak tempat dan waktu, IMM terjebak pada rutinitas dan urusan internal, baik internal IMM maupun Muhammadiyah. Minimal rutinitas rapat, perkaderan, dan seremonial (seperti perayaan milad). Repetisi-repetisi ini menjauhkan para kader IMM dari dunia yang harusnya digeluti. Mematikan daya kreatifitas dan kepeloporan di satu sisi. Melalaikan mereka dari pengamalan trikompetisi dan trilogi IMM atau lahannya berkiprah. Intelektualitas, humanitas, dan religiusitas yang seharusnya dijunjung oleh setiap kader, justru kadang berjalan pincang. Ketiga hal ini seharusnya menjadi pembeda kader IMM yang tidak hanya bergerak di ranah kemahasiswaan, namun juga dalam wilayah keagamaan dan kemasyarakatan.

Meskipun tidak bisa dinafikan, di daerah tertentu, IMM memiliki kontribusi besar dalam ranah kemasyarakatan. Melakukan pemberdayaan dan advokasi terhadap kaum mustadl’afin. Sebagai contoh, IMM berdiri di depan dalam konflik tambang di Banyuwangi, pemberdayaan di daerah hitam Surabaya, pembelaan terhadap petani Kendeng Rembang dan lainnya. Bahkan dalam ranah internasional, DPP IMM baru saja mengadakan acara diskusi dan bedah film sebagai bentuk pembelaan terhadap pembantaian di Khojaly, Azerbaijan, yang diikuti dengan langkah mendesak pemerintah untuk mengambil sikap tegas.

Namun dalam ranah intelektual, kondisinya masih menjadi kegelisahan bersama. Ahmad Nadjib Burhani dalam tulisannya Kritik Nalar Muhammadiyah: Pertanyaan dan Tantangan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah, megajukan tiga pertanyaan kritis tentang kondisi ini. Salah satunya; piranti intelektual apa yang bisa dipakai oleh Muhammadiyah (IMM) untuk mereformasi dirinya? Atau, metode berpikir seperti apa yang bisa diadopsi oleh gerakan ini untuk kembali menjadi motor pembaruan? Menurutnya, gagasan pembaharuan seperti Amien Rais dengan tauhid sosial, Moeslim Abdurrahman dengan teologi transformatif, dan para intelektual Muhammadiyah lainnya tidak cukup aplikatif pada zaman sekarang.

Dua hari menjelang milad IMM ke-53, sekretaris bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan (RPK) DPD IMM Daerah Istimewa Yogyakarta juga menulis kegelisahannya di akun media sosial; “Unggul dalam intelektual, anggun dalam moral dan radikal dalam gerakan’ adalah slogan milik IMM yang harus diketahui oleh kadernya.” Slogan itu bisa ditelusuri di buku M. Abdul Halim Sani, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik.

Catatan yang lumayan panjang di milad ke-53 ini memang terkait dengan peranan IMM sebagai gerakan intelektual dan moral. Meskipun tak bisa dikatakan terkisis habis, namun tanpa sadar hal ini kian memudar. Para kader yang menghadiri forum diskusi, menguasai basis teori, serta yang berkecimpung di dunia literasi semakin berkurang. Mereka lebih senang menjinjing gadget daripada menenteng buku. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjelma tradisi. Dikalahkan oleh arus dunia instan-modern yang menjunjung pragmatisme dan hedonisme.

Lebih memprihatinkan lagi, di tengah menjamurnya berbagai komunitas dan organisasi yang lahir belakangan, IMM menjadi terasing dan termarjinalkan. Terutama di perguruan tinggi non Muhammadiyah. Daya pikat IMM sedemikian minim. Komunitas dan organisasi baru itu padahal tidak membawa tawaran konsep atau landasan yang lebih matang dibanding IMM. Namun, mereka lebih digandrungi karena mampu mengemas dengan efektif, kreatif, aplikatif, menyenangkan dan kekinian. Jauh dari kesan rutinitas organisasi yang membosankan.

Padahal, IMM merupakan wadah untuk mencetak intelektual muda progresif Muhammadiyah. IMM dituntut untuk semakin kontributif dalam mengepakkan sayap merahnya. Kehadiran IMM seharusnya bisa merespon konteks kegelisahan mahasiswa kekinian untuk menemukan jati diri dan menghadapi kompetisi era global. IMM tidak bisa lagi menutup diri dari realitas yang semakin cepat berubah. Kemajuan IMM menuntut upaya rejuvenasi internal dan kolaborasi dengan eksternal.

Para begawan Muhammadiyah telah lama mengingatkan. Mukti Ali misalnya menyatakan bahwa kualitas Muhammadiyah di masa depan ditentukan oleh kualitas kader hari ini. Demikian halnya dengan Kuntowijoyo dalam buku Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika mengemukakan bahwa secara umum hanya ada dua jenis tipologi gerakan mahasiswa, yaitu: antara yang berorientasi keilmuan dan politis. Kedua identitas ini bisa dibedakan dengan mengibaratkan antara pohon jati dan pohon pisang.

Menanam pohon jati akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan bahkan mengorbankan usia satu generasi untuk kemudian bisa menikmati buahnya. Berbeda dengan menanam pohon pisang, hanya perlu mencari musim yang tepat dan kemudian membiarkannya tumbuh tanpa perawatan. Dalam waktu singkat, pohon pisang telah menghasilkan buah yang diinginkan. Dilihat dari hasil buah dan usianya, antara pohon pisang dan pohon jati memiliki kekhasan yang jauh berbeda. Pohon jati akan sanggup bertahan dalam waktu yang sangat lama. Sementara pohon pisang, batangnya akan segera dipotong atau bahkan mati dengan sendirinya setelah buahnya selesai dituai.

Pohon jati merupakan pengejawantahan terhadap gerakan kemahasiswaan yang beorientasi keilmuan. Bahwa sebuah gerakan keilmuan akan mengalami proses tumbuh kembang selama beberapa dasawarsa bahkan melewati hitungan abad untuk kemudian bisa menghasilkan sesuatu bagi peradaban. Sementara gerakan yang berorientasi politis, ia hanya perlu mencari momentum yang tepat untuk menyemai bibit, sambil menunggang pihak yang berkepentingan. Cepat berkembang dan berbuah, sesuai kepentingan sesaat dan musiman. Manfaat yang dihasilkan tak memberi efek luar biasa. Setelah ia berhasil untuk mencapai hasrat keinginan politis dan berlalunya moment tertentu, gerakan ini pun akan cepat bubar dan hilang dalam peredaran, layaknya nasib pohon pisang.

IMM lahir dengan membawa misi sebagai gerakan keilmuan. AD/ART menyatakan tujuan IMM adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Salah satu bagian lirik mars IMM menguatkan bahwa kader IMM merupakan ‘cendekiawan berpribadi, penyambung hidup generasi’. IMM memang dipersiapkan untuk menjadi pelopor dan pelanjut tajdid Muhammadiyah. Pada setiap kader IMM dibebankan tugas kemanusiaan, kebangsaan, persyarikatan, dan ikatan itu sendiri.


Penulis adalah kader Muda Muhammadiyah

Exit mobile version