Mencatat Sejarah Ranting Muhammadiyah

Mencatat Sejarah Ranting Muhammadiyah

Oleh: David Efendi *

“Saya sering berpikir bahwa aneh sekali jika sejarah begitu membosankan karena sebagian besar sejarah pastilah merupakan invensi (penemuan berharga).” (Catherine Morland)

Ada gerakan serius di tubuh Muhammadiyah gerakan Muhammadiyah menulis pasca  sekian lama berkampanye membaca dan membangun infrastruktur gerakan literasi berupa Taman Pustaka (Rumah Baca atau taman bacaan Masysrakat). Saya sendiri terlibat di dalamnya yaitu menjadi bagian dari Majelis Pustaka PP Muhammadiyah. Kesempatan yang baik ini sangat membahagiakan terutama ketika ada kesempatan mendampingi anak-anak muda menuliskan sejarah kampungnya, sejarah gerakan islam di desanya. Mitos bahwa sejarah harus ditulis oleh orang tua, atau mitos sejarah dimonopoli oleh penguasa harus diakhiri. Kitalah: para penulis muda, sejatinya, sejarawan bagi desa kita sendiri.

Dalam tulisan ini saya mencatat pengalaman mendampingi para penulis muda di desa yang berkeinginan keras mencatat dan membukukan sejarah Muhammadiyah di desanya. Begini catatan saya sekaligus memotivasi peserta workshop.

Salah satu buku yang sudah saya dapatkan adalah sejarah Muhammadiyah di Desa Bulubrangsi yang memang sudah berhasil dibukukan oleh PRM Bulubrangsi atas kerja keras Maslahul Falah. Godog sendiri sebagai ‘ranting yang sukup spesial’ karena hampir bisa dikatakan warga desa ini 100% mengikuti Muhammadiyah baik yang secara administratif ber KTA/NBM atau yang tidak. Bahkan, keluarga yang selama ini dianggap keluarga NU, yaitu keluarga Mbah Sarlim, ternyata dapat dibilang sebagai keluarga Muhammadiyah. Bulubrangsi nampaknya mempunyai catatan bahwa gerakan islam atau Muhamamdiyah lebih tua di Bulubrangsi namun pelembagaan pendidikan dan pesantren Muhammadiyah lebih awal di Godog, desa tetangga. Ini catatan sangat berharga bukan?

Sejarah Muhammadiyah lokal atau dinamika Muhammadiyah di pusat, wilayah dan daerah/kabupaten sudah mulai banyak ditulis akhir akhir ini. Sejarah Muhammadiyah di tingkat desa masih jarang sekali penulis temui. Selama ini hanya ada dinamika elit yang diberitakan walau ada juga dinamika persyarikatan Muhammadiyah di cabang dan ranting yang dimuat di suara Muhamamdiyah atau dikompilasikan oleh penerbitan LPCR PP Muhammadiyah beberapa tahun lalu. Karena, buku sejarah Muhammadiyah Bulubrangsi ini bisa dikategorikan sebagai buku sejarah ranting yang menarik untuk dijadikan sumber inspirasi bagi penulis muda yang tersebar di ribuan ranting Muhammadiyah di dalam dan luar negeri. MPI sendiri punya ‘ambisi’ untuk mendikumentasikan 1000 ranting setiap tahunnya dan akan mencapai 5000 buku sejarah ranting lima tahun kemudian. Suatu harapan yang baik bahwa kisah-kisah perjuangan Muhammadiyah, tokoh dan warga Muhammadiyah dapat dijadikan ‘muara’ atau ‘telaga’ pengetahuan yang dapat menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Ini adalah salah satu posisi terhormat mengapa sejarah perlu dicatat.

Keuntungan kedua adalah tindakan reflektif yang mana aktifitas ini dapat membuka kesempatan lebar untuk memberikan makna lebih kepada orang per orang, kelompok kecil, yang selama ini tak tercatat dalam tulisan yang dipublikasikan atau kisah yang dituturkan. E.H Carr ( 2015) dalam bukunya Apa itu sejarah (judul aslinya, what is history  diterbitkan tahun 1964) dia memberikan ilustrasi baik betapa sejarawan juga mempunyai egoisme sendiri mengenai apa yang harus dituliskan dalam bukunya. Sebagai contohnya, ‘jutaan orang yang menyeberangi sungai Rubicon, tetapi hanya Julius Caesar yang mendapat perhatian sejarawan’. Carr mempersoalkan mengapa terjadi demikian? Mengapa jutaan orang tak direkam sebagai sesuatu yang penting dan dituliskan? Jawabannya adalah menulis sejarah tak pernah absen dari bias dan kepentingan penulisnya. Penulis muda barangkali tak punya tendensi buruk, tetapi ustru diuntungkan dengan kesempatan melimpah ruah untuk memperbaiki apa yang sudah ditulis—sejarah adalah dinamis sebagai keterpautan antara masa lalu, sekarang, dan hari depan.

Sartono Kartodirjo, Aswi Warman Adam, Bambang Purwanto, Kuntowijoyo sejatinya adalah penulis sejarah yang cenderung memperhitungkan peran orang-orang biasa sehingga mencatat sejarah masyarakat tak melulu konsentrasi pada lapisan atas masyarakat, kelas menengah, pengurus organisasi, dan tokoh, tetapi dapat pula menceritakan sosok sosok biasa dan terkucil misalnya. Mengapa perlu demikian? Karena sumber kebenaran sejarah ada di banyak peristiwa dan juga banyak pelaku serta saksi sejarah. Jika ada kesempatan membaca buku sejarah barangkali saya akan merekomendasikan dua buku asing yang menarik yaitu buku karya Fernand Braudel berjudul On History dan buku karya A.L Rowse berjudul The Use of History.

Ketiga, penulisan sejarah kampong sendiri akan mempunyai implikasi pada meluasnya spekturm pengetahuan akan sejarah dan cara memaknainya (making-meaning) dalam pentas kehidupan. Orang yang melacak sejarah desa, sejarah gerakan islam, akan bersentuhan dengan desa lain, bahkan negara lain. Hal ini dikarenakan adanya interaksi yang sentripetal atau sentrifugal dari pelaku sejarah. Misalnya, dari cerita tokoh islam di Bulurangsi dan Godog maka akan ketemu dengan istiah jaringan ulama atau santri di lamongan yang menghubungkan gerakan islam di desa-desa dengan pusat pendidikan islam ala pesantren di pantai utara/pesisi jawa. Hal ini tak dipungkiri bahwa tokoh-tokoh islam di kampong sudah melahap banyak kitab yang ditulis oleh ulama dari timur tengah seperti shohih bukhori dan bulughul maram. Bahkan, dalam konteks lebih luas, majalah al manar yang terbit di Mesir juga dapat dibaca di Indonesia. Itulah cakrawalah gerakan islam yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran sejarah.

Penulisan sejarah desa juga dapat mempunyai kekuatan prediksi di masa yang akan datang. Tidak semua orang percaya akan potensi sejarah yang dicatat ini karena masa depan selalu dianggap abstrak dan bukan bagian dari sejarah. Padahal kita bisa tahu, bahwa anak-anak muda yang antusias mencatat sejarah kampungnya artinya ada harapan di masa depan yang bertumpuh pada anak-anak muda hari ini. Bukankah itu suatu kenyataan? Anak-anak muda hari inilah yang akan mewarnai sejarah di masa yang akan datang. Jadi, ketika sejarah kampong Muammadiyah ditulis anak-anak muda Muhamamdiyah tentu saja desa dan Muhamamdiyah itu mempunyai masa depan yang terencana lebih baik oleh mereka sendiri. Pencatat sekaligus pelaku sejarah, itula posisi anak-anak muda yang diharapkan. Selain itu, mereka juga punya kesadaran merawat dokumen dan benda-benda serta warisan bersejarah misalnya lembaga pendidikan, arsip surat, notulensi rapat, foto-foto, video, dan artefak lainnya. Itu semua telah sangat kuat disadari oleh anak-anak muda di Godog khususnya.
Mencatat sejarah juga dapat menyehatkan sekaligus membijakkan hati dan pikiran. Itu adalah mantra yang penuls yakini akibat terlalu percaya kepada suatu ungkapan yang terdengar sejak madrasah yaitu bahwa guru yang terbaik adalah pengalaman. Pengalaman itulah yang membentuk sejarah. Orang bijak pernah bilang bahwa sejarah memberikan pelajaran, menawarkan alternative kebajikan. Karenanya, seringkali dalam mencatat sejarah seseorang berupaya membenamkan yang buruk dan mengangkat yang terang benderang karena hidup di masa depan lebih memerlukan obor untuk mengatasi kegelapan dan tidak justru membawa kegelapan yang diimpor dari masa lalu. Mempetahankan kesadaran akan makna hidup merupakan salah satu tujuan penting kehidupan itu sendiri. Menulis sejarah, agar seseorang terjaga kewarasannya.

Menuliskan sejarah bukan hanya butuh kesukarelawanan dan kreatifitas, tetapi juga membutuhkan keuletan, ketekunan dan disiplin. Dengan begitu, sejarah dicatat dengan antusias dan menghasilkan pembaca yang antusias pula. Sisi-sisi menarik selalu ada setiap denyut kehidupan masyarakat, mana yang akan kita tulis? Semua kembali kepada pencatat sejarah muda. Kamukah? Iyalah! Pesan Pramudya, ‘menulislah sejak SD karena semua yang ditulis sejak SD pasti jadi.” George Orwell adalah salah satu penulis legendaris, ia menulis sejak usia dini (balita). Ia menulis puisi, dan di usia 14 tahun ia sudah membuat naskah drama yang dipentaskan secara luas.

Di ujung epilog ini saya ingin mengutipkan kalimat agak panjang yang sangat kuat dari sastrawan kelas dunia, Jean Paul Sartre:

“…menulis itu merupakan suatu usaha; karena penulis adalah makluk yang hidup sebelum menjadi mayat; karena kita berfikir bahwa kita harus sedapat mungkin mencoba menulis dalam buku-buku kita, …kita berfikir penulis akan melibatkan diri dalam karya-karyanya, dna bukan sebagai pelaku pasif yang tak berbuat apa-apa dengan mengedepankan ketidakberdayaan serta kelemahannya, melainkan sebagai suatu kehendak tegas dan pilihan, maka kita harus bertanya kepada diri sendiri: “mengapa seseorang menulis?”

Jadi, menulis sejarah kampong atau apa-apa yang bergerak di dalamnya seperti Muhammadiyah di pedesaan adalah suatu panggilan mulia bagi manusia-manusia berkesadaran historis, manusia yang haus akan makna-hikmah di balik peristiwa sejarah baik yang muram maupun yang benderang. Semua ada hikmah di tangan para pencatat sejarah muda. Insyallah. Semoga manfaat buku yang ditulis anak muda dengan segenggam antusiasme.

——————————————-

*Penulis adalah Anggota MPI PP Muhammadiyah

Exit mobile version