Oleh Mutohharun Jinan
Diantara akhlak Islam yang sangat penting dan harus dimiliki kaum muslim untuk kemajuan, dan kesejahteraan adalah sikap optimis memandang masa depan. Kehidupan yang akan datang, yang akan dilalui baik oleh generasi sekarang maupun generasi penerus nanti harus tergambarkan sebagai kehidupan yang lebih baik dan lebih menjanjikan.
Ada banyak pesan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menggiring kaum muslim harus bersikap optimis (QS. Ali Imron/3: 139; QS. Fushilat/41: 30) dan menjauh dari kubangan pesimisme atau keputusasaan, karena tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat (Al-Hijr/15:56).
Al-Qur’an mendidik penganutnya agar melihat masa lalu yang suram menjadi pelajaran untuk merancang masa depan yang terang. Kisa-kisah sejarah dalam al-Qur’an menyajikan beragam peristiwa, pola-pola peradaban dan bangsa-bangsa yang jatuh dan bangun, tokoh-tokoh keras yang dhalim dan pribadi-pribadi yang berkarakter kuat dengan berbagai model kepemimpinan, serta hukum-hukum ekologis yang bekerja di alam semesta yang mempengaruhi kehidupan manusia. Antara lain disebutkan: “Dan (Kami binasakan) kaum‘Ad dan Tsamud dan penduduk Ar-Rass dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut. Dan Kami jadikan bagi masing-masing mereka itu benar-benar telah Kami binasakan sehancur-hancurnya. Dan sesungguhnya mereka (kaum musyrik Makkah) telah melalui sebuah negeri (Sodom) yang (dulu) dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya (hujan batu) (QS. Al-Furqan/25: 38-40).
Tetapi setelah menjelaskan fakta empiris tentang kehancuran bangsa-bangsa itu, Al-Qur’an juga menegaskan tentang adanya kebangkitan baru yang lebih baik sebagai pengganti generasi terdahulu yang punah itu (QS. Al-Anbiya/21: 11). “Kemudian Kami binasakan mereka (bangsa-bangsa terdahulu) karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain” (QS. Al-An’am/6: 6). Inilah yang memberikan optimisme, bahwa setelah mengabarkan kehancuran diikuti dengan pemberitaan kebangkitan dan pembaruan.
Al-Qur’an mengajak agar manusia memiliki perspektif optimisme etis, yakni sikap dan pandangan bahwa kebenaran dan kebaikan akhirnya akan menang, kejujuran menggantikan kepalsuan, keadilan menggantikan kedhaliman, kebaikan menggatikan kebatilan, dosa-dosa digantikan ampunan. Sebaliknya, Al-Qur’an melarang sikap pesimis yang hanya menghentikan gairah dalam berkarya, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar/39: 53)
Sudah barang tentu sikap optimisme etis itu akan meresap dalam perilaku sehari-hari bukan tanpa syarat. Syaratnya ada kemampuan dan kemauan untuk mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang lalu dan yang sedang terjadi, betatapun peristiwa itu amat menyesakan dada. Disebutkan bahwa berbagai peristiwa merupakan peringatan untuk diambil pelajaran darinya. “Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah/2: 66).
Perspektif optimis harus tetap menjadi kerangka dalam memahami berbagai persoalan yang terus melilit bangsa ini, baik persoalan hukum, ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Kondisi karut-marut dalam segenap sendi kehidupan masa lalu dan saat ini tidak boleh dijadikan alasan untuk berpatah arang dan melihat masa depan suram. Ambil contoh dalam kasus hukum dan keadilan, masih rendahnya sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku korupsi yang kurang memberi efek jera bukan lantas mengendurkan semangat dan menguatnya pesimisme pemberantasan korupsi. Bila memang hukuman itu masih mencederai rasa keadilan di mata masyarakat dan ada kepalsuan dan ketidakjujuran dalam proses persidangan, suatu saat pasti akan terungkap, cepat atau lambat.
Optimisme-etis bukanlah sikap pasif dan pasrah kepada keadaan yang dipenuhi perilaku menyimpang oleh pemimpin dan warga masyarakat sambil menunggu perbaikan dari langit. Justru sikap optimis itu menggerakkan sikap kritikal terhadap berbagai penyimpangan dan perusakan yang menghalangi tercapai tatanan masyarakat yang baik.
Perspektif optimisme-etis dalam banyak hal memang lebih menguntungkan dari pada mengambil ber putus asa. Ia akan mengarahkan segenap gerakan untuk kemaslahatan masyarakat dalam koridor moral dan dibenarkan tatanan hukum yang berlaku. Sementara pesimisme seringkali menjerumuskan ke jalan pintas dalam melakukan amar makruf nahi munkar. Optimisme-etis memelihara kekuatan dan kelenturan dalam melakukan kritik dan saran kepada setiap pelaku penyimpangan. Sedangkan pesimisme sering kali menjadikan gerakan terkooptasi oleh kekuatan lawan