Oleh Septi Yulisetiani
Kegelisahan semakin tampak diwajah perempuan itu. Seseorang yang sudah pantas disapa ibu. Bukan hanya karena kulitnya yang mulai keriput dan rambutnya yang telah memutih. Tetapi memang karena semua orang selalu meyapanya dengan sebutan ibu. Tanpa terkecuali putranya.
Ia terlihat tengah menunggu. Tanpa bosan. Ia dudukkan raganya di kursi depan daun pintu rumahnya. Nampak lelah di tubuhnya. Akan tetapi semangatnya selalu mampu membuatnya kembali berenergi.
Rutinitas yang tak pernah sekalipun ia lewatkan setahun terakhir ini. Menunggu dengan wajahnya sayu. Sendu. Setiap senja dipelupuk mata. Siapa lagi jika bukan kehadiran putra tunggalnya.
Namanya Solihin. Memang, harapannya ketika ibu memberi nama itu. Solihin akan tumbuh menjadi anak yang sholeh. Seperti bapaknya yang lama telah tiada.
“Tidak ada hal lain yang dapat membahagiakanku, selain baktimu padaku,” bisikan ibu setiap senja pada putranya.
Menanggapi kalimat itu, Solihin begitu saja membelai wajah ibu. Sejak kecil hingga ia dewasa selalu begitu. Seolah tindakan itu menjadi ungkapan, atau sekedar sikap mengiyakan terhadap harapan-harapan ibu yang tak kunjung jera membisikan kalimat itu pada telinga putranya.
Mengingat hal itu batin ibu terasa semakin teriris. Pedih. Hingga malam semakin larut, Solihin belum muncul juga di hadapanya. Ibu kian gundah. Bulan purnama seraya mengabarkan. Genap setahun sudah penantian ibu pada putra tunggalnya itu.
“Hal apa yang tengah menimpa putraku?” kata ibu dalam hati.
Ibu memasang wajah cemas pada keberadaan putranya. Begitu pula wajah kecewa, karena senja tak kunjung mengantarkan putranya pulang. Meskipun begitu ibu tetap menunggu. Ia tak menghiraukan angin dingin yang terus menerpa tubuhnya yang sudah senja. Tiba-tiba ia teringat akan keganjilan yang menimpa putranya. Apa yang ia cari di luar sana.
Masih jelas dalam ingatan ibu. Kala itu putranya sempat berkata padanya. Ia hendak melakukan pencarian besar. Mencari sesuatu yang tidak ibu tahu. Juga tidak ada orang lain tahu. Jika tahupun, hanya sok tahu. Tentu itu tidak dibutuhkan Solihin. Ibu melarang. Solohin tetap bersikeras. Sampai ibu tak kuasa lagi melarangnya.
“Solihin….Solihin……..putraku,” jerit ibu.
“Berhentilah menunggu Solihin bu, dia tak akan kembali,” kata seorang tetangga pada ibu.
“Apa maksudmu?”
“Seminggu yang lalu aku melihatnya digadang polisi.”
Ibu lemas. Ia terduduk di kursi. Ia merasa tengah gagal mendidik putranya. Pergaulan kota tengah menjeratnya. Bahkan untuk membuat Solihin mendengar kata-kata ibunya. Tak mampu. Apa yang dicarinya? Ia lebih memilih berkelana bersama teman-temanya. Kawan yang justru bisa menjeratnya ke jurang kehidupan yang curam.
“Aku semakin gelap untuk mengenal anakku.”
Kalimat itu terus ibu lantunkan. Derai air mata berjatuhan dipipinya. Batinnya semakin beku. Ada rasa hampa dalam batinya. Kesunyianya tak akan berakhir ditahun ini. Namun akan berlanjut hingga ketukan palu peradilan memutuskan.
“Lidahku ini tak sedikitpun membekas dijiwa anakku,” suara ibu yang parau itu terus dihiasi genangan air bening dari kelopak matanya.
“Adakalanya mendidik anak memang tidak cukup dengan ucapan.”
“Masihkah kau mencium bau keringat tubuhku membesarkan anak tunggalku yang mengabaikanku itu?”
“Tentu, tapi apa daya. Jika kehidupan diluar sana lebih liar mendidik anakmu.”
“Apa ada yang salah dengan cara mendidikku.”
“Ya. kau bahkan melupakan tiang utama yang bisa mengokohkan anakmu.”
“Apa maksudmu.”
“Mendekatkan putramu pada Tuhanya.”
Ibu menundukan wajahnya. Rasa sesal segera terbit dari wajah itu. Tak perlu menunggu lama. Ia patahkan setengah tubuhnya pada lantai rumahnya. Membiarkan lutut menyangga tubuhnya. Sesegera mungkin ia bersujud atas kelalaianya.
Isak tangis masih terdengar akrab di telinga. Namun apalah daya jika kenyataan sudah di depan mata. Senja tetap membiru. Menumbuhkan rasa haru dan hati yang pilu.
Mendidik anak hanya dengan perhatian dan kasih sayang tak cukup jika sandaran dan tiang penyangga kehidupanya rapuh. Jerit tangispun hanya akan sia-sia. Putra tunggalnya tak semudah itu akan mampu ia selamatkan dari mulut kehidupan.
Kini ibu hanya bisa memandang putranya. Tanpa bisa lagi memeluknya. Seperti apa yang sangat ia rindu dan impikan. Bertemu dengan putra tunggalnya, lalu memeluk erat hingga senja tak lagi menjadi jeda antara siang dan malam.
“Apa yang telah engkau lakukan putraku?”
Pertanyaan yang muncul dari mulut ibu pada kunjungan pertamanya itu hanya dijawab dengan kebisuan oleh Solihin. Anak itu menundukan kepalanya dihadapan ibu. Sedikitpun ia tak berani menatap wajah ibu yang sendu. Seolah sengaja tengah menampakan perasaan bersalahnya.
“Kenapa kau tak menjawabnya putraku?”
Suara ibu makin keras. Kalimat itu terdengar menjadi jeritan yang mencekik suasana kelam dalm tahanan. Ibu meraungkan tangisan. Menumpahkan segala kegetiran.
Perlahan, jeritan ibu menurun. Mulai lirih. Hingga sampai pada sebuah kalimat yang benar-benar kembali menciptakan kesunyian.
“Inikah, setahun yang kau janjikan? Inikah ujung penantianku padamu putraku?”
Ucapan terakhir ibu pada kunjungan pertamanya itu hampir merobohkan kedirian Solihin. Ia hampir menumpahkan airmatanya bersama sendu. Tetapi rupanya ia masih mempunyai kekuatan untuk menahanya. Duka terasa mengganjal dibatinya.
“Maafkan aku ibu,” terucap lirih dibatin Solihin. Belum kuat ia katakan itu pada ibunya. Masih saja ia menundukan kepalanya. Sedikitpun tak berani menatap wajah ibunya.
Pertemuan kedua. Ibu datang dengan wajah getir. Ia tahu dirinya telah dianggap tiada oleh putranya. Sampai kehadiranyapun tak terhiraukan. Penantianya disetiap senja. semakin biru dan beradu dengen waktu. Ibupun pulang dengan batin pilu.
“Tahukah kau, mengapa putraku bersikap begitu padaku?”
“Ku kira putramu butuh waktu,” jawab tetangga yang selalu hadir menguatkan ibu.
Tanpa waktu panjang. Lembar kertas menjawab rasa penasaran sang ibu. Di dalam kertas itu terpampang foto Solihin putra tunggalnya.
“Pelaku bom terancam hukuman puluhan tahun penjara.”
Ibu melantunkan deret kalimat pertama dengan terbata-bata. Semakin merasa bersalah. Ibu memaki dirinya. Akhirnya ia tahu sekarang. Putranya telah mencari Tuhanya dengan jalan jihad. Sayangnya ia salah mendefinisikan arti jihad. Ibu tertunduk lemas.
Ibu menjalankan saran tetangga untuk menenangkan dirinya. waktu yang cukup lama ia biarkan putranya berada dalam penjara. Hingga peretamuan mereka yang ketiga. suasana sudah berganti. Solihin sedikit berani menatap ibunya. Bahkan tangan mereka saling menggenggam erat. Tangis keduanya tak tertahan.
“Jangan menangis ibuku. Semoga ruang gelap yang berjeruji inilah yang akan mempertemukan aku dengan Tuhanku. Mendekatkan aku dengan-Nya.”