Suara Muhammadiyah-Sosoknya hangat dan bersahabat. Begitu kenang Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir tentang sosok ulama dan pemimpin di Indonesia KH Hasyim Muzadi. Mantan Ketua Umum PBNU periode 1999-2010 tersebut tutup usia pagi ini (16/3) di kediamannya di Kompleks Pesantren Al-Hikam Malang, Jawa Timur, dalam usia 72 tahun. Kesan mendalam dan rasa kehilangan berdatangan dari berbagai pihak termasuk Muhammadiyah.
Lahir di Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944, KH Hasyim lahir dari pasangan H Muzadi dan Hj Rumyati. Pada tahun 1950 KH Hasyim menamatkan pendidikan pertamanya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban lalu melanjutkan pendidikannya ke SMPN I Tuban-Jawa Timur. Seusai menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama, KH Hasyim memutuskan untuk menjadi santri di KMI Pondok Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur hingga tahun 1962. Almamater yang juga menetaskan tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Geliatnya di Nahdlatul Ulama tidak lagi diragukan. Sederet kiprah organisasinya sejak dini mengantarkan ia menjadi Ketua PWNU Jawa Timur di tahun 1992 hingga terpilihnya sebagai Ketua PBNU selama dua periode di tahun 1999. Namun, hal tersebut tidak menghalanginya untuk menjadi sosok yang memiliki pergaulan yang luas dan juga lintas golongan. Karakternya yang luwes tersebut dinilai mampu memperkuat rekatan ukhuwah antar umat Islam. Termasuk jalinan antara dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Tak salah, kepemimpinannya selama dua periode di tampuk kepemimpinan tertinggi NU secara tidak langsung bersinggungan dengan dua sosok pemimpin Muhammadiyah yaitu Buya Syafii Maarif Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005 dan juga Din Syamsuddin yang meneruskan kepemimpinan, periode 2005-2015.
Bersama Buya Syafii Maarif, KH Hasyim merintis ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam dan juga dengan umat beragama lain. Menyikapi berbagai problematika kebangsaan dan keumatan, KH Hasyim kerap menyerukan kepada Muhammadiyah dan NU untuk bergerak bersama-sama. Ia berkeyakinan bahwa perbedaan bukanlah penghambat untuk menjalin ukhuwah dan membangun bangsa.
Din Syamsuddin sendiri mengenang bahwa semasa kepemimpinannya, KH Hasyim tak hanya sekali menginisiasi pertemuan antara tokoh NU dan Muhammadiyah untuk bersama-sama menguraikan permasalahan umat dan juga bangsa. Din pun mengakui bahwa sosok KH Hasyim menaruh harapan yang kuat akan persatuan yang dijalin oleh Muhammadiyah dan NU.
Setahun yang lalu, KH Hasyim sempat bertandang ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai pembicara dalam Dialog Kebangsaan Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan. Dalam forum yang juga mendatangkan Buya Syafii Maarif, dirinya sempat memberikan berbagai harapan yang serupa terhadap Muhammadiyah dan NU dalam konteks gerak kebangsaan. Muhammadiyah dan NU harus mampu berkolaborasi bersama untuk mewujudkan Islam dan Indonesia yang berkemajuan.
Karakternya yang mampu menjadi penjembatan dan perekat ukhuwah tersebutlah yang juga meninggalkan kesan bagi Muhammadiyah di Jawa Timur. Pendiri Pondok Pesantren Al-Hikam Malang ini sempat turun dan meredam ketegangan yang terjadi antara Muhammadiyah dan NU setempat di penguhujung kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Sosok ini mampu meneduhkan suasana dan menenangkan massa yang kadung emosi.
Di waktu berbeda, pasca serangan WTC 11/9 di Amerika Serikat yang sempat menimbulkan ketegangan antara Islam dan Kristen, KH Hasyim Muzadi tampil ke permukaan meluruskan paham. Ia kerap tampil di berbagai forum dan media guna memberikan pemahaman tentang Islam yang damai dan sama sekali tidak identik dengan terorisme.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengenal pribadi KH Hasyim Muzadi sebagai sosok ulama yang santun, bersahaja. Sebagai pemimpin Muslim dan tokoh bangsa KH Hasyim pun adalah sosok yang alim, santun, teguh pendirian dan moderat.
Dirinya digambarkan sebagai tokoh yang moderat dan penuh prinsip ketika berhadapan dengan permasalahan kebangsaan dan keislaman. Paham keagamaannya menjadi pelita dan menebar rahmat untuk seluruh makhluk dan alam semesta.
Di mata Abdul Mu’ti, KH Hasyim Muzadi merupakan tokoh yang mampu membangun persahabatan dengan semua golongan. Mu’ti mengaku dirinya kerap berada dalam satu forum dengan KH Hasyim. Dari setiap pertemuan itu, Mu’ti mengambil banyak pelajaran dan hikmah dari anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.
————————————————————-
Penulis: Sethari Rumatika dan Muhammad Ridha Basri