TULUNGANGUNG, Suara Muhammadiyah-Muhammadiyah sering dipersepsikan sebagai gerakan purifikasi Islam yang berusaha mengikis kebudayaan lokal, sebagaimana halnya gerakan Wahabi yang melakukan pemurnian secara total. Muhammadiyah dianggap gencar melakukan perlawanan terhadap hal yang menodai akidah semisal TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Khurafat). Di sisi yang lain, masyarakat pribumi, khususnya Jawa dan keyakinan keislaman yang ada di Jawa, sering diidentikkan dengan sinkretisme dan keislaman yang kental dengan kebudayaan. Lalu, benarkah tidak ada ruang sama sekali untuk kejawaan di Muhammadiyah?
Sejak awal, memang ada beragam pandangan tentang Muhammadiyah, termasuk dianggap sebagai pengaruh Westernisasi. Beragam pandangan itu dijawab oleh peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani dalam Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan bertema “Menggugat Narasi-Narasi Besar Islam Jawa; Menimbang Ulang Narasi-Narasi Dasar Islam Jawa dalam Memandang Islam, Jawa, dan Muhammadiyah”, di aula utama IAIN Tulungagung, Rabu (15/3).
Menurut Najib, persepsi tentang Muhammadiyah yang dinilai anti budaya lokal sama sekali tidak bisa diterima. Melalui bukunya Muhammadiyah Jawa, Najib Burhani menyatakan bahwa apa yang dikemukakan dalam buku yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah itu merupakan satu model gerakan ‘Islam Jawa’ di organisasi yang selama ini sering dianggap sebagai lawan dari kejawaan. “Paling tidak, pada masa awal berdirinya, Muhammadiyah cukup kental dengan dengan kultur Jawa, meski tidak bisa disebut sebagai embodiment dari Javanese culture. Ini karena Muhammadiyah adalah gerakan yang melakukan purifikasi dan modernisasi (rasionalisasi),” kata Najib.
Najib yang juga wakil ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah itu memaparkan alasan mengapa memilih Muhammadiyah Jawa, bukan Muhammadiyah Yogyakarta. Padahal Yogyakarta dikenal sebagai pusat kejawen yang menjadi tempat kelahiran Muhammadiyah. “Ini lebih mengacu kepada kultur, bukan lokasi geografis. Lebih mengacu kepada karakter, bukan benda. Apakah buku ini hanya ingin menonjolkan Muhammadiyah versi Jawa? Tidak. Keinginan dari buku ini lebih luas dari isu kejawaan. Ia ingin memotret interaksi kultural antara Muhammadiyah dengan berbagai model budaya di Indonesia, proses adaptasi Muhammadiyah dengan keragaman kultural Indonesia, melihat dialektika teologis dan kultural,” urainya.
Buku ini tidak bermaksud hanya berbicara Jawa, tetapi juga proses adaptasi dan akulturasi Muhammadiyah dengan budaya lokal tempat ia hadir. Najib menunjukkan hubungan dan kedekatan Muhammadiyah dengan kejawaan sebagai langkah awal untuk melihat hubungan Muhammadiyah dengan budaya lain di Indonesia. “Pada titik akhirnya, buku ini melihat seperti apa interaksi Muhammadiyah dengan berbagai kultur di Indonesia itu, bagaimana Muhammadiyah mengolah dan mengelola warganya yang berasal dan membawa kultur yang beragam di Indonesia, lantas bagaimana gerakan ini memasukkan warna dan nilai Islam dalam berbagai kultur tersebut,” hal itulah yang dipotret oleh Najib.
Menurut Najib, buku Muhammadiyah Jawa juga tidak sekadar melihat kedekatan Muhammadiyah dengan kejawaan atau menegaskan bahwa kejawaan adalah salah satu identitas yang tak bisa dipisahkan dari Muhammadiyah. “Keinginan dari buku ini adalah lebih dari itu. Ia ingin membantah atau menunjukkan bahwa Muhammadiyah bukanlah gerakan Islam yang anti budaya lokal anti terhadap kultur. Justru sebaliknya dari tuduhan tersebut, Muhammadiyah aadlah representasi paling otentik dari Islam versi Jawa atau versi Indonesia. Meski sekarang sering disebut kering dalam hal outer culture, penampakan budaya, namun Muhammadiyah memiliki masa-masa yang begitu kental warna kulturalnya. Hilangnya warna kultural ini tentu karena berbagai faktor,” kata penulis buku Muhammadiyah Berkemajuan itu.
Muhammadiyah Jawa, kata Najib, juga sebagai landasan kultural ketika gerakan yang berdiri 1912 ini melangkah ke dunia global dengan semangat ‘Islam Berkemajuan’ atau Islam Kosmopolitan. “Ketika Muhammadiyah menawarkan diri sebagai gerakan Islam yang berkemajuan, yang siap menghadapi tantangan zaman di era global, apa yang identitas kultural unik yang bisa ditawarkan Muhammadiyah dalam peradaban global,” ungkap Najib Burhani. “Buku ini ingin memulai sebuah kajian yang menggali karakter-karakter unik dari Muhammadiyah ketika berinterkasi dengan kultur tertentu dan tentu juga ingin melihat warna ke-Muhammadiyah seperti apa ketika gerakan ini hadir di daerah yang berbeda,” urainya.
Najib menuturkan bahwa berbeda dengan gerakan Islam lain yang banyak didominasi oleh etnik tertentu, Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki penyebaran merata di seluruh Indonesia dan berasal dari etnik yang beragam. “Ada yang dari Jawa, Sunda, Madura, Minang, Bugis, Bali, Aceh, dan sebagainya. Ketua Umum Muhammadiyah pun bisa berasal dari beragam suku: Haedar Nasir dari Sunda, Din Syamsuddin dari Sumbawa, Ahmad Syafii Maarif dari Padang, Amien Rais dari Jawa, dan sebagainya. Makanya, kultur yang berkembang di Muhammadiyah adalah hibrida dari kultur-kultur yang membangunnya. Muhammadiyah Jawa dan Islam Jawa hanyalah salah satu relasi keislaman Muhammadiyah dengan etnis atau budaya tertentu. Ada Muhammadiyah Bugis, Muhammadiyah Sunda, dan sebagainya,” ulasnya.
Dalam kesempatan itu, Najib menyatakan bahwa ada beragam narasi besar tentang Islam Jawa yang hampir semuanya dirumuskan oleh sarjana Barat. Dinamika interaksi keislaman dan kejawaan terakhir yang masih belum sepenuhnya masuk wilayah teori Barat adalah apa yang dilakukan Gus Dur dengan ‘Pribumisasi Islam’ atau ‘Islam Nusantara’ yang diusung NU, dan Dakwah Kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Ini akan bisa melahirkan perspektif baru, terutama bila dikaji dalam konteks globalisasi, penguatan identity politics, dan populisme.
“Identitas Islam Jawa dan juga Islam Nusantara itu seakan mencoba menolak (1) upaya untuk mempertentangkan antara keislaman dan kejawaan, dan (2) menunjukkan akulturasi dan inkulturasi yang harmonis antara Islam dan Jawa, (3) menolak tuduhan bahwa Islam adalah agama invader, (4) menjadikan Islam Jawa sebagai salah satu respons terhadap Islam Arab, (5) menolak tuduhan bahwa menjadi Islam itu membuat orang kehilangan kejawaannya,” tutur Najib. (Ribas)