YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dakwah merupakan seruan untuk mengajak manusia menjadi hamba yang lebih berarti di hadapan Tuhan dan sesama. Selama masih berstatus sebagai hamba Allah, siapapun berhak untuk mendapatkan dakwah pencerahan guna meningkatkan ketakwaan dan memperbanyak kebajikan. Namun terkadang, para dai lebih memilih berdakwah kepada golongan manusia yang ‘sudah baik’ dan melupakan mereka yang dianggap ‘kotor’.
Hal inilah yang menjadi kegelisahan ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir MAg. Menurutnya, dakwah yang seharusnya adalah menyapa semua manusia. Memberi kabar gembira untuk seluruh makhluk Tuhan. “Dakwah itu memasuki lorong gemerlap dan lorong gelap,” tuturnya dalam Kajian Malam Sabtu (Kamastu) Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (17/3).
“Dakwah itu adalah menyapa semua orang sebagai terjemahan dari rahmatan lil alamin, tidak hanya shalih (available) di setiap waktu dan tempat, tetapi juga menjadi rahmat bagi seluruh makhluk,” katanya. Oleh karena itu, menurut Tafsir, harusnya para buruh, petani, nelayan, hingga para pekerja seks, lesbian, waria, dan seterusnya juga menjadi objek dakwah Muhammadiyah. Tentunya dengan metode dan cara dakwah yang berbeda dan tidak konvensional.
Semua manusia pada dasarnya memiliki potensi menjadi baik. Semua orang memiliki keinginan dan hak untuk masuk surga. Hanya terkadang orang-orang yang berada di ‘wilayah gelap’ tidak mendapat ajakan untuk menjadi lebih baik. Para dai merasa ‘suci’ dan enggan untuk mendakwahi mereka yang ‘kotor’ itu secara manusiawi. “Siapa yang mendakwahi mereka, sementara para dai lebih senang berdakwah di mimbar,” ujarnya. Sementara umat Katolik, kata Tafsir malah lebih rajin dan sisematis menyapa para kalangan new mustadl’afin ini.
Tafsir mengingatkan bahwa berdakwah di kalangan orang baik merupakan hal yang biasa. Namun berdakwah di kalangan orang yang belum baik, itulah yang luar biasa dan sedikit orang mau melakukannya. “Dakwah di tempat kotor itu lebih besar pahalanya,” katanya sambil mengumpamakan dengan kalimat, ‘teratai tumbuh di comberan’. Muhammadiyah ke depan harus lebih sering menyapa dan melayani siapa saja sebagaimana spirit awal Muhammadiyah.
Dalam kesempatan itu, Tafsir ikut membagikan beberapa pengalamannya membina dakwah di kalangan pedagang pasar, para waria, dan pelaku LGBT. Tafsir ikut masuk ke komunitas mereka dan melakukan dua hal. Yaitu pemberdayaan ekonomi para waria dengan pelatihan salon serta melakukan pendampingan keagamaan. Dalam hal ini, Tafsir berperan sebagai orang yang mampu mengarahkan dan bukan menceramahi.
Bagi Tafsir, memahami dunia mereka merupakan faktor utama dan tidak mengukur apalagi menghakimi dengan ukuran manusia pada umumnya. “Bagi mereka, liar adalah kebahagiaan. Jangan dilihat dari sudut pandang kita,” katanya. Oleh karena itu, jika menemui para kaum marjinal, kata Tafsir, harus segera diambil dan didampingi, sebelum mereka menikmati indahnya dunia liar.
Tafsir juga membagi tips, jika ingin menyentuh kelompok marjinal seperti ini, maka harus dipersiapkan mental, tercukupi amunisi yang tidak hanya wawasan keagamaan tetapi juga ekonomi dan ketrampilan, serta memiliki pengetahuan dasar sebagai social worker.
Sebagaimana prinsip yang selalu dipegang teguh, selain berdakwah di lorong gelap, Tafsir juga gencar melakukan dakwah di lorong gemerlap. Saat ini, Tafsir beserta jajaran PWM Jawa Tengah dipercayakan pemerintah propinsi untuk mengisi pendampingan rohani atau pengajian para pejabat dan instansi pemerintah setiap dua hari dalam seminggu. Bagi Tafsir, gerakan keagamaan akan kuat jika memiliki kekuatan kultur dan struktur sekaligus. (Ribas)