JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Doktrin dan inti ajaran Islam sering disalahpahami. Tak hanya oleh kalangan umat agama lain yang kemudian melahirkan Islamfobia, namun juga oleh umat Islam itu sendiri. Akibat dari pemahaman yang keliru tersebut, Islam terkesan sebagai agama yang menakutkan dan menyebarkan kekerasan. Hal itu kemudian memicu timbulnya aksi teror dan radikalisme yang mengatasnamakan Islam, meskipun faktor ini tidak menjadi satu-satunya sebab.
Menyikapi fenomena itu, Maarif Institute bekerjasama dengan penerbit Mizan meluncurkan buku berjudul ‘Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme’ yang ditulis oleh 21 cendekiawan yang sebagian besar berlatar belakang Muhammadiyah. Buku itu sendiri merupakan hasil dari Halaqah Fikih Terorisme yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Semarang beberapa waktu lalu.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti yang diminta memberikan sambutan dalam peluncuran buku itu menyatakan bahwa persoalan terorisme di Indonesia tidak semuanya dilatari agama. Ada juga yang didasarkan pada ketimpangan ekonomi, social, politik, hukum, dan lainnya.
Menurutnya, orang yang merasakan kekusahan dan merasa sebagai objek ketidakadilan ekonomi biasanya mengalami frustrasi. Pada saat bersamaan, terkadang ia mendapatkan legitimasi dari doktrin agama yang dipahami sekilas untuk melakukan tindakan terror. “Lingkungan yang tidak adil mengarahkan seseorang untuk mencari tahu siapa penyebab di balik ketidakadilan itu. Dalam pencariannya itu persinggungannya terhadap agama terkadang menerjemahkan makna jihad secara tidak tepat,” tutur Mu’ti.
Dalam acara yang berlangsung Kamis (16/3) malam di Gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah Menteng Jakarta itu, Komisaris Grup Mizan Abdillah Toha dalam sambutannya menyatakan bahwa yang menjadi permasalahan saat ini adalah kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama Islam. Abdillah Toha mengajak para hadirin untuk saling bertoleransi dalam perbedaan dan tidak memperuncing perbedaan. Dia juga berharap buku ini bisa memberikan konstribusi bagi Indonesia.
Salah satu penulis buku, Izza Rohman yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka menilai ada yang menarik pada bahasan mengenai jihad. Menurutnya, para pelaku teror tidak tertarik pada diskusi-diskusi terhadap pemahaman kitab suci Al-Quran. Mereka terkesan memahami ayat-ayat tentang jihad secara parsial, tanpa melihat keseluruhan ayat dan konteks turunnya ayat.
“Para teroris itu menggunakan teori yang sangat problematik, yaitu menggunakan satu wahyu tanpa memandang wahyu lain. Mereka menganggap Al-Quran sebagai lisensi untuk melakukan kekerasan. Padahal jihad yang paling utama itu adalah jihad untuk menyampaikan kandungan Al-Quran, bukan dengan perang,” tuturnya.
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Debbie Affianty yang juga penulis buku, menyoroti trend global perempuan yang menjadi pelaku teror. Dirinya memberikan pandangan tentang keterlibatan perempuan dalam aksi jihadis. Menurutnya, ada perbedaan antara teroris dan jihadis. “Teroris itu lebih berhaluan ideologi marxis dan sekuler-nasionalis. Kalau ‘jihadis’ lebih pada cara mereka memanipulasi ayat Al-Quran dalam melancarkan aksinya,” urainya.
Pola keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi jihadis bisa sangat beragam. Debbie beranggapan perempuan bisa menjadi penentu gerakan radikal tersebut sebagai agen propaganda yang saat ini menjamah media sosial.
“Selain sebagai loyal follower, mereka agen propaganda dan rekrutmen. Contohnya istri ketiga Bahrumsyah, yang tertangkap saat akan ke Suriah. Dia menjadi loyal follower dan akan memproduksi calon ‘jihadis’ ISIS,” katanya.
Sebagaimana kisah nyata yang dinarasikan dalam film Jihad Selfie, para pelaku teror di era sekarang menggunakan jejaring media sosial sebagai media perekrutan dan penggalangan dana. “Mereka menggunakan media sosial karena anak muda tertarik dengan itu. Mereka mengemas propaganda dengan pop culture. Kadang rubrik kecantikan juga dikemas dengan ajaran postmo jihad,” lanjutnya.
Sementara itu, dosen UIN Jakarta Abdul Moqsith Ghozali menyatakan bahwa terorisme tidak hanya berangkat dari argumen yang berasal dari Al-Quran, namun juga dipicu oleh persoalan ekonomi dan politik. Dia pun turut menyoroti judul buku itu. “Judulnya nggak main-main, yang direformulasi ajaran Islam, bukannya pemahaman terhadap ajaran Islam,” katanya.
Menurutnya, para teroris memandang Al-Quran dari sisi yang berbeda. Aksi teror dan radikalisme itu, kata Muqsith dilatarbelakangi oleh salah satu surat di dalam Al-Quran yang tidak dipahami secara benar. “Kalau kita tanya ke mereka (teroris), Al-Quran tidak hanya menjadi rahmatan lil alamin, tapi ada ayat-ayat lain yang menjadi dinamit menyeramkan jika dilucuti dari konteksnya secara utuh,” katanya. “Yang paling disukai teroris adalah surat Al-Mumtahanah. Dilucuti ayatnya, seperti anjuran peperangan dan memusuhi umat yang berbeda,” tambah muda NU ini.
Turut hadir dalam kegiatan itu Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen Luthfi Lubihanto, sejarawan Anhar Gonggong, Musdah Mulia, dan beberapa tokoh lintas agama lainnya. (Ribas)