Suara Muhammadiyah-Tabir atau kain panjang yang jadi pemisah antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah pertemuan pernah menjadi perdebatan di kalangan Muhammadiyah pada sekitar tahun 1930-an. Tidak hanya di kalangan Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah di Yogyakarta, tetapi pendapat semacam itu telah menyebar ke daerah-daerah, termasuk di Bengkulen (sekarang Bengkulu). Di lingkungan HB Muhammadiyah ternyata terdapat kelompok yang berhaluan ortodoks yang serba literalis, tetapi tidak sedikit orang-orang yang berpandangan maju. Kiai Syuja’ termasuk orang yang memandang penggunaan tabir tidak perlu. Menurut pengakuan Syuja’, KH Ahmad Dahlan juga tidak sependapat dengan penggunaan tabir karena menjadi simbol diskriminasi bagi kaum perempuan. Pro kontra penggunaan tabir ini kemudian diangkat dalam surat kabar Adil edisi 21 Januari 1939.
Selang beberapa bulan kemudian, seorang koresponden Antara merasa perlu melakukan dialog langsung dengan Bung Karno yang pada waktu itu masih menjadi aktivis Muhammadiyah di Bengkulu. Pemikiran keislaman Bung Karno mulai menggema di kalangan umat Islam setelah penerbitan “Surat-surat Islam dari Endeh.” Di situlah Bung Karno berpendapat bahwa tabir adalah simbol budaya yang dapat diubah. Sebab simbol budaya ini, menurut Bung Karno, adalah lambang perbudakan bagi kaum perempuan.
Dalam surat kabar Panji Islam tahun 1939, koresponden Antara berdialog langsung dengan Bung Karno untuk menanggapi aritkel yang dimuat surat kabar Adil edisi 21 Januari 1939 tentang tabir. Koresponden Antara bertanya, “Bagaimanakah kehendak tuan menempatkan orang lelaki dan perempuan di tempat rapat?”
Pertanyaan ini jelas diajukan untuk menyindir tradisi dalam Muhammadiyah ini, khususnya yang terjadi di Bengkulu. Pengurus Muhammadiyah menyelenggarakan rapat umum atau menunaikan ibadah shalat Idul Fitri di lapangan menggunakan kain tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan. Mendengar pertanyaan tersebut, Bung Karno menjawab tegas.
“Dijarakkan saja antara lelaki dan perempuan zonder tabir, atau satu pihak ditempatkan di muka dan satu pihak lagi di bagian belakang, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi,” jawab Bung Karno.
Rupanya, koresponden Antara itu belum puas dengan jawaban Bung Karno. Sebab, di Muhammadiyah sendiri tradisi menggunakan tabir masih kuat. Antara laki-laki dan perempuan dalam satu pertemuan harus dipisahkan, tidak hanya tempatnya yang dipisah, tetapi harus ada tabir penutup yang membatasi keduanya. Apalagi, sang koresponden tahu persis bahwa sosok Bung Karno adalah aktivis Muhammadiyah di Bengkulu. Tidak cukup dengan pendapat verbal, dia pun berusaha memancing pendapat dan langkah nyata Bung Karno terkait hukum tabir tersebut. Secara teori, Bung Karno tidak sependapat dengan penggunaan tabir. Tetapi dalam prakteknya, Muhammadiyah masih menggunakan tabir dalam setiap rapat atau shalat Idul Fitri di lapangan.
“Hal itu saya tahu!” tegas Bung Karno. “Tapi saya masuk di kalangan Muhammadiyah itu bukanlah berarti saya menyetujui semua hal yang ada di dalamnya. Juga di dalam dunia Muhammadiyah ada terdapat elemen-elemen yang di dalam pandangan saya adalah masih kolot sekali. Saya masuk ke Muhammadiyah karena saya ingin mengabdi kepada Islam. Pada azasnya Muhammadiyah adalah mengabdi kepada Islam. Tetapi tidak semua sepak terjangnya saya sepakati.”
“Kenapa tuan tidak nasihatkan lebih dahulu kepada pengurus Muhammadiyah supaya jangan diadakan tabir dan cukup dijarakkan saja antara laki-laki dan perempuan?” koresponden Antara itu terus mencecar Bung Karno dengan pertanyaan tajam.
Lalu Bung Karno menjawab dengan tenang, “Sudah saya nasihatkan kepada beberapa anggota pengurus dan mereka mufakat semuanya. Sudah pula saya berkata: Kalau diadakan tabir, saya tidak datang di rapat itu. Mereka sanggup meniadakan tabir. Tiba-tiba saya datang di ruangan rapat, ternyata tabir dipasang. Bukan oleh mereka yang sefaham dengan saya itu, tetapi oleh anggota pengurus yang lain.”
Bung Karno lalu mengisahkan bahwa pada suatu hari Kiai Syuja’, murid ideologis KH Ahmad Dahlan, berkunjung ke rumahnya. Dalam kunjungan tersebut, Syuja’ menyampaikan pendapat bahwa penggunaan tabir tidak perlu di Muhammadiyah. Syuja’ bahkan menyampaikan pandangan KH Ahmad Dahlan kepada Bung Karno bahwa pendiri Muhammadiyah itu juga tidak sependapat dengan penggunaan tabir, baik dalam rapat umum maupun pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan.
Demikianlah kisah Bung Karno ketika meledeni wawancara koresponden Antara pada tahun 1939 tentang kasus penggunaan tabir yang sempat menjadi perdebatan di kalangan Muhammadiyah. Kisah ini ditulis kembali oleh Bung Karno dalam artikel “Tabir adalah Lambang Perbudakan” yang dimuat di Panji Islam tahun 1939 (Lihat Di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama, 350-351). (Abu Aksa)