Mengembangkan Budaya Malu

Mengembangkan Budaya Malu

Oleh A Rosyad Sholeh

Malu yang dalam bahasa arabnya disebut Al Haya’ adalah “perasaan tidak nyaman terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan cela atau aib, baik berupa perkataan maupun perbuatan”. lbnu Maskawaih memberi ta’rif malu dengan “sikap menahan diri karena takut melakukan perbuatan yang buruk, yang karena itu ia berusaha menjauhi, agar tidak mendapatkan cela atau kehinaan”.

Dengan adanya perasaan malu, membuat seseorang merasa tidak nyaman dan enggan melakukan perbuatan rendah dan tercela, sebaliknya merasa lega dan nyaman apabila dapat melakukan kebajikan. Seseorang yang memiliki perasaan malu, kalau ia melakukan perbuatan yang tidak patut, rendah dan tercela, ia akan terlihat gugup atau mukanya merah. Sebaliknya orang yang tidak punya rasa malu, meskipun yang dilakukannya itu sebuah kejahatan dan dosa besar, ia akan terlihat tenang tanpa ada rasa gugup sedikitpun.

Dengan pengertian seperti itu, maka perasaan malu menjadi semacam faktor pengendali  dan pengaman, di samping sekaligus  menjadi  faktor pendorong  dan penggerak. Sebagai faktor pengendali, perasaan malu mengendalikan dan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan keji dan munkar, di samping mencegah seseorang dari perbuatan yang tidak patut dan tidak wajar.  Sebagai  faktor pendorong dan penggerak, perasaan malu mendorong dan menggerakkan orang untuk melakukan

perbuatan-perbuatan ma’ruf dan amal shalih.

Dengan demikian keberadaan perasaan malu pada diri seseorang, tidak saja penting dan bermanfaat bagi kehidupan orang tersebut secara individual, tetapi juga bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Sebab dengan adanya perasaan malu pada diri seseorang, tidak saja dapat mendorong lahirnya sikap dan perilaku yang mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, tetapi juga dapat mencegah hadirnya sikap dan perilaku yang mendatangkan bencana dan malapetaka bagi orang banyak.

Kalau kita cermati kehidupan dan kondisi umat dan bangsa kita sekarang ini, kita melihat berbagai permasalahan dan krisis masih membayangi kehidupan bangsa kita. Di samping krisis ekonomi yang belum sepenuhnya dapat diatasi, bangsa kita juga menghadapi permasalahan sosial yang cukup berat. Berbagai permasalahan sosial yang masih membelit kehidupan kita sekarang ini, seperti kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu SDM, rendahnya derajat kesehatan, kebodohan, keterbelakangan, dan sebagainya. Di samping itu, masyarakat kita sekarang ini juga mengalami kemerosotan akhlak yang luar biasa, yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan bangsa, baik dalam bentuk tindak kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan,  perampokan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, meningkatnya peredaran narkoba, meluasnya pornografi dan pornoaksi, berbagai tindak penyimpangan dan pelanggaran norma hukum, maupun tindak kekerasan, yang mengakibatkan timbulnya rasa takut dan cemas, serta kegelisahan dan keresahan di kalangan masyarakat.

Kalau kita cermati secara mendalam, salah satu penyebab utama terjadinya krisis multidimensi, yang mengakibatkan umat dan bangsa kita lemah seperti sekarang ini, di samping faktor yang lain, adalah karena hilangnya perasaan malu dari diri sementara kita. Dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, kita melihat orang sudah tidak merasa malu lagi melakukan tindak maksiyat,  penyimpangan dan penyelewengan. Prof DR Yunahar llyas, Lc,MA dalam bukunya “Kuliah Akhlaq” menyatakan : “Betapa kita merasa heran apabila melihat seorang Muslim melanggar nilai dan ajaran agamanya tanpa rasa rikuh sedikit pun. Seorang pedagang tidak malu-malu  menawarkan kepada pembeli untuk membuatkan kwitansi fiktif. Seorang oknum petugas tidak malu-malu meminta uang pelicin kepada anggota masyarakat yang sedang membutuhkan jasanya. Seorang mahasiswa tidak malu-malu menyontek ujian. Seorang pemuda tidak malu-malu berdua-duaan dengan gadis yang bukan mahramnya. Seorang suami tidak malu-malu membohongi istrinya. Seorang istri tidak malu-malu melawan suaminya. Seorang bapak tidak malu-malu mengabaikan pendidikan anak-anaknya. Seorang anak tidak malu-malu mendurhakai orangtuanya. Bahkan sesuatu yang rasanya mustahil terjadi menurut ukuran minimal iman sudah terjadi ditengah-tengah masyarakat. Lihatlah misalnya berapa banyak kasus pagar makan tanaman; Seorang ayah kandung tidak malu-malu menzinai anaknya sendiri. Bahkan seorang suami tidak malu-malu memaksa istrinya untuk mencarikan seorang gadis untuk diperkosa  dihadapan isterinya sendiri hanya untuk memuaskan nafsu balas dendamnya. Benar, bila budaya malu tidak lagi hidup di tengah-tengah masyarakat, maka manusia kehilangan kemanusiaannya, berubah menjadi binatang, bahkan lebih jelek dari binatang”.

Satu hal yang perlu kita sadari adalah, bahwa lenyapnya perasaan malu dari diri kita adalah merupakan awal dari kehancuran dan kebinasaan. Apabila orang tidak punya rasa malu, maka dia akan lepas kendali. Bebas melakukan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Rasul Allah Muhammad saw bersabda yang artinya serbagai beriukut :

“Sesungguhnya di antara yang didapat oleh manusia dari kata-kata kenabian yang pertama ialah : ‘apabila engkau tidak lagi mempunyai rasa malu, maka berbuatlah

sekehendak hatmu'” (H.R.Bukhari) –

Akhirnya, kalau kita menginginkan agar segala macam krisis, permasalahan dan kesulitan yang menerpa kehidupan kita itu menyingkir, kita harus menanamkan dan mengembangkan nilai dan budaya malu dalam diri kita, di samping nilai-nilai utama lainnya, seperti : keikhlasan, kejujuran, keadilan, amanah, shabar, penyantun, hidup sederhana, pemaaf, pandai mensyukuri nikmat dan sebagainya.

Exit mobile version